Feeds:
Posts
Comments

Encounter

Hari ini hari terakhir aku berada di Laos. Sedari dua hari yang lalu aku sudah ada di Luang Prabang, sebuah kota yang dinobatkan sebagai salah satu World Heritage oleh UNESCO. Berada di kota ini seakan membangkitkan kenangan masa kecilku. Sudut kota, orang-orang dan aktivitas di sini membuatku seperti kembali ke masa lalu.

Sejujurnya aku masih tidak percaya akhirnya aku bisa mengunjungi tempat ini. Tetapi segala sesuatu memang tidak ada yang kebetulan. Perjalanan ke negara ini sebenarnya termasuk dalam perjalanan “pencarian” ku. Meskipun setelah tiba di sini, aku tidak mendapatkan “rasa” itu, tidak seperti ketika aku mengunjungi Sri Lanka ataupun Myanmar. Namun demikian, bisa berada di sini sudah menandakan aku memiliki jalinan jodoh dengan tenpat ini, apapun itu bentuknya.

Dalam hidup ini kita mungkin bertemu orang-orang yang hanya lewat begitu saja dalam hidup kita, dengan pertemuan yang relatif singkat, namun meninggalkan kenangan dan “pelajaran” mendalam buat kita. Encounter atau Pertemuan adalah sebuah takdir, begitupula bagaimana kita menjadi anak dari kedua orangtua kita, menjadi kakak atau adik dari saudara sekandung kita, menjadi suami atau istri dari pasangan kita, ataupun menjadi orangtua bagi anak-anak kita. Semua sudah ada jalinan jodohnya masing-masing.

Dalam one day tour kemarin, tour guide yang membawa kami menjelaskan bagaimana suku Hmong memilih pasangan mereka, dengan melemparkan bola sebanyak tiga kali ke calon pasangan. Bila satu kali saja tidak bisa ditangkap, maka artinya kedua orang ini tidak berjodoh. Awalnya tour guide kami tidak menjelaskan makna permainan ini, dia hanya memegang bola yang terbuat dari kain itu dan berkata padaku untuk menangkapnya. Dua kali aku berhasil menangkap, sebelum lemparan ketiga, dia mengatakan bahwa harus menangkap dengan satu tangan, maka gagal lah aku dalam menangkap bola pada lemparan ketiga, karena memang tidak semudah itu untuk menangkap dengan satu tangan.

Selama perjalanan tour, beberapa kali aku merasa tour guide ini cukup perhatian padaku. Ada satu kali dia menyampaikan padaku, saat pertama kali melihatku dia sempat berpikir aku orang Laos karena wajahku mirip dengan orang Laos. Lagi-lagi muka bunglon saya bahkan kali ini bisa dibilang orang Laos. Mungkin muka saya sangat typical Asia Tenggara? Entahlah.

Setelah kembali ke hotel, aku jadi sempat berpikir, kenapa si tour guide memilihku untuk permainan lempar bola tadi? Dan bagaimana perhatian dia kepadaku, mungkin dia merasakan sesuatu, perasaan pernah bertemu? Ya mungkin saja, karena pertemuan sekarang ada karena pertemuan sebelumnya. Perasaan-perasaan seperti ini yang juga sering aku alami saat bertemu dengan orang-orang baru. Perasaan dekat, perasaan hangat, perasaan tidak suka, dan banyak perasaan-perasaan lainnya.

Pak Ou Cave, Luang Prabang

Sebentar lagi aku akan naik ke pesawat yang akan membawaku ke Thailand. Aku tidak tahu apakah aku akan kembali lagi ke tempat ini atau tidak. Tadi pagi aku berniat untuk melakukan pindapatta, tapi apa daya aku keluar agak siang sehingga melewatkan momen itu. Aku tidak menyesal, karena aku percaya segala pertemuan adalah takdir. Mungkin di lain kesempatan aku bisa melakukannya, atau bahkan sama sekali tidak ada kesempatan itu? Tidak ada yang tahu…

Encounter…

Saat kita bertemu, tolong tersenyum padaku, agar aku bisa mengenalimu…

Luang Prabang, 16 January 2024

-Jen~

09.31 waktu Laos

Do you believe in destiny? Selama ini aku selalu percaya bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini, segala sesuatu terjadi karena ada alasan atau sebabnya.

Sekitar seminggu yang lalu, di pesawat yang membawaku kembali ke Indonesia, aku menyempatkan diri untuk menonton film sebagai pengisi waktu sekitar 6 jam penerbangan dari Taiwan ke Jakarta. Kali ini film yang aku pilih berjudul “Past Lives”.

Tidak ada alasan spesial waktu memilih film ini, tapi mungkin judulnya cukup menarik perhatianku. Aku tidak akan membahas mengenai isi film ini, tapi apa yang menjadi tema di film ini seperti menjadi pengingat bagiku.

