Feeds:
Posts
Comments

Archive for January, 2009

Melangkah Maju

Dalam hidup ini kita seringkali menerima suatu penolakan dari orang lain. Penolakan dari suatu keinginan ataupun harapan kita. Yang namanya penolakan tentunya menyakitkan, karena kita tidak mendapatkan apa yang kita mau.

Menerima suatu penolakan tidaklah mudah, butuh kebesaran jiwa dan hati yang lapang. Tidak sedikit orang yang menjadi sedih, kecewa, marah dan patah hati karena penolakan. Tetapi ada juga yang pantang menyerah untuk mencoba lagi demi memperjuangkan apa yang mereka mau.

Aku sendiri bukan orang yang bisa dengan mudah menerima penolakan, karena itu biasanya aku tidak memulai sesuatu yang tidak pasti yang mungkin mendatangkan penolakan. Bukan karena aku terlalu sombong, bukan, tapi aku terlalu takut untuk terluka…

Beberapa hari yang lalu, dengan mengumpulkan keberanianku, aku melakukan suatu hal yang sekarang kuyakini sebagai kebodohan. Ini kebodohan yang kedua kalinya yang kulakukan, setelah apa yang kulakukan lebih dari setahun lalu. Kebodohan yang kurang lebih sama, yang membuatku merasa itu bukan aku yang melakukannya…. Entahlah darimana datangnya keberanian itu, keberanian untuk mengungkapkan isi hatiku. Mungkin karena ketakutan dalam hatiku, bahwa ini bukanlah cinta, hanya rasa penasaran belaka, dan aku butuh kepastiannya, ataukah karena aku sudah lelah menunggumu?

Untuk kedua kalinya, dan harusnya sejak yang pertama, kusadari bahwa kenyataan tidaklah seperti yang aku harapkan. Tetapi seolah aku butuh kepastian, untuk memulai langkahku tanpa bayanganmu, dengan berat hati aku melakukannya…. Bukan hal yang mudah buat diriku untuk melakukannya, apalagi harus menerima kenyataannya. Kadangkala ada sedikit sesal di hati, tapi waktu tak bisa diputar kembali, dan aku harus menghadapi kenyataannya saat ini….

Di sisi lain, aku berusaha untuk tidak menyesalinya, karena untuk melangkah maju, mungkin ini adalah rintangan terberat pertama yang harus kuatasi, bagaimana mengubah perasaan ini menjadi cinta yang universal, tanpa keinginan untuk memiliki ataupun rasa sakit hati….

Karenanya tiada yang ketiga, cukup sudah aku belajar dari dua yang lalu. Aku pasti bisa melangkah maju, tanpa bayanganmu. Yang tersisa darimu hanyalah masa lalu, yang indah hanya sebatas untuk dikenang….

Read Full Post »

Hari Sabtu kemarin aku menghadiri satu acara seminar dengan salah satu pembicaranya adalah YM.Bhante Uttamo. Seminar ini mengambil tema ‘Sukses Meraih Impian dengan Buddhisme di Tahun 2009’. Bhante menyampaikan bahwa untuk bisa sukses meraih impian, terlebih dahulu kita harus tau apa yang menjadi impian kita. Untuk itu kita perlu mengetahui kecenderungan bakat atau kemampuan apa yang kita miliki. Pada sesi tanya jawab, seorang peserta menanyakan kepada Bhante, bagaimana Pangeran Siddharta yang memiliki kecenderungan bergelimang harta, pangkat dan kedudukan bisa memilih menjadi seorang pertapa dan berhasil menjadi seorang Buddha. Saat itu Bhante menjawab bahwa kecenderungan Pangeran Siddharta tidak hanya pada harta dan kedudukkannya, tetapi ia sudah diramalkan akan menjadi seorang raja yang terkenal atau menjadi seorang pertapa yang hebat. Bahkan di usia yang belia Pengeran Siddharta sudah mencapai tingkat kesucian Sotapana, dan hal ini menunjukkan bakatnya. Jadi memang ada dua kecenderungan yang pada akhirnya salah satu telah dipilih oleh Pangeran Siddharta, yaitu menjadi seorang pertapa yang kemudian menjadi Buddha. Pada akhirnya semua itu balik lagi kepada ‘pilihan’ karena apa yang terjadi dalam hidup kita ini adalah sebuah ‘pilihan’.

