Feeds:
Posts
Comments

Archive for February, 2013

Lem Tikus

Sebenarnya peristiwa ini sudah lama terjadi, dulu sekali sewaktu aku masih duduk di bangku SD. Aku lupa tepatnya kelas berapa, tapi rasanya antara kelas 4 atau 5 SD. Entah kenapa kejadian saat itu masih kuingat sampai saat ini, terutama saat-saat aku lagi teringat akan almarhum papi. Lucunya sambil mengingat peristiwa itu, otakku terus berpikir menelaah ‘pesan’ apa yang sebenarnya bisa kupelajari dibalik peristiwa itu. Setelah sekian lama berpikir, rasanya aku sudah bisa memahami makna yang bisa kuambil dari peristiwa tersebut dan baru sekarang ini sempat kutuliskan.

Ceritanya dulu aku punya sebuah rautan pensil model yang diputar, berbentuk kereta api. Rautan model ini mungkin masih menjadi barang langka di tahun 80an, apalagi buat kota kecil (baca: desa) tempatku tinggal. Rautan tersebut adalah oleh-oleh yang diberikan pamanku dari Taiwan, dan hasil rautannya sangat runcing, berbeda dengan rautan pensil dengan cermin yang umumnya dipakai pada jaman itu, sehingga lengkaplah sudah rautan berbentuk kereta api tersebut jadi barang mewah yang sangat disayangi oleh kami bertiga, aku, kakak dan adikku, pada saat itu.

20130202-100521 PM.jpg

Suatu ketika, entah karena terlalu sering dipakai, atau juga ada kesalahan dalam pemakaian, pemutar yang ada di bagian belakang rautan tersebut patah. Kami bertiga pada saat itu tidak tahu pasti siapa yang sudah merusaknya, rasanya tiap anak punya andil dalam rusaknya rautan tersebut. Karena pemutarnya patah, maka rautan tersebut tidak lagi dapat digunakan. Tapi sudah menjadi kebiasaan di keluarga kami untuk tidak begitu saja membuang barang yang rusak. Papi adalah pedagang, tapi rasanya kalau jaman itu papi punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, kupikir papi akan mendapatkan gelar insinyur. Tidak sedikit perabot di rumah kami yang rusak tapi bisa diperbaiki oleh papi, termasuk juga alat-alat elektronik, jika kerusakannya ringan, papi akan bisa memperbaikinya. Oleh karena itulah rautan pensil yang patah itu tidak serta merta kami buang, selain karena rasa sayang tentunya, tapi juga karena dirasa masih bisa diperbaiki. Maka rautan pensil tersebut masuk dalam daftar tunggu benda-benda yang akan papi perbaiki di waktu senggang.

Belum sempat rautan itu diperbaiki oleh papi, aku sudah ingin menggunakannya, dan entah karena darah keturunan papi yang mengalir di tubuhku, atau aku sendiri memang orang yang tidak bisa diam dan selalu berusaha sendiri, maka timbullah keinginanku untuk memperbaiki sendiri rautan pensil tersebut. Aku mencoba melihat kerusakannya, “hmm, ini hanya karena patah saja, jika aku berhasil merekatkan kembali pemutar yang ada di bagian belakang tersebut, maka rautan ini bisa kugunakan kembali,” begitu pikirku saat itu. Maka mulailah aku memutar otak, kira-kira lem apa yang cukup kuat, yang bisa kupakai untuk merekatkan bagian yang patah tersebut. Aku berpikir keras, lalu mencoba sebuah lem yang biasa dipakai untuk merekatkan bahan kertas, kain dan bahkan kayu, namun tidak berhasil, tentu saja karena rautan pensil itu terbuat dari bahan semacam plastik. Kembali aku putar otak, dan tiba-tiba terlintas dalam benakku, “Aha! Pakai lem tikus aja, pasti akan menempel dengan kuat, tikus aja bisa nempel,” begitu yang ada dalam pikiranku. Maka ku ambillah lem tikus yang kebetulan kulihat di depan mataku. Apalagi di kotak lem tikus itu ada gambar gajah yang ikut nempel, makin yakinlah aku bahwa lem ini akan merekat dengan kuat. Namun apa yang terjadi? Bukannya merekat kuat, lem itu tidak kering-kering dan bagian pemutar yang patah itu tetap tidak bisa menempel kembali. Putus asa melihat hasilnya, akhirnya kubiarkan saja rautan itu apa adanya.