Dalam film ini disampaikan mengenai “In-Yeon” yang merupakan bahasa Korea, karena kebetulan film ini bercerita tentang tokoh utama yang merupakan orang Korea. “In-Yeon” atau dalam bahasa Inggris nya “Destiny” atau “Ming Yun” dalam bahasa Mandarin, atau kita menyebutnya “Takdir” dalam bahasa Indonesia, merupakan kata yang mungkin sering kita dengar. Saya pernah membahas mengenai “Takdir” ini sebelumnya, dan buat saya akan lebih pas jika disebut sebagai “karma”. Orang-orang yang ditakdirkan saling bertemu di kehidupan ini, pastilah memiliki jalinan karma satu dengan yang lain. Begitupula dengan tempat kita berada, apakah itu tempat lahir, tempat kita dibesarkan, tempat kita tinggal saat ini, ataupun hanya sekedar tempat-tempat yang kita kunjungi.

Bagaimana takdir ini mempertemukan kita dengan orang di sekitar kita dan dengan tempat kita berada saat ini, pastilah semua ada sebabnya. Sebagai orang yang percaya akan banyak kehidupan dan kehidupan masa lalu, buatku hal ini mungkin tidak terlalu sulit untuk diterima dan dipahami. Banyak hal pula di dalam kehidupanku saat ini yang memperkuat keyakinanku atas hal ini. Mungkin hal ini pula yang membuat aku begitu ingin mengunjungi negara-negara yang bernuansa Buddhis seperti Laos salah satunya.

Sudah lama terpikir dalam benakku untuk bisa berkunjung ke Laos, dan kebetulan Laos pula menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang belum aku kunjungi. Setelah tiga tahun masa pandemi yang tidak memungkinkan untuk bepergian keluar negeri, maka akhirnya sekarang aku memberanikan diri untuk pergi ke negara ini seorang diri. Yah, seorang diri, tanpa ikut tour ataupun ada teman yang menemani.

Sebenarnya aku cukup sering bepergian sendiri, tapi untuk tempat yang belum pernah sama sekali aku kunjungi, biasanya akan ada yang menemaniku. Tapi kali ini aku benar-benar nekad untuk pergi seorang diri. Ini juga menjadi sebuah hadiah ulang tahun untuk diriku sendiri.

Di sini aku tidak akan bercerita bagaimana aku memulai perjalanan ke Laos, tetapi aku akan menuliskan bagaimana aku disadarkan bahwa kehidupan ini tidak terlepas dari yang namanya takdir.

Pertemuan yang pertama, setelah sampai di stasiun di Nong Khai, dari saat membeli tiket kereta hingga sampai di Stasiun Thanaleng di Laos, ada satu cowok bule yang kebetulan sepertinya juga akan melakukan perjalanan yang sama denganku. Saat membeli tiket dia kebetulan ada di depanku, begitu juga saat akan ke toilet sampai saat mengantri di imigrasi. Entah kenapa aku tidak ada minat untuk beramah tamah, senyumpun tidak. Dan hal yang sama juga aku rasakan dengan si bule ini. Kami sama-sama sendiri, tapi sama-sama juga saling cuek, walau berapa kali kedapatan melakukan hal yang sama. Sampai saat tiba di stasiun Thanaleng, dari yang aku baca di blog yang ditulis orang, harusnya akan banyak kendaraan van yang menawarkan transport sampai ke Vang Vieng, tapi sesampainya di sana tidak ada apa-apa. Walau begitu aku juga enggan untuk sekedar bertanya ke si bule, mungkin karena aku lihat dia tipe yang pendiam dan juga cowok, jadi lebih segan. Sampai setelah aku selesai membeli simcard dan mencoba untuk booking kereta ke Vang Vieng, si bule dan juga penumpang lain sudah meninggalkan stasiun.

Di tengah kebingungan aku mencoba ke depan, dan terjadilah pertemuan yang kedua, kali ini sepertinya gadis laos yang merupakan petugas di stasiun. Untungnya dia bisa berbahasa Inggris dan selamatlah aku, ditunjukkan bahwa untuk pesan taxi bisa menggunakan applikasi in driver. Pertemuan singkat, tapi gadis ini sudah menolongku, mungkin dulu aku pernah menolongnya, atau sama juga dulu aku ditolongnya? Entahlah, tapi aku berterima kasih, semoga di kehidupan selanjutnya aku bisa membalas kebaikannya.

