Feeds:
Posts
Comments

Archive for March, 2009

contemplation

Pernahkah kamu mengalami masalah yang datang bertubi-tubi? Yang telah membuatmu tidak sempat untuk menarik nafas barang sebentar saja? Pernahkah kamu merasa hidupmu sangat ruwet, sampai-sampai kamu tidak tau lagi mana ujung pangkal permasalahannya, semua terjadi saling bersilangan bagaikan benang kusut? Pernahkah kamu merasa kamu sudah begitu lelah menghadapi semua masalah itu? Dan berpikir untuk memejamkan matamu barang sedetik lalu saat kamu membuka matamu semua masalah itu sudah lenyap? Atau sebaliknya, lebih parah, kamu berpikir kamu tidak akan pernah membuka matamu lagi untuk kembali mengadapi masalah yang ada? Aku pernah mengalaminya, dan rasanya tidak hanya sekali…karena aku manusia yang sebenarnya sudah tahu bahwa hidup itu dukkha, tapi masih saja belum bisa mengatasinya…

Lalu apa yang kamu lakukan saat itu semua terjadi pada dirimu? Pernahkah kamu berpikir untuk ‘memasrahkan’ hidupmu pada ‘Dia’, sesuatu di luar dirimu yang katanya mengatur kehidupan ini? Jujur kukatakan, aku pernah dan aku malah sempat merasa menjadi seorang Buddhist itu arrogant sekali, karena masing-masing kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri, seolah-olah tidak butuh ‘orang lain’. Apakah pengetahuanku akan ajaran Buddha masih kurang? Ya memang, tapi rasanya untuk hal yang satu itu aku sudah tahu. Lalu mengapa hal itu bisa tetap terjadi padaku? Ada beberapa penyebab mengapa pikiran untuk seolah-olah menyerahkan hidupku pada ‘sesuatu’ di luar diriku itu bisa seringkali muncul, dan terus terang ini sangat menggangguku!

Sebagai manusia, kita tidak bisa hidup sendiri, kita butuh orang lain. Dari pertama kali kita lahir dalam kehidupan kita saat ini, peranan orang lain di luar kita sudah bisa kita rasakan. Kita bisa lahir karena adanya orang tua kita tentunya, dan itu berarti orang lain di luar diri kita. Dalam proses kelahiran kita ada dokter ataupun bidan, lalu kita hidup dalam keluarga bersama kakek nenek, kakak adik, saudara-saudara kita. Kemudian kita butuh makan, sekolah, berorganisasi, dan kegiatan-kegiatan lainnya dimana itu semua tidak terlepas dari peranan orang lain di luar kita. Kondisi saling bergantung ini tanpa kita sadari kadangkala membuat kita sering berpikir kalau kita ini adalah makhluk yang lemah.

Lalu yang lebih mendukung kondisi ini adalah sebagian besar doktrin yang ada di dunia ini mengatakan kalau kehidupan manusia itu ada ‘sosok’ yang mengatur, yang mengatur ini sudah punya rencana seperti ini dan itu atas nasib masing-masing orang. Yang mengatur ini sangatlah adil, maha tahu, maha pencipta dan segudang maha-maha lainnya. Lalu apakah itu semua salah? Tidak salah buat yang meyakininya, dan pertanyaannya menjadi apa aku meyakininya? Dan apa kamu meyakininya?

Dulu, sebagai penganut agama Buddha tapi belum mengenal Dhamma, dan lebih banyak dijejali doktrin ajaran lain sedari kecil, aku selalu berpikir hal itu benar. Dan rasanya banyak juga orang-orang yang sejenis denganku. Tetapi memang tidaklah mudah untuk mengubah sesuatu yang kamu anggap benar, yang sudah kamu yakini lebih dari separuh hidupmu. Akan banyak pertanyaan dan penolakan-penolakan yang tidak disadari, karena kita sedang berusaha menemukan ‘kebenaran’ itu sendiri.

