Feeds:
Posts
Comments

Archive for October, 2008

Suatu siang, 21 tahun yang lalu….

Aku senang sekali hari ini karena mendapatkan hadiah kenaikan kelas berupa meja belajar baru merek Ligna berwarna coklat khas kayu. Sebelumnya aku harus berbagi dengan koko, sebuah meja belajar merek Olympic yang dibeli oleh mami. Tapi mulai hari ini aku punya meja belajar sendiri karena aku berhasil ranking 1 saat naik ke kelas 3 SD. Yang membuatku senang bukan hanya karena mendapat meja belajar yang baru, tapi lebih dari itu karena meja ini special dibeli papi dari kota untukku. Jarang sekali papi memberikan kami hadiah. Walaupun tidak ada gambar boneka lucu seperti yang ada di meja yang lama, tapi aku lebih menyukai mejaku sendiri. Belakangan adikku pun mendapatkan meja belajarnya sendiri. Sama seperti koko, meja belajarnya bermerek Olympic dan dibelikan oleh mami. Sejak itu meja belajarku menjadi lebih istimewa karena satu-satunya yang bermerek Ligna, dibeli di kota dan dibeli oleh papi.

Sampai sekarang meja ini jadi terasa lebih istimewa karena merupakan satu-satunya barang kenangan yang tersisa dari papi untukku…
Walaupun kaki mejanya sudah mulai rusak karena umurnya yang sudah lebih dari 20 tahun dan telah berpindah rumah 3 kali, aku tetap ngotot mempertahankannya sampai di Jakarta sekarang ini.
Karena tak ada yang tersisa dari papi, rumah tempatku dibesarkan yang penuh kenangan akan papi, sofa tua tempat papi duduk sehari-hari membaca koran yang juga menjadi tempatnya menghembuskan nafas terakhir… tidak ada satupun yang tersisa….
Hanya meja tulis Ligna tua ini yang menyisakan sedikit kenangan akan papi….

Suatu siang, 20 tahun yang lalu…

Aku mendapat nilai 8 untuk ulanganku, senang sekali rasanya karena sebagian besar teman sekelasku hanya mendapat nilai 6. Dengan bangga kutunjukkan nilaiku disertai harapan sedikit pujian dari papi. Tapi ternyata aku salah, papi hanya berkata, “Kok cuma 8?” “Ini udah bagus pi, karena anak laen banyak yang dapat nilai 6,” jawabku bangga. “Ada yang dapat 10 gak?” tanya papi lagi. “Ada sih 1 orang,” jawabku. “Kalau gitu kenapa nilaimu gak bisa 10?” Aku hanya bisa diam dan sedikit membenarkan pernyataan papi itu. Tadinya aku berpikir kalau papi adalah tipe yang tidak pernah puas, tapi belakangan aku menyadari dan aku belajar bahwa papi hanya ingin menunjukkan bahwa aku tidak pernah boleh merasa cepat puas dengan apa yang sudah kuraih kalau itu ternyata belum kuusahakan secara maksimal.

Suatu senja, hampir 20 tahun yang lalu….

Seorang anak laki-laki lusuh dan kotor tidur di teras depan rumahku. Papi yang kebetulan melihat, timbul rasa belas kasih dan menyuruh kami mengambilkan makanan, sepiring nasi dan lauknya. Tapi tidak sempat kami bertindak, mami keluar, dan dengan dalih mungkin saja anak itu gelandangan yang gila, mami mengusirnya pergi dari rumah kami.  Saat itu papi hanya bisa diam….

Waktu itu aku yang masih kecil belum bisa memahami apa-apa, tapi setelah dewasa, aku baru melihat dan merasakan kebaikan hati papi. Kadangkala aku suka bertanya, dari mana asalnya rasa belas kasih yang aku miliki? Sekarang aku tau dari mana dan aku bersyukur karena mewarisinya dari papi.

Hari-hari penuh keributan….