Untungnya aku berhasil membeli tiket kereta cepat dari Vientiane menuju Vang Vieng di jam 11 siang hari yang sama. Saat naik ke kereta, kulihat sudah ada sepasang suami istri Korea setengah baya, dan si perempuan menempati kursiku. Saat itu ada petugas, dan setelah kutunjukkan tiketku yang ada di kursi bagian jendela maka berpindahlah si perempuan ke kursi jendela yang ada di sisi satunya. Setelah aku duduk, tak lama si suami bertanya dengan bahasa Inggris terbata-bata: “Change?” Aku sebenarnya mengerti maksudnya, dia meminta aku bertukar tempat dengan istrinya supaya mereka bisa duduk bersebelahan. Tapi saat itu ego menguasaiku, dan aku hanya menjawab, “I sit here.” Si suami tampak sedikit kesal. Lalu tidak sampai lima menit, aku berpikir, tempat duduk yang diajak tukar juga di bagian jendela, aku toh pergi sendiri, tidak perduli siapa yang ada di sebelahku, tapi buat mereka berdua, mungkin akan lebih nyaman menempuh perjalanan kereta selama hampir satu jam dengan duduk bersebelahan. Akhirnya aku menuruti kata hatiku, kukatakan pada si suami, sambil menunjuk tempat duduk istrinya dan tempat dudukku, “Want to change?” Akhirnya bertukar duduklah saya dengan si istri, dan mereka berdua mengucapkan terima kasih padaku. Inilah pertemuan ketiga, dimana aku hampir menjalin jodoh buruk dengan pasangan suami istri ini. Jika aku tidak bertukar tempat, mungkin dalam hati mereka menyimpan rasa tidak suka padaku, meskipun aku tidak salah, tapi siapa yang tahu di kehidupan selanjutnya, mereka membalasnya dengan lebih tidak menyenangkan, dan itu tidak aku harapkan.

Sampai di stasiun Vang Vieng, kembali aku bingung untuk transport ke hotel, terutama karena aku harus membeli tiket ke Luang Prabang dulu, maka saat aku selesai, stasiun sudah tampak sepi. Yang aku lihat hanya semacam tuk tuk, ada beberapa yang ngetem di sana.

Saat sedang melihat-lihat sekitar, mataku berpapasan dengan perempuan berumur dengan backpack besar di punggung, modelan emak-emak tapi entah kenapa aku merasa familiar dengan mukanya. Saat tatapan kami bertemu, secara otomatis aku tersenyum dan begitu pula dengan perempuan itu yang dilanjutkan dengan sapaan dalam bahasa Thailand. Memang dari sedari tiba, hampir semua orang yang bertemu aku selalu menyapa dalam bahasa Thai, mumgkin mukaku yang bunglon ini tampak “Thailand” bagi mereka. Lalu sapaan perempuan itu kubalas, “I’m not Thai, I’m Indonesian” dan si perempuan sedikit kaget lalu dia bicara bahasa Thai yang mungkin kalau diartikan dia pasti bilang dikiranya saya orang Thai. Si perempuan ternyata berdua dengan anak laki-laki sekitar 20an tahun yang sepertinya anaknya, si anak yang menjadi penerjemah bagi si ibu. Mereka terlihat ramah sehingga aku memberanikan diri untuk bertanya bagaimana mereka akan keluar dari stasiun ini. Si anak membantuku menanyakan harga tuk tuk, lalu dia bertanya di mana hotel tempat aku tinggal. Setelah melihat peta, dia bilang, aku bisa ikut dengan mereka for free, karena si anak ada order taxi online dengan apps lokal sepertinya dengan harga murah 42000 kip. Singkat cerita, aku ikut bersama di mobil mereka, dan si anak bahkan bilang ke supirnya untuk mengantarku setelah menurunkan dia dan ibunya. Dia bilang aku cukup membayar 5000 kip saja ke si supir. Setelah sampai di hotel mereka, aku membayar separuh harga taxi ke si anak, awalnya dia bilang tidak perlu, tapi aku juga tidak mau berhutang, dan menurutku, aku sudah cukup terbantu dengan dia menawarkan untuk ikut bersama mereka. Setelah aku memaksa, akhirnya dia menerima, aku bilang tidak apa untuk share ongkos taxi nya. Maka sampai di sini pertemuan keempatku dengan si ibu dan anak Thai ini.

Setelah kejadian-kejadian ini, tentunya masih banyak lagi pertemuan lainnya, begitu pula di dalam hidup kita, baik itu yang hanya lewat dan tanpa interaksi seperti pertemuan pertama aku dengan si bule, atau bahkan yang sampai berlangsung lama. Setiap pertemuan adalah takdir, ada ‘waktu’, ‘tempat’ dan ‘keadaan yang memungkinkan itu terjadi. Di setiap pertemuan takdir ini, bagaimana kita bersikap, tindakan apa yang kita ambil, itulah yang akan menentukan takdir kita selanjutnya. Hal ini adalah seperti apa yang disampaikan di dalam film “Past Lives”.