Setelah mendengar penjelasan itu, aku mulai berpikir, dalam hidup ini kita memang seringkali dihadapkan tidak hanya dengan satu pilihan, kadangkala lebih dari dua pilihan yang harus kita hadapi. Kita mungkin saja memiliki banyak kemampuan dan juga cita-cita, tapi kita biasanya harus menentukan satu pilihan yang akan benar-benar kita jalani, supaya pilihan yang merupakan impian kita itu bisa terwujud. Jika kita terlalu serakah ingin semua impian itu terwujud, kita biasanya justru tidak bisa mewujudkan bahkan satu saja diantaranya, karena kita sulit untuk berupaya secara maksimal pada semua impian itu sekaligus. Belum lagi apabila dari impian-impian itu ada yang saling bertentangan. Bayangkan bagaimana kehidupan seorang raja yang bergelimang harta dan kekuasaan dibandingkan dengan kehidupan seorang pertapa? Bisa dipastikan kita tidak akan bisa meraih keduanya sekaligus. Karena itulah pangeran Siddharta telah memilih satu dan pergi meninggalkan yang lainnya.

Dibutuhkan keberanian yang besar untuk memilih, saat kita dihadapkan pada pilihan yang bertolak belakang, dimana saat kita memilih yang satu berarti kita meninggalkan yang lainnya. Saat menetapkan pilihan mungkin banyak pertimbangannya, yang kadangkala juga mendatangkan rasa cemas, takut dan rasa bersalah. Tapi saat tekad sudah dibulatkan, dengan dilandasi tujuan yang baik untuk kebahagiaan banyak orang, keberanian itu pastilah datang dengan sendirinya.

Kemarin juga aku melihat bagaimana teman-temanku yang telah memilih jalan hidup mereka sebagai perumahtangga. Aku melihat satu fase kehidupan sudah mereka lalui dan mereka sudah memasuki fase yang lainnya. Aku bisa menyaksikan bagaimana mereka bermetamorfosis menjadi bentuk yang lebih sempurna dengan bertambahnya usia dan kematangan. Dari seorang gadis biasa menjadi seorang istri lalu seorang ibu. Tapi yang mengherankan aku tidak bisa melihat keindahan di dalamnya. Aku dapat merasakan cinta yang mereka miliki, tapi kenapa saat yang bersamaan aku juga merasakan adanya masalah dan penderitaan? Entahlah, justru bukan keinginan untuk menjadi seperti mereka yang timbul di hatiku, tetapi justru dorongan yang mengatakan bahwa menjadi seperti itu adalah halangan untuk bisa mewujudkan keinginanku?

Memasuki tahun ini, dengan berbagai peristiwa yang kualami, juga karena mengetahui kenyataan bahwa aku pernah menjadi seorang bhikkuni di kehidupan yang lalu, sedikit demi sedikit keinginan itu timbul. Sayangnya keberanianku masih belum cukup, aku masih butuh sedikit saja waktu lagi untuk bisa sampai pada keputusan itu. Seperti yang Bhante Uttamo katakan, masih dalam seminar yang sama, menjawab pertanyaan bagaimana caranya agar kita bisa berani, aku masih harus mengumpulkan informasi. Informasi yang cukup sehingga aku bisa memahami dan bisa menyingkirkan rasa takut yang menjadi belenggu. Agar aku menjadi berani untuk memilih jalanku sendiri, seperti yang dilakukan oleh Pangeran Siddharta….

Read Full Post »

Belajar

42-17020128

Belajar buat sebagian orang merupakan hal yang mudah, tapi mungkin bagi sebagian besar lainnya adalah hal yang sulit. Ada orang-orang yang sangat suka sekali belajar, tapi sebagian ada yang malas, dan beberapa lainnya mungkin tergantung pada apa yang harus dipelajari. Aku termasuk orang  yang suka belajar, tapi aku bukan seorang kutu buku, aku suka belajar apapun dari pengalaman hidupku sehari-hari.