Aku tidak pernah mengerti kenapa dua orang yang hidup berumah tangga karena saling mencintai harus seringkali mewarnai hari-harinya dengan keributan. Pertengkaran-pertengkaran papi dan mami seringkali jadi tontonan kami sehari-hari, walaupun hanya pertengkarang kecil. Tapi kebanyakan pertengkaran itu disebabkan oleh mami yang kurasa sangat tidak sabar, dan aku mengangkat topi untuk kesabaran papi yang tiada habisnya…. Buatku, papi adalah orang paling sabar di dunia.

Suatu siang, lebih dari 14 tahun yang lalu….

Seperti biasa aku selalu membatu papi di toko, diantara kami bertiga, anak papi dan mami, hanya aku yang sepertinya suka berjualan di toko. Waktu pembeli sedang sepi, aku dan papi seringkali berbincang-bincang. Apa saja yang kami perbincangkan? Sebagian besar kami membahas barang-barang yang kami jual, bagaimana konsumen mau beli barang itu, bagaimana kita set harga untuk barang itu dengan adanya program-program promosi dari distributor. Saat itu aku tidak menyadari, bahwa apa yang sering aku perbincangkan dengan papi kelak berguna bagi pekerjaanku sekarang. Bahkan baru kusadari, mengapa aku begitu mencintai dunia marketing, ternyata sejak kecil aku sudah terjun langsung di dalamnya. Dan papi, adalah guru marketing-ku yang pertama….

Entah kapan, lebih dari 14 tahun yang lalu….

‘Dagang tidak usah ambil untung terlalu besar, kalau kita dapat diskon dari agen, kita bisa potong lagi untuk konsumen,’ kata papi mengajariku. Waktu itu aku tak tau atas dasar apa papi mengambil tindakan seperti itu, tindakan yang justru oleh adiknya dan oleh mami dianggap ‘bodoh’ karena melepaskan kesempatan mendapat untung besar.

Belakangan setelah aku belajar, memang dalam bisnis tindakan papi tidak sepenuhnya salah. Tapi lebih dari itu, pada dasarnya papi tidak suka ambil untung yang besar karena papi memiliki hati yang baik, terlalu baik, dan memiliki perasaan tidak tega terhadap orang lain. Sifat ini juga yang papi wariskan untukku, aku menyadarinya akhir-akhir ini, dan aku tidak pernah menyesal karena mewarisi sifat papi ini….

Entah kapan, aku tak pernah tau tepatnya….

Papi bilang untuk apa sayang ke anak perempuan, karena jika sudah besar toh diambil orang…. Karena itulah papi tidak pernah memanjakanku, satu-satunya anak perempuan yang dimilikinya. Sebaliknya banyak sekali tanggung jawab yang dibebankan kepadaku. Papi bahkan tidak pernah memelukku. Lalu apa aku sedih karenanya? Aku tidak pernah sedih, tidak juga marah. Aku justru berusaha keras, membuat papi melihat keberadaanku, melihat bahwa aku ini punya arti, karenanya aku selalu berusaha jadi anak yang baik untuk papi, anak yang bisa segalanya, yang bisa membuat papi bangga….

Sampai sekarang aku jadi terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, terlalu mandiri, karena aku selalu ingin menunjukkan kepada papi walaupun aku perempuan aku juga bisa berguna. Belakangan aku merenungi perkataan dan tindakan papi, setelah mencoba memahami sifat-sifat papi, aku sampai pada kesimpulan, bukan papi tidak menyayangiku anak perempuannya, tapi papi hanya tidak ingin terlalu sakit dan bersedih jika suatu saat aku anak perempuannya harus pergi meninggalkannya untuk hidup berumah tangga. Aku tidak tau apakah penafsiran ini benar atau salah, dan ini juga bukan pembenaran ataupun penghiburan untuk diriku, tapi lebih dari itu, aku bersyukur, karena semua sikap papi itu telah menempaku untuk menjadikan aku kuat. Tidak pernah terbayangkan kalau saja papi memanjakanku dari dulu, mungkin saat papi pergi meninggalkan kami, aku sudah hancur dan tidak akan bisa jadi seperti sekarang ini….

Hari-hari libur kuliah, 11 – 8 tahun yang lalu ….