View from the top of Tham Chang Cave, Vang Vieng

Perjalanan ini masih berlanjut, jalan kehidupanku, meskipun umur kembali berkurang setahun, tapi sejauh ini masih akan berlanjut. Siapa yang tahu masa depan? Tapi sebenarnya semua sudah ada takdir yang menentukan, tinggal bagaimana kita “menyambut” takdir ini dan menjalaninya. Dalam perjalanan ini aku diingatkan, bahwa seharusnyalah aku menjalin hubungan takdir yang baik. Sekalipun mungkin yang kuhadapi tidak menyenangkan, terimalah, karena itu adalah apa yang seharusnya aku terima. Jangan membalas dengan perbuatan yang bisa mendatangkan jalinan jodoh yang tidak baik. Jangan biarkan “ego” menjadikan jalan mu ke depan menjadi penuh rintangan. Hadapilah rintangan yang sudah terlanjur ada saat ini dengan lapang dada. Segala hutang harus dibayar lunas, maka kamu baru akan bisa kembali pulang…

Vang Vieng, 13 January 2024

~Jen~

11.48 waktu Laos

Wedding Anniversary

It’s been a while…

No no ini bukan a while lagi… vakum selama 3 tahun an… banyak peristiwa dan hal yang sebenarnya terjadi, banyak ceritera yang seharusnya bisa kutulis… tapi apa daya, pikiran dan hati tidak bisa menyatu…

Tahun 2020 awal, dalam sejarah hidup ku mengalami apa yang dinamakan pandemi. Adanya virus Covid-19 yang mematikan dan datang berepisode-episode sampai lebih dari 3 tahun, peristiwa kehilangan orang terdekat, hingga kembalinya si anak yang tersesat. Walaupun 3 tahunan ini penuh dengan kebimbangan, rasa sedih, jenuh, marah, dan seribu satu perasaan lainnya, namun aku sangat-sangat bersyukur bahwa pada akhirnya aku bisa kembali menemukan ‘jalan untuk pulang’.

Yan, perjalanan yang harus ditempuh masih panjang tentunya, dan sudah pasti tidak mudah, tapi setidaknya aku sudah menemukannya… aku tidak lagi tersesat…

Atas semua apa yang sudah terjadi dalam hidupku, aku sungguh-sungguh bersyukur. Bersyukur karena aku masih diterima untuk kembali, setelah segala perbuatanku yang menyimpang dan tercela. Aku bersyukur atas pemaafan yang aku dapatkan, atas segala penyertaan dan berkah yang kuterima hingga saat ini. Aku berharap semoga aku bisa tetap berada di jalan yang seharusnya, dan menempuhnya dengan segala kesabaran, ketabahan sehingga bisa pulang kembali ke tempat yang seharusnya.

Hari ini adalah ulang tahun perkawinan Papi dan Mami, dan aku masih berada jauh dari tanah airku. Aku bersyukur bahwa jodoh mempertemukan papi dan mami, dan jodoh pula menjadikanku terlahir sebagai putri mereka.

Happy Wedding Anniversary Papi dan Mami, semoga jodoh kembali mempertemukan kita sebagai keluarga. Saat itu tiba, semoga aku bisa menjadi anak yang lebih berbakti kepada kalian berdua dan memiliki waktu yang cukup untuk membahagiakan kalian.

Eiffel Tower

Autumn in Paris, October 23rd, 2022

~Jen~

6.40 pm waktu Paris

Matimu Kali Ini

Bagaimana rasanya mati, lalu kemudian hidup kembali…

Mati bukan dalam arti nafas yang terhenti, atau fisik yang membeku biru.

Tapi mati saat kau meninggalkan semua masa lalu, pikiran-pikiran dan persepsimu tentang hidup yang sebelumnya.

Lalu dalam sekejap engkau hidup kembali, saat kau melihat sinar terang itu dan rasa bahagia yang membuat bibirmu ingin tersenyum, walau sakit masih terasa di sekujur tubuhmu akibat hantaman bertubi-tubi yang mungkin belum seberapa dari siksa neraka.

Ini hidup yang baru, kau lahir kembali walau masih dalam rupa, nama dan wujud yang sama.

Tapi kau tau hidupmu tak akan lagi sama, tak boleh lagi sama.

Semua dosa masa lalu, apakah sudah terhapuskan?

Mungkin belum, tapi setidaknya kesadaranmu seharusnya membuatmu tak lagi melakukan kesalahan yang sama.

Kau adalah jiwa yang baru, jalani hidupmu dengan lebih bermakna.

Matimu kali ini adalah pelajaran dan peringatan untukmu, agar dapat menemukan jalanmu untuk kembali…

Pergunakan kesempatan yang diberikan ini, untuk sungguh-sungguh berlatih, untuk memulai jalan yang telah kau pilih sendiri, agar kau tak lagi tersesat, agar kau semakin mendekatkan diri pada Tuhan dan tak lagi tinggi hati. Karena kau tak lebih dari setitik debu di angkasa dan jagad raya yang luas ini, seperti yang pernah kutunjukkan padamu dulu sekali…

Jangan lengah! Berlatihlah lebih keras lagi, karena waktumu tak lagi banyak!

img-20190910-wa00088494361070078310991.jpg
Yogyakarta, 10 September 2019
~Jen~
15.52 WIB

Hidup Baru

Sebenarnya tulisan ini tentang kematian. Topik “kematian” sudah pernah aku tulis juga sebelumnya di tulisan dengan judul Kematian ini. Tapi alih-alih memberi judul “kematian” yang mungkin buat sebagian besar orang menakutkan, maka aku lebih suka menggunakan istilah “Hidup Baru”.

