Pernahkah kamu mengalami masalah yang datang bertubi-tubi? Yang telah membuatmu tidak sempat untuk menarik nafas barang sebentar saja? Pernahkah kamu merasa hidupmu sangat ruwet, sampai-sampai kamu tidak tau lagi mana ujung pangkal permasalahannya, semua terjadi saling bersilangan bagaikan benang kusut? Pernahkah kamu merasa kamu sudah begitu lelah menghadapi semua masalah itu? Dan berpikir untuk memejamkan matamu barang sedetik lalu saat kamu membuka matamu semua masalah itu sudah lenyap? Atau sebaliknya, lebih parah, kamu berpikir kamu tidak akan pernah membuka matamu lagi untuk kembali mengadapi masalah yang ada? Aku pernah mengalaminya, dan rasanya tidak hanya sekali…karena aku manusia yang sebenarnya sudah tahu bahwa hidup itu dukkha, tapi masih saja belum bisa mengatasinya…
Lalu apa yang kamu lakukan saat itu semua terjadi pada dirimu? Pernahkah kamu berpikir untuk ‘memasrahkan’ hidupmu pada ‘Dia’, sesuatu di luar dirimu yang katanya mengatur kehidupan ini? Jujur kukatakan, aku pernah dan aku malah sempat merasa menjadi seorang Buddhist itu arrogant sekali, karena masing-masing kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri, seolah-olah tidak butuh ‘orang lain’. Apakah pengetahuanku akan ajaran Buddha masih kurang? Ya memang, tapi rasanya untuk hal yang satu itu aku sudah tahu. Lalu mengapa hal itu bisa tetap terjadi padaku? Ada beberapa penyebab mengapa pikiran untuk seolah-olah menyerahkan hidupku pada ‘sesuatu’ di luar diriku itu bisa seringkali muncul, dan terus terang ini sangat menggangguku!
Sebagai manusia, kita tidak bisa hidup sendiri, kita butuh orang lain. Dari pertama kali kita lahir dalam kehidupan kita saat ini, peranan orang lain di luar kita sudah bisa kita rasakan. Kita bisa lahir karena adanya orang tua kita tentunya, dan itu berarti orang lain di luar diri kita. Dalam proses kelahiran kita ada dokter ataupun bidan, lalu kita hidup dalam keluarga bersama kakek nenek, kakak adik, saudara-saudara kita. Kemudian kita butuh makan, sekolah, berorganisasi, dan kegiatan-kegiatan lainnya dimana itu semua tidak terlepas dari peranan orang lain di luar kita. Kondisi saling bergantung ini tanpa kita sadari kadangkala membuat kita sering berpikir kalau kita ini adalah makhluk yang lemah.
Lalu yang lebih mendukung kondisi ini adalah sebagian besar doktrin yang ada di dunia ini mengatakan kalau kehidupan manusia itu ada ‘sosok’ yang mengatur, yang mengatur ini sudah punya rencana seperti ini dan itu atas nasib masing-masing orang. Yang mengatur ini sangatlah adil, maha tahu, maha pencipta dan segudang maha-maha lainnya. Lalu apakah itu semua salah? Tidak salah buat yang meyakininya, dan pertanyaannya menjadi apa aku meyakininya? Dan apa kamu meyakininya?
Dulu, sebagai penganut agama Buddha tapi belum mengenal Dhamma, dan lebih banyak dijejali doktrin ajaran lain sedari kecil, aku selalu berpikir hal itu benar. Dan rasanya banyak juga orang-orang yang sejenis denganku. Tetapi memang tidaklah mudah untuk mengubah sesuatu yang kamu anggap benar, yang sudah kamu yakini lebih dari separuh hidupmu. Akan banyak pertanyaan dan penolakan-penolakan yang tidak disadari, karena kita sedang berusaha menemukan ‘kebenaran’ itu sendiri.
Baru-baru ini aku mengalami masalah yang buatku cukup melelahkan, dan tanpa sengaja aku mendengar lantunan lagu rohani non-buddhis yang sebagian besar isinya berisikan penguatan, bahwa kita tidak sendiri, bahwa ada yang mengatur semuanya, dan dengan menyerahkan masalahmu pada-Nya segalanya bisa teratasi? Ini membuat perasaan itu kembali muncul, dan akhirnya aku melontarkan rasa tidak puasku ini pada seorang Bhikku. “Mengapa aku selalu merasa menjadi seorang Buddhis itu arrogant sekali, karena kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri, seolah-olah tidak butuh ‘orang lain’?”
Dan akhirnya aku mendapatkan jawaban yang cukup memuaskanku, sebuah analogi yang sangat sesuai untuk diriku. Bertanggung jawab atas tindakan sendiri tidak berarti kita tidak butuh orang lain. Seperti seorang ibu yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang dilahirkannya, dalam memenuhi tanggung jawab itu tetap tergantung pada bantuan dan kerjasama orang lain dan ini tidak ada kaitannya dengan arogansi. Tindakan/karma kita itu ibarat anak kita, kita yang melahirkan karma dan untuk itu kita harus memeliharanya dengan penuh kasih sayang.
Dari uraian singkat itu, satu point yang sangat berarti yang bisa kuambil: “Jika aku seorang ibu, tidak mungkin aku ‘memasrahkan’ anak yang kulahirkan pada ‘orang lain’, dengan sepenuh hati aku akan merawatnya sendiri karena ia adalah tanggung jawabku.”
Bagaikan seorang ibu melahirkan anaknya, begitu pula aku melahirkan karmaku.
Bagaikan seorang ibu bertanggung jawab atas anak yang dilahirkannya, begitu pula aku bertanggung jawab atas karma yang kulahirkan.
Bagaikan seorang ibu mengarahkan anaknya untuk menjadi baik, begitu pula aku akan mengarahkan karmaku ke arah yang baik.
Tulisan ini sekedar sharing dari apa yang aku alami, mungkin tidak semua sependapat karena memang harus masing-masing kita sendiri yang ‘menemukan kebenaran untuk diri kita sendiri’.
If it suitable for you, you can take it, otherwise just leave it.