Baru-baru ini aku mengalami masalah yang buatku cukup melelahkan, dan tanpa sengaja aku mendengar lantunan lagu rohani non-buddhis yang sebagian besar isinya berisikan penguatan, bahwa kita tidak sendiri, bahwa ada yang mengatur semuanya, dan dengan menyerahkan masalahmu pada-Nya segalanya bisa teratasi? Ini membuat perasaan itu kembali muncul, dan akhirnya aku melontarkan rasa tidak puasku ini pada seorang Bhikku. “Mengapa aku selalu merasa menjadi seorang Buddhis itu arrogant sekali, karena kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri, seolah-olah tidak butuh ‘orang lain’?”

Dan akhirnya aku mendapatkan jawaban yang cukup memuaskanku, sebuah analogi yang sangat sesuai untuk diriku. Bertanggung jawab atas tindakan sendiri tidak berarti kita tidak butuh orang lain. Seperti seorang ibu yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkannya, dalam memenuhi tanggung jawab itu tetap tergantung pada bantuan dan kerjasama orang lain dan ini tidak ada kaitannya dengan arogansi. Tindakan/karma kita itu ibarat anak kita, kita yang melahirkan karma dan untuk itu kita harus memeliharanya dengan penuh kasih sayang.

Dari uraian singkat itu, satu point yang sangat berarti yang bisa kuambil: “Jika aku seorang ibu, tidak mungkin aku ‘memasrahkan’ anak yang kulahirkan pada ‘orang lain’, dengan sepenuh hati aku akan merawatnya sendiri karena ia adalah tanggung jawabku.”


Bagaikan seorang ibu melahirkan anaknya, begitu pula aku melahirkan karmaku.

Bagaikan seorang ibu bertanggung jawab atas anak yang dilahirkannya, begitu pula aku bertanggung jawab atas karma yang kulahirkan.

Bagaikan seorang ibu  mengarahkan anaknya untuk menjadi baik, begitu pula aku akan mengarahkan karmaku ke arah yang baik.


Tulisan ini sekedar sharing dari apa yang aku alami, mungkin tidak semua sependapat karena memang harus masing-masing kita sendiri yang ‘menemukan kebenaran untuk diri kita sendiri’.


If it suitable for you, you can take it, otherwise just leave it.

Read Full Post »

Hm… hari ini eh tepatnya kemaren ya… bener-bener yang ada di kepala gue cuma si ‘Amiaw’… bukan karena apa ya… tapi ‘Amiaw’ ini bener-bener kasih pelajaran berharga buat gue… ‘Kisah si Amiaw’ gue posting juga di blog Kolam Teratai. Harapan gue menulis kisah si Amiaw maksudnya biar orang-orang bisa ‘belajar’ juga dari ‘pelajaran’ yang gue dapet dari si ‘Amiaw’… dan gue bakal mendapat tanggapan yang positif dari temen-temen, tapi ternyata gue salah! Porsi ‘Amiaw’ jadi jauh lebih gede mengalahkan porsi gue! Duh!

Kalo begini caranya, yang salah benernya cara gue nulis ato apa ya? Gue jadi ngerasa gagal dalam menulis.. baru kali ini…hiks…biasa gue lumayan pede, kali ini pelajarannya telak juga! Cukup buat gue uring-uringan… sampe gue sempet tanyain pendapatnya ko Robby (ko Robby neh temen yang suka nulis juga, yang baru gue kenal di KT, dan yang ngingetin kalo blog ini umurnya dah setahun loh…) tapi ternyata point-nya ya emang gak mudah kalo kita mau menggambarkan sesuatu dengan perumpamaan. Soalnya kata ko Robby ‘cara mengangkat perumpamaan itu memang beresiko salah persepsi yang besar‘.