Sejak aku kuliah di Jakarta, tiap kali pulang liburan, banyak hal yang aku perbincangkan dengan papi. Entah kenapa aku menjadi semakin merasa dekat pada papi. Banyak hal-hal yang kami bicarakan bersama, entah itu soal kuliah, soal toko, ataupun permasalahan-permasalahan kecil lainnya. Papi adalah lawan bicara yang menyenangkan….

Di lain kesempatan papi pernah berkata kepadaku, ‘Papi tidak bisa mewariskan harta, yang bisa papi kasih ke kalian adalah warisan yang berupa ilmu.’ Karena itulah papi berjuang agar kami semua anaknya bisa sekolah hingga bangku kuliah.

Taukah papi, warisan dari papi ini lebih berharga dari emas dan permata? Warisan ‘ilmu’ yang papi berikan ke kami ini tidak pernah habis dan selalu berguna. Papi, terima kasih untuk memberikan kami, anak-anak papi, warisan yang tak ternilai harganya….

Entah kapan, aku tak mengingat waktunya….

Papi bukan orang yang taat beragama, bukan pula seorang atheis. Papi hanya orang yang memiliki prinsip hidup untuk tidak berbuat jahat kepada orang lain. Satu kata-kata yang kuingat dari papi, “Untuk apa jadi orang yang rajin berdoa, siang malam, tapi selalu marah-marah ke orang lain. Percuma saja mengucap doa, kalau kelakuannya tetap tidak baik.” Dulunya aku pikir papi salah, tapi sekarang aku membenarkan apa yang diucapkannya. Tapi tentunya aku menambahkan keyakinan di dalamnya, serta dharma sebagai dasarnya. Satu peristiwa yang juga kuingat jelas, papi bersedih karena adikku yang merupakan anak kesayangannya, harus seringkali mengalami nasib yang lebih jelek dibandingkan aku dan koko. Adikku lebih banyak harus berusaha sendiri. Saat itu aku hanya bisa berkata kalau itu adalah karmanya, dan papi marah karena ucapanku. Sayang… hal yang sangat aku sesalkan….aku tidak pernah sempat mengajarkan dharma kepada papi, meski aku tau, walaupun tidak mengenal dharma, hidup yang papi jalankan sebagian besar sudah sesuai dengan dharma….

Sekitar 8 tahun yang lalu….

Popo harus pergi meninggalkan kami…. Papi sangat menyayangi popo yang merupakan mamanya. Aku ingat mami pernah cerita, dulu saat mami sedang kesal karena hidup di keluarga besar, mami ingin pindah dan mencari rumah sendiri, saat itu papi menyetujuinya. Tapi belakangan papi meminta pengertian mami, bahwa papi tidak akan pernah tega meninggalkan popo, mamanya. Papi adalah anak yang sangat berbakti pada orang tua….

19 Oktober, 6 tahun yang lalu…

Hari ini hari wisuda koko dan aku, walaupun aku harus menunggu setengah tahun agar bisa wisuda bersama dengan koko, aku tidak merasa sedih. Aku senang karena hari ini satu keluarga berkumpul bersama, dan kami bisa memiliki foto keluarga. Papi terlihat sangat lelah, saat berjalan-jalan di mall malam itu, untuk pertama kalinya aku menggandeng lengan papi. Baru kusadari lengan papi begitu kokoh, papi memang memilki badan yang bagus. Aku merasa akan sangat aman sekali bila berada dalam pelukan papi. Tapi aku tau saat itu papi sangat lelah, aku bisa merasakan tubuhnya agak sedikit dingin. Malam itu kami makan bersama, sebenarnya aku ingin sekali malam itu jadi perayaan untuk ulang tahun perkawinan perak papi dan mami 4 hari kemudian, yaitu tanggal 23 Oktober. Tapi cukuplah malam itu dua keluarga, keluarga kami dan keluarga ku acen, makan bersama, semua merasa senang. Malam itu karena terjadi kesalahpahaman kecil, aku jadi tertinggal di mall sendiri dan harus balik ke penginapan yang untungnya bisa ditempuh dengan berjalan kaki menyeberangi jembatan penyeberangan yang cukup panjang. Aku melihat wajah papi yang khawatir saat tau aku jadi harus pulang malam-malam sendirian. Tapi aku hanya tersenyum dan berkata, ‘Tidak usah kuatir, Jen sudah biasa…’

