“Tak Harap Kembali”, judul tulisan ini sudah lebih dari 3 bulan berada dalam draft dan entah kenapa sebagian kata-kata yang sudah kutulis belum bisa kuselesaikan. Tapi hari ini aku rasa aku bisa menyelesaikannya dan aku tau apa yang harus kutulis selanjutnya….
Hari ini sebuah peristiwa membuatku teringat kembali akan makna kata-kata tersebut dalam kehidupanku. ‘Tak Harap Kembali’, sebuah kalimat pendek yang terdengar begitu sederhana tapi kalimat ini sudah menyadarkanku dan membawaku pada penerimaan atas doa-ku yang tidak terjawab dan atas segala harapan-harapanku yang mungkin tidak semua dapat terwujudkan.
Entah sejak kapan dimulainya aku tidak pernah ingat, saat itu, setiap kali berdoa yang kuminta adalah ‘waktu’. Aku sendiri tidak pernah tau kenapa selalu ada kekhawatiran bahwa aku sedang berlomba dengan sang ‘waktu’…. Aku tidak meminta harta yang berlimpah, kesehatan ataupun kecantikan… saat itu di dalam setiap doaku selalu yang kuminta adalah berikan aku ‘waktu’, ‘waktu’ buatku untuk membalas budi kepada kedua orangtuaku, membahagiakan mereka… Aku pikir ini permintaan yang sederhana, tidak terlalu sulit kan, Tuhan?
Tapi saat kulihat jam arlojiku berhenti, hari itu, tanggal 23 Oktober 2002, tepat 25 tahun ulang tahun perkawinan perak orangtuaku, aku sudah merasa kalau aku kalah…. Tanggal 24 Oktober 2002 tepatnya, aku harus menerima kenyataan kalau harapanku tidak dapat kuwujudkan. Papi telah pergi untuk selamanya dan sang ‘waktu’ tidak pernah ada buatku agar aku dapat mewujudkan harapanku….
Aku marah pada Tuhan, aku berteriak padaMu, apakah yang kuminta terlalu sulit, Tuhan?
Untuk sekian lama aku tidak dapat menerima kenyataan bahwa papi harus pergi meninggalkan kami. Untuk sekian lama pula aku mempertanyakan jawaban atas doa-doaku…. Aku masih bersyukur, kemarahan tidak membawaku lari dan pergi meninggalkanMu….
Aku tenggelam dalam kesibukanku dan masalah-masalah dalam hidupku sepeninggal papi. Tapi tetap dalam hati kecilku ada yang hilang dan masih kupertanyakan…. Pertanyaan-pertanyaan itu membawaku pada pencarian yang aku sendiri tak tau apa…. mungkin aku hanya butuh sesuatu untuk mengisi kekosongan di hatiku, tempat dimana seharusnya papi berada….
Satu retret kulewati tanpa memberikan jawaban atas pertanyaanku, masih tersisa keraguan…. sampai akhirnya dalam satu pelatihan aku mendapatkan kesadaran itu…. Dalam doa tidak seharusnya kita berharap balasan, karena bila kita masih mengharapkan balasan, saat kita tidak memperolehnya, kita akan sangat kecewa…. Rasa kecewa inilah yang membawa kita pada perasaan ketidakadilan, ditinggalkan dan kemarahan, lalu menyalahkan pihak lain atas tidak terwujudnya harapan kita?
Belakangan aku mencoba memahami kata-kata itu lebih dalam, aku belajar mengenal ‘Tuhan’-ku, ‘doa’-ku…. Hingga akhirnya aku sampai pada pemahaman bahwa ‘doa’ ku adalah hidupku, segala perbuatan dan tindakanku, sehingga segala sesuatu yang kulakukan dalam hidupku, baik untuk diriku sendiri ataupun orang lain, aku berusaha untuk melakukannya dengan tulus tanpa mengharapkan balasan. Sehingga saat segala sesuatu tidak terjadi sesuai harapanku, aku bisa menerimanya dengan berbesar hati….
Hari ini, aku membagi pemahaman ini pada seorang teman yang sudah dengan berani mengambil tindakan besar untuk masa depannya dengan segala resiko yang harus ditanggungnya. Aku hanya berdoa, semoga ia diberi kekuatan untuk melalui semuanya. Di dalam keyakinannya yang tertuang dalam doa-doanya, semoga ia bisa melakukannya dengan tulus, tak harap kembali, sehingga saat doa-doa itu tidak terjawab, masih ada keyakinan dan kebaikan yang tetap bisa dilakukan….