Feeds:
Posts
Comments

Archive for December, 2012

photoSudah lama tidak nonton film, karena merasa harus meluangkan waktu untuk diri sendiri dan atas saran beberapa teman, akhirnya memutuskan untuk menonton film “Life of Pi”. Seperti biasa, dari setiap film yang aku tonton, pastinya ada pelajaran yang bisa diambil. Kali ini aku mencoba menulis apa yang aku tangkap dari film tersebut, terlepas dari apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh si penulis cerita ataupun sang sutradara, di sini aku menuliskan apa yang aku ‘rasa’kan dari menonton film tersebut. Jadi bisa saja ini tidak seperti maksud yang ingin disampaikan oleh si pembuat cerita, tapi buatku ini adalah ‘pesan’ yang tertangkap dan inilah yang akan kutuliskan di sini.

Awal film ini lebih banyak adegan berbicara, yang buat sebagian orang mungkin agak sedikit membosankan, walaupun dalam setiap adegan itu tetap saja terkandung banyak pesan dan nilai, tetapi aku juga tidak terlalu tertarik untuk menuliskannya di sini. Sejujurnya tidak seperti film-film lainnya, dimana saat menonton pun aku sudah bisa menangkap ‘pesan’ yang ingin disampaikan, untuk film ini aku perlu berpikir untuk bisa memahami apa yang ingin disampaikan, entahlah mungkin aku sedikit kurang konsentrasi waktu menonton karena masih diselingi mengerjakan kerjaan kantor yang kebetulan darurat, atau memang karena pesan yang ingin disampaikan terlalu dalam.

Buatku, pesan dari film ini dimulai dari perjuangan Pi di tengah lautan, dan harus hidup berdua saja dengan Richard Parker si macan bengala. Richard Parker sesungguhnya melambangkan ‘keakuan’ dalam diri setiap manusia. Manusia terlahir dan hidup dalam samsara ini dengan membawa keakuan dalam diri masing-masing, seperti juga Pi yang harus tinggal bersama Richard Parker terombang-ambing di tengah lautan. Aku bisa melihat betapa angkuh dan sombong nya si macan, karena mungkin merasa di sana dialah yang paling hebat, seperti halnya ‘keakuan’ dalam diri kita masing-masing yang sering merasa kitalah yang paling hebat dari orang lain. Dengan kesombongan dan ‘alasan’ mempertahankan hidup, ‘aku’ seringkali mengorbankan makhluk lainnya, seperti si macan yang memangsa zebra, hyena dan orang utan. Keserakahan si ‘aku’ juga diperlihatkan oleh si macan saat adegan perahu mereka dilewati ikan-ikan terbang. Richard Parker si macan, masih ingin merebut ikan yang besar dari Pi, padahal sudah begitu banyak ikan-ikan yang bisa ia santap yang berjatuhan di dalam perahu tersebut. Entah mungkin merasa tidak cukup, mungkin merasa ikan yang besar itu lebih baik, atau bisa jadi karena merasa harus mendapatkan ‘yang lebih’. Seperti itu juga kita manusia selalu merasa tidak puas dengan apa yang sudah ada pada diri kita, hidup kita. Satu adegan memperlihatkan kebodohan si ‘aku’, saat Richard Parker terjun ke laut demi memangsa ikan yang ada di laut. Saat itu jelas ia tidak berpikir panjang, yang ada di pikirannya mungkin hanya bagaimana caranya dapat menyantap ikan-ikan tersebut, tanpa berpikir caranya dia bisa kembali ke atas perahu, dan bahwa ada resiko dia akan mati karena harus berada di tengah samudra yang begitu luas. Atau bisa jadi sebenarnya dia tahu resiko itu, hanya saja keserakahan dan mungkin kesombongannya sudah membuatnya melakukan tindakan bodoh itu. Demikian halnya dengan manusia, seringkali melakukan tindakan-tindakan yang bisa menjerumuskan diri mereka sendiri, karena ‘kebodohan’ mereka, yang akhirnya membuat mereka terus berada di samudra samsara ini.