20 Oktober, 6 tahun yang lalu…

Papi dan mami harus kembali ke Lampung, sebelum masuk mobil, papi merangkulku dan adikku. Ia memegang pundakku seperti takut kehilangan dan seperti mengkhawatirkan sesuatu, papi juga terlihat seperti ingin menangis. Saat itu aku hanya bisa berkata, “Papi tidak usah khawatir, Jen kan sudah kerja, lagipula koko juga sudah diterima kerja. Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. King-king sebentar lagi juga akan lulus. Papi tenang saja, tidak usah banyak mikir…”  Aku tidak pernah mengira, itu adalah kata-kata terakhirku untuk papi, karena 4 hari kemudian, hari ini tanggal 24 Oktober, 6 tahun yang lalu, diusianya yang baru 61 tahun, papi pergi meninggalkan kami semua untuk selama – lamanya… hanya beberapa detik setelah sesak nafas yang menyerangnya, papi menghembuskan nafas terakhir di atas sofa tua tempatnya biasa duduk menonton televisi ataupun membaca koran sambil merokok….

“Memang benar, orang baik biasanya mati muda….”

Semua kenangan ini kuabadikan untuk papi tercinta, agar aku selalu ingat akan papi, sosok tegar, sabar dan baik, yang akan selalu hidup dalam hatiku….

Read Full Post »

Kematian

Kematian masih menjadi misteri bagi sebagian besar orang. Kita seringkali bertanya, apakah kematian itu? Seperti apa rasanya? Kapan ia akan datang ke hadapan kita? Kemana perginya kita setelah mati? Semua pertanyaan-pertanyaan itu seringkali hadir di hadapan kita terutama saat-saat kita melihat orang lain menghadapi kematian. Saat kita ditinggalkan oleh orang-orang di sekeliling kita, orang-orang yang kita sayangi, saat kematian datang menghampiri mereka.

 

Dengan prinsip Ehipassiko (datang dan buktikan sendiri), tidakkah kamu ingin mengalaminya sendiri baru kamu bisa mengerti dan memahami apa itu kematian? Tapi apakah mungkin? Saat kematian sudah datang menghampirimu, apakah kamu masih bisa kembali berada di dunia ini dengan kondisi  yang sama? Rasanya hampir tidak mungkin, karena itulah, kematian masih saja menjadi misteri.

 

Saat sekarang ini, dimana iechong sedang terbaring sakit, dan besok adalah genap 6 tahun meninggalnya papi, dan baru saja aku mendengar kabar bahwa salah satu distributor kantorku meninggal, padahal bulan Januari lalu, ia masih terlihat begitu sehat dan penuh semangat, pemikiran tentang kematian itu tiba-tiba saja muncul dalam benakku.

 

Perkawinan seringkali disebut sebagai permulaan hidup baru, tapi kalau kita berpikir lebih dalam, bukankah kematian yang lebih cocok disebut sebagai permulaan hidup baru? Karena dalam Buddhisme, ajaran yang aku anut, kematian bukan berarti akhir dari kehidupan, justru sebaliknya kematian adalah permulaan kehidupan yang baru. Kalau dalam perkawinan kita punya cukup waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari tempat, waktu, tanggal, acara, dan lain-lainnya, agar pada hari besar itu segala sesuatunya bisa berjalan dengan baik, sebaliknya kematian lebih suka memberi kita kejutan. Ia seringkali datang tiba-tiba, tanpa tanda-tanda, tanpa pemberitahuan, kapan saja dan di mana saja bisa terjadi. Cukup mendebarkan bukan? Lalu bagaimana dengan persiapan kita? Kapan kita bisa melakukan persiapan agar permulaan hidup yang baru bisa kita mulai dengan baik, seperti halnya dengan perkawinan?