Waktu berselang, tiba giliran rautan itu untuk diperbaiki papi, dan kebetulan aku sedang duduk di dekat papi. Papi mengeluarkan rautan itu dari kotaknya, memperhaikan sebentar kerusakan yang ada, lalu mulai mengutak-atik bagian yang rusak. Tiba-tiba dengan heran papi bergumam, “Kenapa kok ini lengket ya?” katanya sambil memegang bagian yang patah. Lalu aku yang melihat dan sadar akan hasil perbuatanku serta merta berkata, “Eee kayaknya waktu itu Jen pernah coba benerin dan pakein lem tikus, Pi.” “Hah! Dasar bodoh! Mana bisa nempel, bedul, lem tikus mah bikin lengket, mana bisa kering! Pantesan lengket begini,” seru papi kepadaku. (Umpatan “bodoh” sudah cukup lazim di keluarga kami, tanpa maksud mengatai bodoh dalam arti sesungguhnya, karena jelas kami bertiga anak papi selalu dapat juara di kelas, mungkin karena itulah kalau ada perbuatan kami yang dinilai tidak mencerminkan kepintaran kami, papi atau mami akan mengatakan kami “bodoh”; sementara “bedul” entah bahasa apa, tapi kami anak-anaknya sering dipanggil begitu oleh papi). Saat itu aku hanya bisa nyengir saja, tapi otak anak umur 9 – 10 tahun-ku saat itu masih tidak habis pikir, bagaimana mungkin yang namanya “lem” yang seharusnya fungsinya melekatkan, tidak bisa membuat benda menempel, padahal tikus saja bisa nempel!

Dalam perjalanan waktu, dan banyak pelajaran yang kuterima, akhirnya aku bisa memahami mengapa yang namanya “lem tikus” itu bisa membuat tikus menempel di papan umpan, tapi tidak bisa merekatkan rautan pensilku. Meski begitu, selama bertahun-tahun peristiwa “lem tikus” itu kerap melintas dalam pikiranku. Aku kerap berpikir apakah dengan melakukan hal itu berarti aku ini “bodoh”? Hmmm rasanya tidak juga, kalau aku bodoh, tidak mungkin saat itu IQ ku 133, ukuran yang termasuk genius (sombong dikit ya, hihihi). Tapi benar-benar peristiwa itu buat aku mikir. Dan sekarang sepertinya aku mulai memahami, apa yang kulakukan saat itu memang sebuah “kebodohan”. “Kebodohan” bukan berarti otakku yang bebal, tapi “kebodohan” karena “ketidaktahuan”.

Demikian halnya dengan kehidupan kita sebagai manusia. Sang Buddha menyampaikan ada tiga racun yang meliputi manusia, yaitu keserakahan, kebencian dan kebodohan. “Kebodohan”, ini sering disebut sebagai “kegelapan batin”, mengapa? Karena “kebodohan” di sini adalah “ketidaktahuan”, orang yang tidak tahu ibarat berada dalam kegelapan. Dari peristiwa “lem tikus” ini ternyata memberiku banyak pelajaran, yang pertama, “kebodohan” atau “ketidaktahuan” bisa menjerumuskan manusia. Tidak dapat memahami benar dan salah seringkali membuat manusia melakukan perbuatan yang merugikan dirinya sendiri. Benar dan salah memang sangat “relatif” di dunia ini, karena itulah dibutuhkan “kebijaksanaan” untuk dapat “melihat”-nya. Yang kedua, manusia bisa “belajar” untuk dapat mengikis “kebodohan”, tentu saja diperlukan waktu dan proses pembelajaran, seperti halnya aku yang pada akhirnya dapat memahami cara kerja “lem tikus”. Yang ketiga, kadangkala apa yang “terlihat” seringkali tidak demikian adanya, ditambah lagi dengan “kebodohan” kita, “ketidaktahuan” kita, “kegelapan batin” kita, membawa kita pada pengertian yang salah, dan parahnya kita lalu mengangap itu sebagai hal yang benar. Seperti aku kecil yang menganggap bahwa yang namanya “lem” akan dapat melekatkan benda yang ingin kutempel, maka aku berpikir bahwa jika seekor tikus saja bisa menempel, maka lem itu sudah pasti sangat kuat dan mampu merekatkan rautan pensilku, ini pengertian yang salah yang saat itu kuanggap benar! Untungnya kembali ke point kedua, dalam perjalanan waktu aku mau “belajar”, “mengkaji”, “membuktikan”, dan akhirnya “memahami”‘ “mengakui” dan “menerima” bahwa aku telah “salah”. Sehingga ini menjadi point keempat, asalkan ada kemauan untuk belajar, mau mengakui kesalahan, tidak ngotot dengan pemahaman sendiri atau merasa diri sudah benar, maka dengan membuka diri kita, kita dapat “melihat kebenaran” di sekitar kita, dan perlahan-lahan mengikis “kegelapan batin” atau “kebodohan” kita.

Semoga peristiwa “lem tikus” ini bisa senantiasa menjadi pengingat bagiku dalam “menempuh perjalanan” ini. Semoga anda yang membacanya dapat pula mendapatkan manfaat, apapun itu, bisa jadi hanya sebagai sekedar hiburan atau bacaan iseng, it’s oke, setidaknya ada manfaat. Segala karma baik yang ditimbulkan oleh tulisan ini, semoga melimpah pada almarhum papi dan semua makhluk, semoga semua senantiasa berbahagia dan terbebas dari penderitaan, Sadhu Sadhu Sadhu.

Jakarta, 3 Februari 2013
~Jen~

10.38 pm

Read Full Post »