 

Sewaktu aku naik taxi aku belajar jalan-jalan pintas  yang dilalui oleh supir taxi sehingga di lain waktu saat aku bepergian sendiri ataupun masih dengan taxi, aku sudah tau jalan-jalan itu yang mungkin bisa menghindari kemacetan. Sewaktu aku kecil, aku belajar cara berdagang dari papi, bukan dengan pengajaran langsung, tapi dengan memperhatikan bagaimana papi berdagang di toko. Begitu pula saat aku bekerja, aku belajar untuk mencintai pekerjaanku dan menekuninya…

 

Dari semua yang aku pelajari, buatku belajar dari suatu kesalahan ataupun kegagalan adalah yang paling penting. Tidak bisa kupungkiri, kadangkala aku berpikir seharusnya aku bisa menghindari kesalahan ataupun kegagalan itu, tapi aku tidak pernah menyesal, aku bersyukur justru dengan kesalahan/kegagalan itu aku bisa belajar dan menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Aku pernah melakukan kesalahan dan  mengalami kegagalan tentunya, dan aku menyesalinya, lalu aku belajar untuk tidak mengulanginya lagi.

 

Tapi belajar dari kesalahan ataupun kegagalan tidaklah mudah, dan ternyata juga tidak semua orang bisa cepat belajar ataupun bahkan mau sedikit saja belajar. Untuk bisa belajar dari kesalahan/kegagalan, kita harus lebih dahulu bisa menerima kesalahan/kegagalan itu dengan mengakuinya.  Selain mengakui kita juga harus menyingkirkan perasaan bersalah dan menyesal. Kita perlu menyesal tapi bukan berlarut-larut. Point nya adalah ”what’s next?”

 

Belakangan ini aku baru menyadari, ternyata tidak semua orang dengan mudah bisa belajar dari kesalahan atau kegagalannya. Sebagian dikarenakan kesombongan diri, merasa ”nothings wrong with me”, sebagian lagi mungkin karena ’kebodohan batin’: tidak bisa melihat sesuatu secara bijaksana. Kadangkala kita harus melihat segala sesuatu dari sisi yang berbeda. Aku seringkali melakukan hal ini, bukan untuk menjadi beda dengan pendapat orang kebanyakan, tapi lebih kepada melihat secara adil, memposisikan diri kita pada situasi itu, karena kadangkala berbicara itu mudah, tapi untuk melaksanakan ataupun mengalaminya sendiri, itu yang sulit.

 

Biar bagaimanapun kita tidak pernah bisa memaksa seseorang untuk belajar. Proses belajar akan maksimal bila datangnya dari dalam diri masing-masing orang. Orang lain hanya bisa membantu untuk mengarahkan, mendukung, tapi tetap yang terpenting adalah si pelaku utama, yaitu orang itu sendiri.

Untuk itulah aku harus mengingatkan diriku lagi, bahwa kita tidak pernah bisa memaksa orang lain untuk belajar, karena tidak semua orang bisa belajar, bahkan  sekalipun dengan pengalaman pahit yang mendatangkan penyesalan seumur hidup. Di sini aku hanya ingin menyampaikan pada semua, jangan pernah malas belajar, terutama dari kesalahan atau kegagalanmu, karena yang terpenting bukanlah suatu keberhasilan tapi bagaimana kamu bisa bangkit dari kegagalan dan memperbaiki kesalahan serta menemukan kebenaran.  

Read Full Post »

Di tahun 2009 ini aku sudah memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian karena beberapa alasan. Yang pasti bukan karena ikut-ikutan trend ataupun juga karena aku sangat perduli atas himbauan untuk menjadi vegetarian dengan alasan untuk menyelamatkan bumi. Bukan, bukan karena hal itu. Aku pernah menjadi vegetarian selama 1 tahun lebih, dan itu sudah 10 tahun yang lalu. Ya, dengan berbagai alasan pembenaran diri dan kebulatan tekad yang kurang kuat, akhirnya aku berhenti jadi seorang vegetarian.

