Kemarin, seperti biasa dalam perjalanan ke kantor aku selalu mendengarkan musik untuk menghilangkan kejenuhan. Kebetulan lagu yang terputar dari handphone adalah lagunya BCL – Kecewa. Entah kenapa, tiba-tiba saja otakku jadi terus memikirkan kata ‘kecewa’ ini, lebih dari kecewa karena pacar yang tidak datang, seperti yang dilukiskan pada lirik lagu itu. Seharian kemarin, semalam, sampai sekarang akhirnya aku menuangkan apa yang aku pikirkan.
Aku berpikir, selama 29 tahun lebih aku hidup di dunia ini, sudah berapa banyak kekecewaan yang aku alami? Berapa banyak yang sudah terlupakan begitu saja? Berapa banyak yang masih menyisakan bekas di hati? Berapa banyak yang meninggalkan penyesalan? Dan berapa banyak yang sampai sekarang masih terasa sakit? Kita semua pastinya pernah kecewa, atau mungkin ada di antara pembaca ada yang tidak pernah sama sekali merasa kecewa? Rasanya tidak yakin ada, kalau ada, mungkin bisa berbagi resepnya di sini.
Waktu kecil aku seringkali kecewa karena tidak dibelikan mainan oleh orang tuaku, kecewa karena tidak berhasil mendapat nilai sepuluh waktu ulangan, kecewa karena tidak diajak pergi jalan-jalan, serta beribu kekecewaan anak-anak lainnya. Tapi kusadari, hampir tidak ada kekecewaan itu yang masih membekas di hatiku, sebagian besar malah sudah kulupakan, entah mengapa, karena waktu yang sudah menghapusnya kah? Atau karena kekecewaan itu lahir dari pikiran seorang anak-anak yang ketika beranjak dewasa menjadi bukan hal yang penting lagi? Entahlah, aku tidak tahu…
Ketika remaja dan beranjak dewasa, lebih banyak lagi kekecewaan yang terasa agak menyakitkan, yang aku rasakan. Kecewa dengan nilai Ebtanas yang entah kenapa bisa tiba-tiba jelek, kecewa karena terpaksa harus melanjutkan SMA di kampung, tidak jadi di Jakarta, kecewa waktu aku tahu cowok yang aku suka ternyata suka-nya ke cewek lain dan beribu kecewa lainnya yang masih bisa kuingat walaupun sudah tak lagi kusesali…
Satu kekecewaan terbesar dalam hidupku yang sangat sulit untuk dilupakan, dan entahlah apakah akan menyisakan bekas atau tidak, adalah kekecewaan atas kepergian ayahku lebih dari 6 tahun yang lalu.
Aku mulai merenungi kenapa manusia bisa merasa kecewa. Dari apa yang aku alami, dari seluruh kekecewaanku, ternyata penyebabnya adalah keinginan yang tidak terpenuhi dan harapan yang tidak terbalas. Ternyata memang ‘kecewa’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai tidak puas, tidak puas karena tidak terkabulnya harapan ataupun keinginan seseorang. Dan kita tahu ketidakpuasan itulah dukkha. Sebagian besar keinginan itu didasari atas keterikatan dan keserakahan.
Kita selalu bermain dengan hitung-hitungan dan pamrih: kalau aku melakukan ini, aku harus mendapat itu, kalau aku melakukan itu padanya, harusnya ia membalasku seperti ini. Kita selalu dipenuhi harapan-harapan yang kita ciptakan dalam pikiran kita sendiri. Dan saat harapan-harapan itu tidak terwujud, kecewa lah yang timbul.
Selama kita masih terbelenggu oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan, selama itu pula kita masih akan terus merasa kecewa. Tetapi bisakah kita melaluinya? Kalau melihat bagaimana aku bisa melupakan kekecewaan-kekecewaan masa kecilku, berarti kita bisa juga melaluinya, tapi bagaimana bisa? Ternyata itu terjadi seiring dengan adanya perubahan, ya perubahanku dari anak kecil yang menjadi dewasa. Aku tidak lagi membutuhkan mainan, aku tidak lagi butuh nilai sepuluh untuk ulangan, tidak lagi kecewa karena tidak diajak jalan-jalan oleh orang tuaku karena sekarang aku bisa pergi sendiri, ya karena masa-masa itu sudah berlalu, sekarang kondisi sudah berubah.
Tapi mengapa ada beberapa kekecewaan yang masih menyisakan rasa sakit di hatiku? Hei itu karena aku menyimpannya begitu lama, aku tidak meninggalkannya saat itu seharusnya sudah berlalu.
Lalu bisakah kita tidak merasa kecewa? Bisa saja, tapi sudah pasti tidak mudah, dan aku sendiri masih belum berhasil untuk tidak merasa kecewa sama sekali. Kita tahu kecewa itu karena adanya harapan yang tidak terkabul, karenanya jangan pernah berharap! Bukan berarti di sini aku mengajarkan untuk berputus asa, bukan dalam pengertian itu. Tapi jangan pernah berharap untuk balasan, lakukanlah segala sesuatu dengan tulus. Aku menyadari ini, kenapa aku begitu kecewa atas kepergian ayahku, karena aku dengan ego-ku berharap akan punya waktu yang lebih lama untuk hidup bersamanya.
Janganlah bermain dengan kalkulator untuk menghitung untung-rugi serta balasan dari apa yang kita lakuan, karena itu semua hanya akan berakhir dengan kekecewaan bila tidak berjalan sesuai dengan hitungan kita. Dan ingatlah, semuanya akan berlalu, apapun itu, tiada yang pasti dan kekal.
Berlatihlah untuk melakukan segala sesuatu dengan tulus, berlatihlah berpuas diri dengan apa yang kita dapatkan, dan berlatihlan untuk menyadari bahwa semuanya akan berlalu.
Semoga dengan demikian kita tidak akan lagi merasa kecewa…
Jakarta, 29 April 2009; 05.00 AM