Kenapa sih kok aku ingin menulis topik ini lagi? Karena sejujurnya buatku sekarang, kematian tak lebih dari suatu proses yang memang akan dialami oleh kita semua, makhluk yang masih berada di samsara. Akhir-akhir ini memang ada beberapa peristiwa yang membuat aku kembali merenung dan berpikir tentang kematian.

Entah sejak kapan aku tidak begitu ingat, kematian bukan lagi hal yang menakutkan buatku, tetapi masih menjadi hal yang menyedihkan, karena seperti yang disampaikan oleh Guru Buddha, berpisah dengan yang dicintai adalah sebuah penderitaan. Dan tentu saja penderitaan itu mendatangkan kesedihan.

Dulu aku selalu merasa sedih bila ada orang yang meninggal, ini pula yang membuatku berpikir untuk tidak menjadi seorang dokter, bukan karena aku takut darah ataupun lainnya, tapi lebih kepada aku tidak tahan melihat kematian, karena kupikir aku pasti akan menangis sedih jika menghadapi kematian.

Tetapi perjalanan hidup memberiku begitu banyak pelajaran, kematian demi kematian dari orang-orang disekelilingku dan terdekatku telah membentuk aku yang sekarang. Aku yang sekarang yang tak lagi bersedih saat melihat kematian. Aku yang sekarang yang memandang kematian hanya sebagai suatu bagian dari kenyataan hidup dan proses dalam perjalanan di samsara ini.

Sempat terbersit dalam benakku apakah aku telah berubah menjadi orang yang tidak berperasaan? Tapi setelah merenungkan lebih dalam, tidaklah demikian adanya. Aku pernah menyikapi kematian dengan kemarahan, kesedihan dan ketidakpuasan untuk waktu yang cukup lama. Kematian papi itu mungkin menjadi satu titik balik dalam hidupku dalam proses “mencari kebenaran”. Dan waktu akhirnya memberikanku banyak pelajaran dan jawaban atas tanya dan ketidakpuasanku. Dalam perjalanan waktu, aku bisa memahami pesan yang kuterima, bahwasannya keterikatan dan keakuanlah yang menyebabkan kesedihan itu.

Saat harus sekali lagi mengalami peristiwa kematian orang yang aku cintai, yaitu kematian mami, aku lebih bisa menerimanya dengan berbesar hati. Tentu saja sebagai manusia yang normal yang masih memiliki perasaan dan ego, aku tetap menangis dan merasa kehilangan. Tapi dibalik rasa kesedihan itu aku juga mengerti bahwa kematian itu sesungguhnya tidak pernah memisahkanku dari orang-orang yang kucintai itu. Mereka hanya sudah terlebih dahulu memulai hidup yang baru, dalam wujud dan dimensi yang berbeda, dan suatu saat nanti mungkin aku akan kembali bertemu dengan mereka lagi.

Aku menulis tulisan ini dari mulai menunggu boarding hingga sekarang berada di atas pesawat yang membawaku kembali ke Jakarta. Sambil memandang ke luar jendela, melihat hamparan awan-awan putih diselingi mentari senja, mengingatkanku akan masa kecilku. Waktu kecil aku sempat bertanya, apakah orang yang meninggal itu akan berada di awan? Karena pelajaran yang kuterima, surga itu adanya di atas, dan sejauh kumemandang langit terlihat hamparan awan seputih kapas. Ada satu kali, sambil memandang awan di langit, aku menangis, teringat kakekku yang sudah meninggal saat itu. Saat ini, saat memandang awan, kupikir seperti itu pulalah kematian. Kadangkala mereka yang pergi menjadi awan, lalu turun sebagai hujan, bergabung menjadi ombak di lautan hingga kembali menjadi awan begitu seterusnya. Mereka tidak pernah pergi, mereka selalu ada, hanya bagaimana kita bisa mengenalinya dalam wujud dan rupa yang berbeda.

Yang lahir pasti mati, karenanya usahlah bersedih. Hidup yang satu dan hidup yang baru hanya sebatas pemikiran kita. Yang terpenting bagaimana kita bersiap untuk memulai hidup baru yang bisa datang kapan saja menghampiri kita…

Di atas langit senja Jakarta,

~Jen~

05.49 pm

Akhirnya aku bisa mengunjungi Bhutan, negara yang tingkat kebahagiaan penduduknya tinggi. Jika melihat kondisi alamnya, memang sangat indah dan asri. Dari tour guide lokal aku mengetahui bahwa pemerintah tetap menjaga agar 60% dari area haruslah ditanami pepohonan. Tidak heran udara di sini masih sangat segar dan bersih.