Aku punya alasan mengapa aku memutuskan untuk menjadi vegetarian (lagi). Lebih dari 14 tahun yang lalu aku pernah mengucap ikrar untuk menjadi seorang vegetarian. Ikrar seorang anak kecil yang lahir dari rasa kekecewaan dan putus asa, yang akhirnya tidak pernah bisa dilaksanakan. Walau sudah lama berlalu, ikrar itu tetap selalu bisa kuingat dengan jelas, seolah hutang yang harus kubayar.

Tetapi diluar rasa tanggung jawab untuk membayar hutang, keputusanku untuk menjadi seorang vegetarian adalah lebih kepada karena aku ingin belajar untuk mengembangkan cinta kasih yang universal, cinta kasih yang tidak hanya terbatas kepada manusia tetapi juga kepada hewan dan makhluk lainnya.

Memang tidak ada keharusan untuk menjadi seorang vegetarian dalam Buddhisme, tetapi bila niat untuk menjalankannya adalah untuk pengendalian diri dan mengembangkan cinta kasih, menjadi vegetarian baik untuk dilakukan.

Untuk itulah, melengkapi ikrar yang pernah terucap serta untuk berlatih mengembangkan cinta kasih, aku memutuskan untuk menjadi seorang vegetarian (lagi).

Read Full Post »

Sampai kemarin siang aku masih berpikir kata-kata papi mengenai dalam hidup ini yang penting kita tidak melukai orang lain dan kita berbuat baik itu sudah cukup, adalah benar. Bahkan akhir tahun 2008 pun aku masih mendengar ceramah yang menguatkan statement itu, dengan cukup menjadi baik (be good), surga sudah ada dalam genggaman kita. Kalau demikian hal nya bukankah papi seharusnya sudah terlahir di surga? Dengan penilaian yang cukup objective bahwa papi adalah seorang yang baik? Tetapi sayangnya, menjadi baik saja tidaklah cukup bahkan hanya untuk bisa terlahir sebagai manusia lagi, apalagi terlahir di surga!

Sebagai anak mengetahui papi harus terlahir di alam yang sengsara, pastilah aku bersedih. Pertanyaanku selama ini terjawab sudah, ‘bahagiakah papi?’, ternyata jawabnya TIDAK! Jawaban ini sudah sejak lama kuketahui dari mimpiku, saat aku melihat wajah sedih papi saat itu. Dan hari ini aku sangat bersyukur atas karma baik yang membuatku bisa mengetahui dengan pasti kalau papi memang sudah terlahir di alam yang menyedihkan, entah alam apa itu pastinya, mulut kecil itu tidak sampai hati menyampaikannya padaku, tetapi dengan begitu aku jadi bisa berusaha untuk menolong papi ‘melewatinya’….

Mungkin ini hanya dugaanku saja, tapi tingkat keyakinanku 90%, bahwa penyebab papi terlahir di alam sengsara adalah karena rasa tidak bisa menerima. Papi meninggal juga bukan karena sakit yang berat tapi lebih kepada sakit pikiran. Sakit pikiran yang timbul karena tidak bisa menerima keadaan yang selalu berubah, sakit pikiran karena penyesalan atas harapan yang tidak terkabulkan. Sekali lagi aku menyesal karena saat itu pemahamanku tentang dharma juga belum cukup sehingga aku tidak bisa mengajarkan kepada papi bahwa ada yang namanya ‘dukkha’ dan ‘anicca’.

Pada akhirnya dengan mengetahui hal ini juga aku jadi disadarkan, ternyata hanya dengan label ‘orang baik’ saja tidak bisa menjamin kita bisa lahir lagi menjadi manusia. Kita harus kembali pada empat kebenaran mulia yang sudah ditemukan oleh Sang Buddha:

” Hidup ini adalah penderitaan,

Adanya sebab dari penderitaan,

Adanya akhir dari penderitaan (bisa diakhiri),

Dan cara mengakhiri penderitaan dengan jalan mulia berfaktor delapan.”

That’s why, just being good is not enough!

Semoga tulisan ini bisa membawa manfaat yang baik bagi orang-orang yang membacanya, dan karma baik yang kuperoleh bisa melimpah pada papi supaya bisa terbebas dari penderitaan….

Semoga sekali lagi kita bisa berjodoh sebagai ayah dan anak seperti di kehidupan sekarang dan di kehidupan yang lalu….

Read Full Post »