Hm… bener sih.. karena dipikir-pikir mereka kan gak ngalamin ya? Mereka hanya baca saat itu aja, mungkin pemahamannya jadi berbeda, belom lagi kalo gaya bahasanya buat mereka lain, tanda titik koma aja bisa membuat makna yang beda dari satu kalimat… yah yah yah bener-bener… AMIAW udah kasih gue pelajaran!!

Jadi gue akan terus nulis ato nggak neh? So pasti… malah gue akan semakin berani menulis, buktinya gue berani mengeluarkan tulisan ini! Hehehehe…

Jadi buat yang sudah membaca ‘Kisah si Amiaw’, mungkin perlu gue perjelas, maksud tulisan itu adalah untuk memberi semangat kepada orang-orang. Kadangkala kita mengalami rintangan, kadangkala kita harus mengambil langkah mundur, tapi asal kita terus berusaha untuk maju, kita pasti bisa mencapai tujuan….

Tapi, eeeehh.. ada tapi nya neh… ternyata semua itu tergantung lagi pada KONTEKS! Kadangkala kita perlu juga menyerah, menyerah bukan berarti kalah, tapi menyerah yang berarti kita ‘menerima’. Duh… padahal hal ini juga pernah gue tulis soal ‘belajar melepas’ dimana gue mengatakan kalau kita terlalu mengejar sesuatu, semakin dikejar ia akan semakin menjauh, tapi sewaktu kita dengan tenang menerima segala kondisi yang ada, semua itu malah akan datang dengan sendirinya….

So teman-teman, semua itu balik lagi ke diri kita masing-masing, semua orang butuh ‘merenung’ untuk bisa belajar… a good point dari Ko Robby, sekali lagi thanks ya ko… obrolan kita bener-bener dah memberi pencerahan buat aku.. dan semoga demikian juga halnya dengan tulisan ini….

Read Full Post »

Berawal dari obrolan dengan seorang teman di Kolam Teratai (mami Luna you’re the inspiration) tiba-tiba aku jadi teringat dengan kenangan masa kecilku. Lebih dari 20 tahun yang lalu aku ingat di kampung tempat tinggalku, sebuah desa kecil di Lampung sana, sempat kukenal seorang pria bernama Amiaw. Siapa sih si Amiaw ini sampai-sampai aku masih bisa mengingatnya hingga sekarang?

Si Amiaw ini kulihat hampir setiap hari, sewaktu aku sedang berada di toko papi di pasar. Yang masih teringat dalam bayanganku, Amiaw waktu itu berumur sekitar 40an tahun, berkulit putih bersih mengenakan pakaian lengkap walaupun hanya pakaian sederhana, tapi tanpa alas kaki. Yah Amiaw ini adalah salah satu korban orang-orang yang tidak bisa menerima adanya ‘anicca’. Konon Amiaw dulunya orang yang cukup kaya dan berada, entah karena apa tiba-tiba dia harus kehilangan semuanya. Karena tidak memahami ‘anicca’, Amiaw tidak bisa menerima perubahan yang terjadi pada hidupnya, kehilangan yang harus dia alami, sehingga berujung pada hilangnya akal sehat dan kesadaran. Sangat disayangkan, dan tak bisa kita pungkiri bahwa banyak orang-orang seperti ini di sekitar kita, yang terlalu melekat pada satu kondisi yang menyenangkan, dan saat perubahan itu datang, orang-orang ini tidak siap menghadapinya.

Walaupun masuk dalam golongan orang yang tidak waras, latar belakang Amiaw masih terlihat dari tingkah lakunya, gaya bangsawan-nya membuat dia tetap tampil bersih dan dia tidak pernah teriak-teriak ataupun membuat kekacauan. Amiaw hanya diam seribu bahasa dan yang dilakukannya setiap hari adalah berjalan dan berjalan. Lalu apa yang membuat si Amiaw ini begitu istimewa sampai bisa memberikan inspirasi buatku? Setiap hari Amiaw melakukan aktivitasnya, yaitu berjalan, Amiaw berjalan dalam diam, seolah dia ingin mencapai suatu tujuan. Tapi eeeh… tunggu dulu… kenapa setelah dia maju 3 – 4 langkah lalu dia mundur lagi 2 – 5 langkah? Hm… inilah istimewa-nya si Amiaw… karena seolah diliputi kebingungan, Amiaw selalu berjalan maju dan mundur!