Hari pertama aku punya kesempatan mengunjungi Buddha Point atau Buddha Dordenma, sebuah patung Buddha yang sangat besar yang pembangunannya sudah diramalkan untuk menjaga perdamaian di Bhutan.

Bangunan patung ini sangat besar, di dalamnya masih terdapat ribuan patung-patung Buddha kecil dan juga terdapat patung Buddha Vayrocana dan Buddha-Buddha lainnya. Di dalam ruangan aku sempat bernamaskara dan bermeditasi sejenak. Setelah selesai aku berkeliling di halaman luar ruangan.

Entah apakah ini hanya perasaanku ataukah memang ada ‘pesan’ yang ingin disampaikan padaku, tetapi saat berjalan keliling itu aku jadi menangis, dan seolah ada yang berbicara padaku, kenapa aku berpikir bahwa tidak ada gunanya lagi aku hidup? Tulisanku sebelum ini memang berisi perasaanku tentang hidup yang aku jalani saat ini, bagaimana aku merasa bahwa sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup setelah kepergian kedua orangtuaku. Tapi pesan yang aku terima di Buddha Donderma menyuruhku membuka mataku, merasakan dengan hatiku, bahwa masih banyak yang bisa aku lakukan, di luar sana masih banyak hal indah yang bisa aku rasakan.

Aku menangis saat mendapat pesan itu, walau singkat, tetapi menguatkan dan menenangkan. Hidup ini tidak hanya sekedar hutang piutang. Dalam perjalanan kali ini aku bertemu orang-orang baru, merasakan cinta kasih dari mereka, dan sebaliknya juga bisa berbagi kasih dengan mereka. Jika hanya didasarkan pada hutang piutang, mungkin kita hanya jadi berhitung, tapi hidup seharusnya tidak seperti itu. Cinta yang aku miliki, berkah yang ada dalam diriku, seyogyanya kupergunakan dengan baik, agar bisa menuntunku pada jalan pembebasan sejati.

Thimphu, Bhutan, 5 June 2019

~Jen~

05.21 am waktu Bhutan

Tidak terasa satu kuartal telah terlewati di 2019 ini. Waktu benar-benar berjalan dengan cepat. Kesibukan menambah cepatnya perjalanan waktu bagiku. Tanpa terasa pula sebentar lagi setahun sudah sejak kepulanganku dari Taiwan. Banyak yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun, tapi entah mengapa yang paling mengusikku adalah soal kematian, kepergian orang-orang yang ada di sekitarku.

Sebelum aku berangkat ke Taiwan di 2017, saat masih bekerja dan suka travelling, seringkali karena terlalu sering membawa barang berat, tanganku jadi terkilir alias keseleo. Dan seperti kebiasaan pada umumnya, jika terkilir pastilah yang dicari tukang urut atau sinshe yang bisa pijat. Dulu aku selalu pergi ke satu sinshe di petak sembilan daerah kota. Usianya tidak terlalu tua mungkin masih sekitar 60an nyaris 70, dan jika dilihat orangnya tampak masih sehat dan segar. Setelah kembali dari Taiwan tahun lalu, kebetulan tanteku ingin pergi pijat ke sinshe tersebut dan ternyata mendapat kabar kalau beliau sudah meninggal.

Kelahiran dan kematian bukanlah hal yang aneh dalam kehidupan ini, terlebih buatku yang tengah belajar mengenai ketidakkekalan. Tetapi tetap saja hal ini mengusik diriku. Dalam kurun waktu setahun, siapa saja bisa pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Aku jadi teringat selama setahun aku tinggal di Hualian, Taiwan, aku sudah melihat lebih dari 3 kali peristiwa kematian. Memang orang-orang tersebut tidak aku kenal, tapi entah kenapa aku jadi merasa diperlihatkan bahwa betapa tidak kekalnya hidup ini, diingatkan bahwa kapan saja hal ini bisa terjadi pada diriku.

Hal terakhir yang benar-benar mengingatkanku soal ketidakkekalan ini adalah saat aku bermimpi bahwa seseorang memberitahuku bahwa waktu hidupku hanya tinggal 10 tahun lagi. Sebenarnya ini tidak jelek juga bagiku, hidup terlalu lama tanpa makna sama saja seperti mati. Sejujurnya semenjak kepergian mami aku merasa sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup. Aku sudah tidak bisa membayar hutang budiku di kehidupan ini. Lalu aku tidak punya suami atau anak yang harus aku urus, sementara bagiku kakak adikku seharusnya sudah bisa mengurus diri mereka sendiri.

