Feeds:
Posts
Comments

Archive for March, 2015

“Apakah harus ada alasan untuk tersenyum?”

Tiba-tiba aja kalimat itu jadi mengusik pikiran gue. Kalimat sederhana yang gue denger dari pertunjukkan ‘Smile of Angkor’ di Siem Riep, Kamboja. Ya di sinilah gue sekarang, di Siem Riep untuk pertama kalinya. Melengkapi perjalanan gue ke negara-negara dunia ketiga (ini menurut kakak gue). Hari ini hari terakhir gue di Siem Riep sebelum sore ini terbang ke Ho Chi Minh, Vietnam untuk melanjutkan tugas kantor gue. Mengambil kesempatan di sela weekend di negara orang, setelah minggu lalu meeting di Phnom Penh, gue nekad pergi ke Siem Riep seorang diri. Kalau dipikir-pikir sebenernya gue bukan orang yang cukup berani untuk pergi sendiri, dengan tujuan wisata. Kalau urusan kerja mau gak mau gue udah harus terbiasa pergi sendiri, tapi urusan travelling, sebenernya gue bukang seorang traveler kayak sepupu gue yang emang biasa pergi sendiri. Gue biasa pergi sendiri kalau tempatnya itu yang sudah biasa gue pergi, seperti ke Bali, dan mungkin belakangan ini Vietnam, karena urusan kerja. Tapi mengunjungi tempat baru sendirian, hm.. baru gue lakuin satu kali waktu gue ke Singapore. Tapi entah mengapa setiap pergi sendiri gue selalu merasa ‘terbantu’ dan selalu aja dimudahkan.

Dan sekarang di sini gue, di Siem Riep, udah hari ke 3 dan udah mengunjungi Angkor Wat yang emang gue pengen. Tapi kalau boleh jujur, setelah gue mengunjungi Angkor Wat, gue merasa Borobudur jauh lebih hebat, dan gue jadi pengen mengunjungi lagi, setelah sekian puluh tahun dari kunjungan terakhir gue. Seperti selalu gue bilang gak ada yang namanya kebetulan, sebenernya gue mau naik bus malam dari Phnom Penh ke Siem Riep sehingga gue akan sampai di Siem Riep hari Sabtu pagi sekitar jam 6. Tapi gak tau kenapa kemarin masih ada sedikit keraguan sampe akhirnya gue beneran kehabisan tiket bus. Dan terpaksalah di detik-detik terakhir hari Jumat gue beli tiket pesawat plus booking hotel 1 malam lagi. Tapi gara-gara itu gue jadi bisa mengunjungi Angkor Wat dari pagi-pagi dan menunggu terbitnya sang matahari.

Sun Rise-Angkor Wat, 21 Maret 2015

Sun Rise – Angkor Wat, 21 Maret 2015

Menunggu cukup lama bersama ratusan turis lainnya, akhirnya matahari yang ditunggu muncul juga, seketika itu gue pengen nangis, ada rasa syukur karena dalam hidup gue masih diberi kesempatan untuk melihat dan merasakan keindahan dunia ini. Mungkin gue juga jadi sentimentil karena sebelumnya pagi itu gue mendengar berita yang menyedihkan, salah satu rekan kantor lama gue meninggal dunia. Umurnya belum tua, dengan 2 orang anak yang relative masih kecil, Ko Kardiman yang selalu penuh lelucon sudah meninggalkan dunia ini. Selamat jalan ko Kardiman, semoga karma baikmu menuntunmu pada kehidupan yang lebih bahagia dan kembali berkesempatan mengenal Dhamma.

Kehidupan ini memang tidak ada yang bisa mengerti, segala kondisi berganti dan berubah hanya dalam helaan nafas. Selama tiga puluh lima tahun hidup gue, gue udah melihat banyak hal, sebuah perputaran, seperti yang selalu gue pahami dari ajaran Buddha, bahwa hidup ini bagaikan roda yang berputar. Tidak hanya dalam hal materi bahkan dalam kehidupan masing-masing orang. Gue udah melihat bagaimana si kaya menjadi miskin dan kembali menjadi kaya lagi, begitu juga sebaliknya, si miskin menjadi kaya lalu kembali menjadi miskin. Orang yang tadinya sehat lalu menjadi sakit-sakitan, yang tadinya sakit ada juga yang lalu menjadi sehat. Kehidupan ini sungguh tidaklah kekal, lalu kembali pertanyaan lama itu timbul, mengapa gue masih di sini? Berada di dalam ketidakkekalan yang hanya mendatangkan penderitaan?

Selama masih di dalam lingkaran kehidupan ini, merasakan ketidakkekalan, bagaimana mungkin bisa tersenyum tanpa alasan? Di saat sakit, di saat tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, sudah pasti yang ada kesedihan dan penderitaan. Hanya ‘Dia yang Sadar’ akan bisa tersenyum tanpa alasan. Mungkin ini jawaban mengapa sedari kecil setiap kali melihat rupang Buddha, gue selalu bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan, karena bagi gue, yang selalu gue lihat adalah wajah yang tersenyum, dan senyum yang meneduhkan ini tidak gue temukan di wajah-wajah lainnya. Dan karena alasan sederhana ini juga gue tetep mengikuti sang jalan yang sudah diajarkan oleh guru Buddha.

Semakin memahami ini, membuat gue semakin bersedih, sedih karena melihat diri gue yang masih belum bisa ‘tersenyum’, karena masih terlalu banyak kemelekatan dan ketidaktahuan yang mengotori batin gue. Saat ini gue cuma bisa berdoa, berharap segala kumpulan karma baik gue akan mendukung tindakan gue dan membawa gue pada jalan yang membebaskan. Sebuah jalan yang akan membuat gue bisa tersenyum tanpa alasan, senyum yang meneduhkan dan membawa kedamaian.

Siem Riep, March 22nd, 2015
~Jen~
2.25 pm

Read Full Post »