Coba kalau kita pikir, bagaimana ia bisa sampai di suatu tempat kalau dia jalan maju mundur seperti itu? Itu seolah-olah hanya jalan di tempat saja bukan? Pastilah kita akan berpikir seperti itu, tapi ternyata kita salah! Aku salah! Amiaw tidak hanya terlihat di sekitar pasar di kampung ku, tapi kadangkala aku bisa melihatnya di kampung sebelah, yang jauhnya bisa ditempuh dalam waktu 15 – 20 menit kalau menggunakan mobil!

Hei… ini jadi membuatku berpikir… aku menarik pembelajaran dari gerak-gerik si Amiaw ini…. Dalam hidup kita seringkali mengalami kegagalan, saat kita melangkah maju dan gagal, apa yang kita lakukan? Saat kita melangkah maju dan harus dipaksa mundur, apa yang kita perbuat? Ternyata kita tidak boleh diam dan menyerah! Kadangkala justru langkah mundur itu kita butuhkan. Belajar Dharma ajaran Buddha buat sebagian orang terasa sangat sulit, untuk belajar teori nya saja sulit, apalagi mempraktikkan meditasi! Tapi kita tidak boleh menyerah… pukulan mundur satu dua langkah kadangkala harus kita alami, tapi setelah itu kita harus tetap melangkah maju. Maju terus dan maju dan kita tidak akan diam di tempat, walaupun mungkin lebih lambat dari teman-teman kita yang lain, tapi percayalah dengan ketekunan dan tekad yang kuat, suatu hari kita akan bisa mencapai tujuan itu.
Dan Amiaw sudah membuktikannya!

Seperti pesan terakhir guru kita Buddha: ”APPAMADENA SAMPADETHA”, Berjuanglah terus dengan penuh kesadaran!

Kudedikasikan tulisan ini untuk Amiaw, sosok yang memberi inspirasi, tak terbatas seperti apapun kondisinya, semoga ia bisa terlahir di alam yang lebih baik.

Read Full Post »

1st Anniversary

cake

Siapa yang sedang merayakan hari jadi yang pertama ya?

Hm… semalam saat chatting dengan seorang teman baru yang seperti teman lama, aku diingatkan ternyata keberadaan blog ini sudah 1 tahun loh! Ya ya.. lewat beberapa hari malah, gak sadar juga…
Biasa menulis dengan gaya yang serius, kayaknya kali ini boleh juga sedikit ganti gaya, kita perlu penyegaran dan perbaikan tentunya, karena aku menyadari pencerahan tidak selamanya harus berasal dari kata-kata serius yang kadangkala malah sering bikin pusink kepala. Obrolan ringan penuh canda kadangkala justru memberi inspirasi lebih…

Biasanya kalau perayaan ulang tahun, kita disuruh ‘make a wish’, mengajukan permohonan… tapi selain ‘make a wish’ rasanya lebih perlu ‘introspeksi’. Karena itu sebelum ‘make a wish’ aku mau coba introspeksi dulu buat blog ini…