Lalu bagaimana dengan Pi sendiri? Di awal perjalanan Pi lebih banyak ‘takut’ dengan Richard Parker, lalu pada akhirnya Pi merasa harus mulai berkomunikasi dan ‘berdamai’ dengan si macan, karena menyadari harus melalui perjalanan itu hanya berdua dengan si macan. Beberapa dari kalian yang membaca kalimat yang aku tulis ini mungkin bisa menangkap maksudnya, tapi buat yang lain mungkin tidak mengerti. Kita hidup di dunia ini, masing-masing membawa ‘keakuan’ kita, dan itulah yang sebenarnya membuat kita masih lahir dan lahir lagi di samsara ini. Sebagian besar kita tidak menyadari bahwa kita harus hidup bersama si ‘aku’ yang sangat berbahaya, seperti Pi yang harus hidup bersama si macan di tengah lautan. Menaklukkan ‘keakuan’ seperti halnya Pi yang berusaha menjinakkan Richard Parker. Tidak selamanya cara yang keras bisa digunakan untuk menaklukkan hal-hal di dunia ini, tapi pada satu titik, ‘berdamai’ dan ‘memahami’ adalah ‘kunci’ dari ‘menaklukkan’ itu sendiri. Sesaat setelah badai, Pi memangku Richard Parker yang sudah kelelahan, pada saat itulah mereka bisa ‘menyatu’.

Saat akhirnya perahu mereka bisa tiba di daratan, Richard Parker pergi meninggalkan Pi, dalam film itu dikisahkan Pi merasa sedih karena menyadari selamanya tidak pernah bisa bersahabat dengan Richard Parker dan merasa menyesal mengapa Richard Parker meninggalkannya setelah apa yang mereka lalui, tanpa ia sempat menyampaikan kata perpisahan. Buat aku adegan ini adalah klimaks, kepergian Richard Parker meninggalkan Pi seorang diri setelah mereka sampai di daratan adalah apa yang memang seharusnya terjadi. Setelah kita bisa ‘menaklukkan’ sang ‘aku’ dalam diri kita masing-masing dan mencapai ‘pantai seberang’, pada saat itu kita memang harus ‘melepas’ sang ‘aku’ sehingga sudah tidak ada lagi ‘aku’, itulah tujan akhir dari perjalanan ini…

Fiuuuhh… tulisan kali ini agak berat ya, mungkin banyak dari kalian yang tidak memahami, tapi tidak mengapa, aku menuliskan ini atas dasar apa yang aku tangkap dan pahami, aku tidak menuntut dari kalian yang membacanya setuju ataupun bisa mengerti. Karena aku menyadari masing-masing orang sedang menempuh perjalannya sendiri, dan sejauh mana perjalannya, hanya diri masing-masing yang tahu. Tidak memahami ini sekarang bukan berarti selamanya tidak akan bisa memahami, hanya saja mungkin aku sudah melalui bagian ini, sementara yang lainnya belum. Bisa jadi ada yang sudah jauh melewati bagian ini, jauh berada di depanku dan merasa bukan seperti ini seharusnya? Tidak apa-apa, itu sah-sah saja, benar dan salah itu relatif, dan kembali kutegaskan ini adalah pemahaman yang aku dapat, bisa diterima bisa juga tidak, anggap saja sebagai dongeng atau bacaan dikala iseng jika tidak sesuai dengan apa yang ada dipikiranmu.

Jakarta, 9 Desember 2012

~Jen~

Read Full Post »

IMG01262-20121205-1740

Hujan gerimis di sore ini, memandang ke luar jendela dari lantai 16 gedung Plaza Mutiara dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada. Aku memilih menulis daripada menangis ataupun marah-marah mengeluarkan segala kekesalan yang ada. Tulisanku, teman yang paling setia, yang tak banyak bicara, dan selalu ada. Heeehhh…. rasanya menarik napas sepanjang apapun masih gak cukup untuk menghilangkan semua penat ini… Memandang butiran air yang menetes di kaca gedung, melihat ke arah luar langit yang sedikit aneh, hujan gerimis, dengan awan gelap tebal, tapi di ujung sana masih terlihat sedikit cahaya matahari, benar-benar langit sore yang aneh, tapi indah menurutku…