Sebelum menjawab itu semua, satu pertanyaan lagi timbul, dalam menghadapi perkawinan, sudah sepatutnya semua orang akan menyambut gembira, tapi apakah demikian halnya dengan kematian? Sama-sama permulaan hidup yang baru, tapi mengapa yang satu kita sikapi dengan penuh tawa sementara yang satu lagi dengan isak tangis dan air mata?

 

Tidak bisa disalahkan bila ada air mata, karena dalam memulai hidup baru, kita berarti meninggalkan sesuatu yang lama, berpisah dengan kondisi kita yang lama. Lihatlah dalam perkawinan, saat anak meminta restu kedua orangtuanya untuk memulai hidup baru, hampir bisa dipastikan ada air mata yang mengalir. Karena apa? Baik orang tua maupun si anak sama-sama berat karena harus ’berpisah’ walau bukan dalam arti kata sebenarnya. Begitu juga yang kita hadapi saat kematian terjadi, saat seseorang akan memulai hidup baru-nya, ia harus berpisah, meninggalkan keluarganya dan apa yang ia miliki saat ini, makanya tak heran semua merasa sedih dan menitikkan air mata karenanya. 

 

Lalu, disaat kita harus menghadapi kematian, bagaimana agar kita bisa bersikap sama seperti kita menghadapi suatu perkawinan? Walaupun ada tangis, tapi kita pergi dengan bahagia, dilepas dengan perasaan suka cita?

Bagi orang-orang tertentu yang diberi waktu untuk mempersiapkan kematiannya, mungkin hal ini jadi lebih mudah. Saat sakit, saat hidup kita divonis hanya tinggal hitungan tahun, bulan, hari atau bahkan detik, walau hanya singkat, kita masih punya kesempatan untuk mempersiapkannya. Saat itu, lakukanlah yang terbaik, sesuatu yang tidak saja membuat dirimu bahagia, tapi juga membuat orang-orang disekelilingmu bahagia. Karena kamu akan memulai hidup baru-mu, relakanlah semua yang kau miliki saat ini, keluargamu, harta bendamu, hewan peliharaanmu, teman-temanmu, pangkat dan kedudukanmu serta apapun yang sudah kamu capai saat ini, lepaskanlah. Lepaskan juga segala kekhawatiranmu, masalah-masalahmu, semua itu akan segera berlalu, kamu akan memulai sesuatu yang baru. Biarkanlah dirimu menjadi bersih dari keterikatan, biarkan dirimu hanya menyadari setiap hembusan nafasmu yang dalam hitungan sepersekian detik mungkin akan segera berubah menjadi nafas dirimu yang baru. Bagi yang ditinggalkan, relakanlah kematian seseorang, karena waktunya untuk memulai hidup yang baru sudah tiba. Perpisahan ini bukan untuk selamanya, karena selama masih ada ikatan karma, entah kapan kitapun akan bertemu kembali dalam ruang, wujud, dan waktu yang berbeda.

 

Bagaimana jika kita tidak cukup beruntung untuk memiliki persiapan menghadapi kematian kita? Entahlah aku sendiri tidak tahu. Aku mungkin bisa saja menuliskannya di sini, tapi apakah aku bisa melakukannya? Belum tentu, tapi aku akan belajar dan berusaha….

Karena itu, setiap detik dalam hidup kita, hendaknya kita tidak terikat, hendaknya kita tidak mengecewakan orang lain. Kalau bisa kita membuat orang lain dan diri kita sendiri bahagia, agar setiap saat kita harus memulai hidup baru, kita bisa memulainya dengan baik walau tanpa persiapan khusus….

 

Jika aku mati,

Aku ingin saat itu tidak ada yang menangis untukku,

Karena aku pergi untuk memulai hidupku yang baru,

Bukan untuk mengakhiri kehidupanku saat ini…

 

Jika aku mati,

Aku ingin ada senyum menghias bibirku,

Yang kutujukan untuk semua mahluk tanpa terkecuali,

Dengan ucapan tulus dari hati:

’Sampai bertemu kembali….’

Read Full Post »