Awalnya blog ini hanya untuk menyalurkan hobby menulis, menyalurkan inspirasi dan kata-kata yang tersusun banyak di kepala yang kadangkala saling berjejalan tak sabar ingin dituangkan dalam untaian kalimat yang memiliki makna. Tapi lama kelamaan aku menyadari, isi blog ini adalah hal-hal yang membuat aku ‘belajar’ karena itu aku jadi lebih mengarahkannya supaya orang-orang lain juga bisa ikut ‘belajar’ dan mendapatkan sedikit pencerahan. Tapi setelah rentang 1 tahun ini, aku jadi ingin tahu berapa banyak orang yang sudah merasakan manfaat dari tulisan-tulisanku? Kenapa aku tanya begitu? Karena memang tujuanku menulis selain untuk menyalurkan hobby adalah juga supaya sedikit bakat yang aku punya ini bisa bermanfaat buat orang lain.
Tapi aku juga menyadari dengan kurangnya publisitas, mungkin baru sedikit orang-orang  yang membaca, dan dengan gaya tulisan yang ‘agak-agak’ serius, walau sebagian orang bilang cukup enak dibaca, mungkin ada beberapa yang tidak terlalu suka…

Makanya sesudah introspeksi yang mendalam, aku mulai membuat resolusi ke depan, jadi bukan ‘make a wish’ daripada sekedar membuat permohonan lebih baik memutuskan apa action ke depan. Kalau membaca tulisanku selama ini rasanya terbayang aku ini si melankolis, padahal kenyataannya selain aku melankolis aku ini juga seorang sanguinis. Karena itu resolusi untuk ke depan, aku akan menampilkan sisi sanguinis-ku juga dalam tulisan-tulisanku, supaya blog ini jadi penuh warna dan aku benar-benar jadi seorang penulis sejati, dengan gaya ku sendiri.

Satu tahun usia yang masih cukup muda, entah sampai berapa lama blog ini akan terus hidup, mungkin seumur hidupku, karena aku tidak akan berhenti menulis. Aku akan terus menulis untuk memberikan inspirasi dan pencerahan buat orang-orang yang mungkin membutuhkannya…

Read Full Post »

‘Wishing Game’

Lima orang anak bermain ‘wishing game’, sebuah permainan dimana setiap anak harus menyebutkan permohonannya dan anak yang memiliki permohonan yang lebih baik dan bisa mengalahkan permohonan-permohonan lainnya akan keluar menjadi pemenang.

Anak pertama mengajukan permohonan, ia sangat ingin bisa makan burger Mc Donald’s karena selama ini ibunya tidak pernah memperbolehkan anak ini untuk makan makanan itu.

Anak kedua mengajukan permohonan, ia ingin memiliki restoran Mc Donald’s sehingga dia bisa memperoleh lebih banyak burger mengalahkan permohonan anak pertama.

Anak ketiga mengajukan permohonan, ia ingin memiliki uang $1 juta sehingga dia bisa membeli tidak hanya burger Mc Donald’s tetapi juga seluruh restoran Mc Donald’s dan masih memiliki cukup banyak uang untuk melakukan hal lainnya. Sebuah permohonan yang jauh lebih hebat dibandingkan dua permohonan sebelumnya.

Anak keempat mengajukan permohonan, ia ingin memiliki 3 permohonan, dimana permohonan yang pertama adalah ia bisa memiliki restoran Mc Donald’s, permohonan kedua ia memiliki uang $1 juta dan permohonan ketiga adalah ia mempunyai 3 permohonan lagi! Hm… tentu saja ini menjadi permohonan yang tiada habisnya dan pastinya menjadi pemenang di antara permohonan sebelumnya.
Lalu apakah permohonan anak kelima yang ternyata bisa mengalahkan empat permohonan sebelumnya?

Anak kelima ini meminta sebuah permohonan dimana ia memiliki hati yang puas dan berkecukupan sehingga ia tidak lagi perlu mengajukan permohonan apapun juga….

Cerita di atas adalah cara paling sederhana yang digunakan oleh Ajahn Brahm dalam menggambarkan apa itu ‘NIBBANA‘.

ajahn1

Kudengar sendiri dari Ajahn Brahm pada acara ‘Dhamma Talk’  @ The Golf –  PIK, tanggal 28 Februari 2009 yang lalu.

Read Full Post »