Perut yang terasa lapar, diganjal dengan sebatang coklat toblerone, berharap manis nya bisa memberikan sedikit kegembiraan untuk hati ini. Lagu ‘I won’t give up’ nya Jason Mraz masih bersenandung di telinga lewat earphone, menutupi seluruh suara dari luar, hanya sesekali suara rintik hujan yang menyeruak masuk memanfaatkan sedikit celah yang ada.  Masih mengamati langit Jakarta sore ini, benar-benar aneh, sekarang warnanya sedikit kemerahan, bercampur dengan gelap, memberi kesan remang-remang, masih tetap indah menurutku…

Entah kenapa memberi judul tulisan ini ‘Impian, Kenyataan, dan Harapan’, mungkin karena merasa sedang berhadapan dengan ketiganya. Impian yang sedang dikejar, berhadapan dengan kenyataan yang ada, namun masih tak berhenti berharap. Fiuh, kenapa jadi kompleks ya rasanya. Semua ibarat langit sore ini, campur aduk tapi tetap terasa indah, karena begitulah hidup ini… Mencoba belajar dari setiap peristiwa yang ada, rasa sakit karena ketidakjujuran, kekecewaan karena tidak seperti yang dibayangkan, kepercayaan yang dihancurkan, impian yang terpaksa harus dibuang… semua datang silih berganti, tapi tak bertahan lama…

Mengamati segala perasaan yang timbul dan tenggelam, mencoba untuk bersikap netral, mengendalikan pikiran yang liar ini, sungguh bukan hal yang mudah… Ini adalah ujian terberat, lebih berat daripada harus menyelesaikan hitungan algoritma. Menghabiskan sisa potongan coklat terakhir, tak juga merasa sedikit gembira, mungkin otak ini sudah terlalu bebal, rasa ini sudah mati, atau justru sebaliknya terlalu peka? Entahlah…

Mencoba mengingat segala pesan yang pernah tersampaikan, menjalani kehidupan ini dengan tulus, menjalankan segala konsekuensi dari pilihan yang sudah diambil. Tidak perlu merasa kecewa bila tulus, tidak perlu merasa sakit hati bila melakukan dengan tulus, tidak perlu marah bila tulus. Benar-benar tidak mudah, sungguh tidak mudah… tapi bila ini teratasi, aku percaya hal yang baik tengah menantiku. Seperti pelangi yang menampakkan diri saat matahari berhasil menyeruak diantara gelapnya langit yang tengah menangis, membiaskan titik-titiknya menjadi sapuan warna warni yang indah…

Langit di luar sana sudah gelap, semakin indah, karena sekarang kulihat titik-titik sinar yang gemerlapan bertebaran di bawah sana… Sudah lama tidak menikmati langit malam dengan lampu-lampu kecilnya, sinar-sinar yang memberikan harapan. Mungkin buat orang-orang, aku ini aneh, bahkan teman dekatku mulai mengatakan aku aneh. Aku sendiri tidak suka menjadi aneh, aku sendiri ingin menjadi biasa-biasa saja. Tapi aku harus menerima diriku apa adanya, dengan segala keanehan ini, kepekaan yang tinggi, yang selalu menangkap rasa yang tak terlihat, terkecap, teraba ataupun terdengar, dan otak yang seringkali berpikir keras untuk mencari jawaban atas segala rasa itu. Kadangkala aku lelah, sangat lelah, tetapi pada satu titik meyadari ini adalah berkah, dan berkah sepatutnya disyukuri.

Semua ini adalah proses dalam hidupku, segala yang terjadi pasti ada alasannya, ada yang masih harus kupelajari, ada yang harus kurelakan, ada yang harus kulalui… semoga aku mampu menjalaninya, demi sebuah harapan yang rela kutukar dengan apapun milikku, termasuk impianku… semoga ‘Tuhan’ mendengar doa tulusku…

Jakarta, 5 Desember 2012

~Jen~

06:44 pm

Read Full Post »