Kadangkala aku berpikir sudah waktunya aku pergi. Tugas sudah selesai di kehidupan ini, biar kubayar hutang di kehidupan yang akan datang. Mungkin orang akan bertanya kenapa aku tidak berkeluarga? Sejujurnya sebagian diri ini mungkin pernah menginginkannya, tapi sebagian lainnya juga menolaknya. Kupikir ini tidak lepas dari karmaku di banyak kehidupan yang lalu. Jadi jika sekarang aku ditanya kehidupan mana yang aku pilih, aku pikir pada dasarnya kita semua datang seorang diri, dan akan pergi seorang diri.

Berkeluarga ataupun tidak, kita ini tetap sendiri, menempuh jalan seorang diri. Keluargamu adalah teman dalam perjalanan, dan sesungguhnya tidak terbatas keluargamu saja, setiap orang yang kau temui dalam hidupmu adalah teman seperjalanan. Beberapa mungkin sudah berhenti terlebih dahulu sehingga tidak lagi berjalan bersamamu, beberapa mungkin mengambil jalan yang berbeda denganmu, yang bisa saja satu kali nanti di satu masa yang berbeda bisa bertemu kembali denganmu di satu jalan yang sama.

Aku tidak pernah takut sendiri, aku tidak pernah merasa sendiri, dan kematian bahkan bukan akhir buatku. Aku ingin memulai yang baru, tapi entah mengapa sepertinya ada yang masih harus kulunasi di kehidupan ini, dalam kurun waktu yang relatif singkat ini.

Siapapun itu kamu atau kalian, jika memang aku harus melunasi hutangku di kehidupan ini, datanglah padaku, muncullah di hadapanku, karena aku tidak mau berdiam terlalu lama di sini, karena tugas baru sudah menungguku dan jalan sudah menantiku untuk melangkah maju…

Atambua, 31 Maret 2019

~Jen~

08.00WITA

Turning 39

Yup, today is my birthday, and I’m turning 39. Bukan usia yang muda lagi ya, tapi entah kenapa sih gue selalu ngerasa masih muda aja hahaha… kalau bukan karena mata yang udah mulai harus pakai kacamata ples, dan uban di rambut yang udah mulai lebih cepet tumbuhnya, atau kulit yang udah mulai keluar bercak-bercak putih (nasib orang kulitnya putih) pasti gue akan selalu merasa kalau gue ini baru 17 taon (ich lebay) hahaha…

But that’s true, selama ini gue gak merasa kalau gue ini udah tua, hmmm… terlalu pede mungkin ya? Sebenernya kalau dipikir-pikir bukan terlalu pede sih, tapi lebih kepada gue merasa waktu ini jalannya eh larinya udah kayak orang dikejer anjing gila kali ya, ngebut kagak kira-kira. Perasaan kemaren gue baru aja tiup lilin, masa hari ini kudu tiup lilin lagi? Makanya taon ini gue kagak tiup lilin dah, jiaah alasan hahaha bilang aja kagak ada yang nyiapin kue taon ini wkwkwkw…

Tapi bener, eh bener apa nih, bener kalau waktu itu jalannya eh larinya cepet banget, n bener juga kalau taon ini ultah kagak tiup lilin karena kagak ada yang siapin kue wkwkwk… Yah maklum aja, sekarang gue lagi di negara antah berantah lainnya, di Timor Leste tepatnya, negara baru lagi yang gue injek karena urusan pekerjaan. Hm… dipikir-pikir wish taon lalu jadi kejadian ya. Taon lalu gue ulang tahun di Taiwan, merayakan bareng temen-temen baru, sementara taon sebelumnya gue ultah di Vietnam, dibuatin surprise party sama child fruit (baca: anak buah, wkwkwk). Taon lalu gue sempet bilang, udah dua taon ini ngerayain ultah di negara orang, taon depan gue akan ngerayain di mana lagi? Daaaan.. kejadian donk, taon ini gue ngerayain ultah di negara orang lagi (ya emang negara orang, masa sih negara m*nyet hahaha).

Beda dengan dua taon sebelumnya, taon ini tidak ada perayaan, ucapan selamat pun kayaknya mulai berkurang nih, jiaahhh diitungin hahaha… ya kadang gue pengen tau aja sih siapa-siapa yang masih inget ultah gue, care ama gue, ciee… tapi biar gak ngucapin juga bukan berarti tuh orang gak care sih, emang mungkin kagak tau aje, atau lupa, ya even some of my best friends cannot remember my birthday. Trus cuma gegara dia lupa ultah loe jadi bukan best friend lagi? Hahaha ya gak lah ya, semakin nambah umur gue ceritanya makin wise neh wkwkwk jadi menurut gue tuh, ada orang yang memang gak pay attention to hal-hal begini, jadi ya dimaklumin aja. Even bokap gue aja pernah salah tulis nama gue donk hahaha, it doesn’t mean bokap gue gak care ama gue, tapi emang gue tau aja, nama gue terlalu susah buat bokap gue inget! hahaha…

Nah agak serius dikit neh sekarang, cie serius, eh beneran tadinya gue mo nulis ini maksudnya kontemplasi di hari ultah, tapi entah kenapa ye kok jadinya tulisan chit chat ala gue gini wkwkw tapi asik juga sih, udah lama gak nulis dengan gaya gila gue ini hahaha… back to laptop (ya ampun ketauan banget ye jaman tontonannya hahaha). Oke serius-serius sekarang. Nah jadi gini, kemaren-kemaren ini gue jadi mulai mikir, ich kok gue tiga taon ini ultah di negara beda-beda ya, ini kok jadi seperti loe lahir lagi di tempat-tempat yang beda, ini jadi buat gue mikir mungkin seperti ini juga saat kita terlahir lagi. Kita bisa lahir di tempat dan kondisi yang menyenangkan buat kita, tapi bisa juga lahir di tempat dan kondisi yang kurang menyenangkan. Tapi menyenangkan dan nggak itu kan bagaimana gue sendiri yang ‘mengatur’ dan ‘merasakan’ nya.

Mungkin akan ada orang yang bilang kasihan ya, ulang tahun jauh dari keluarga karena urusan kerja, sendirian lagi. Hm… ya itu sih biar aja orang mo ngomong apa, gue sih happy-happy aja, karena nambah taon ato nggak benernya sih gak beda buat gue. Nambah taon ini benernya cuma pengingat buat gue, pengingat apa? Pengingat kalau umur gue udah berkurang lagi, waktu hidup gue di dunia ini tambah sedikit.

Gue mo cerita dikit nih, ini emang aneh, ini kejadian taon lalu, waktu gue di Hualien, kadang kan gue suka jalan sendiri tuh keluar, olah raga sekalian aja kadang otak gue ini mikir ke sana kemari. Nah ceritanya ada satu kali entah gimana mulanya, gue itu kepikir, sebenernya orang mati tuh lebih baik loe tau kapan waktunya jadi loe bisa prepare, or mendingan dadakan aja langsung aja lu cabut. Kenapa gue mikir gini? Ya gue lagi keinget aja antara bokap n nyokap. Bokap pergi cepet, kata nyokap enak sih gak ngerasain sakit (kek tau aja ye, sapa tau juga saat itu bokap ngerasain sakit hahaha), sementara buat yang ditinggal terutama gue waktu itu, gak terima banget sih. Nah beda waktu nyokap, karena emang waktu itu nyokap sakit, gue tau sih pasti itu sakit banget dan nyokap benernya gak mau tapi ya gimana ya mi, emang itu apa yang sudah seharusnya terjadi, tapi buat gue entah kenapa gue merasa lebih tenang karena saat itu gue merasa gue bisa mempersiapkan segalanya, termasuk say sorry ke nyokap dan mengantar nyokap pergi untuk terakhir kalinya. Nah singat cerita setelah mikirin hal ini, eh entah gimana tuh beberapa hari kemudian gue mimpi donk, dalam mimpi tuh kek ada yang bilang ke gue, jadi waktu hidup gue itu tinggal 10 taon lagi. Nah waktu gue bangun gue cuma mikir gini, hm… 10 taon lagi, jadi gue gak lewat umur 50 taon ya, hm.. bagus jugalah, gue gak pengen idup sampe lama-lama, gue gak pengen mati dalam kondisi muka gue udah keriput, gue pengen mati masih cantik! wkwkwk aiyooo gila juga gue ya…. hahaha… tapi ini beneran loh…

Btw ini hari ultah gue and gue talking-talking about death, ich kalau masih ada nyokap bakal dikemplang gue, pamali masa hari ultah ngomongnya gitu? hahaha ya ya ya gak salah sih, semua orang selalu waktu ultah diselametin semoga Panjang umur, gue tau deh kenapa, karena benernya everybody knows kalau loe ultah itu tandanya umur loe bakal kurang satu ya jadi semoga nanti bisa Panjang umur nyaaa… hahaha…

Okeh, kayaknya udah cukup kegilaan gue hari ini, karena di sini benernya udah lewat hari, maklum 2 jam lebih cepet dari Indo, so gue harus mengakhiri tulisan ini. Dan inti dari semua celotehan gak jelas gue ini adalah, gue cuma mau bilang ke diri gue sendiri:

Happy Birthday Jen, thank you for this 38 years, you hang on and survived. I know it’s not an easy life for you, but you did well so far. Be sincere and accept whatever waiting for you in this journey. I know you can do it! 加油!

Okeh that’s it, dan seperti masih mengikuti tradisi keluarga, hari ini tetap harus makan mie goreng ya, jadi karena darurat dan gak tau apakah bisa keluar makan mie goreng ato nggak, jadi ya terpaksa kita bikin saja. Thanks to Indomie Goreng (ich iklan, hahaha) yang dimasak pakai rice cooker jadi jugalah ya mie ulang taon ala ala wkwkwk….

photo from jennifer (鄧燕妮)

Dili – Timor Leste, 11 January 2019 00:45 am

~Jen~

(10 January 2019 in Jakarta 10:45 pm)