
picture taken from simplereminders.com
Sudah setahun lebih sejak tulisan terakhirku di blog ini. Sudah begitu banyak peristiwa yang terjadi yang sebenarnya begitu ingin kutuliskan di sini. Tapi entah mengapa, beberapa tahun terakhir ini, bagiku waktu seakan berjalan lebih cepat.
Kehilangan terbesar aku alami tahun lalu, ketika karma hidup mami di kehidupan ini berakhir. Mencoba tidak menyesali banyak hal yang belum kuperbuat untuk mami, di satu sisi aku bersyukur karena diberi kesempatan menemaninya di saat-saat terakhir, menghantarkan kepergiannya dengan doa setelah sebelumnya meminta maaf atas segala kesalahan yang kuperbuat selama hidup di dunia ini sebagai puterinya. Berterima kasih atas segala budi baik dan kasih sayang seorang Ibu yang telah kuterima, serta berjanji untuk melunasi segala “hutangku” nanti di kehidupan yang akan datang, kembali berjodoh sebagai orang tua dan anak, bersama dengan papi yang sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan kami.
Seperti aku selalu percaya bahwa segala sesuatu tidak ada yang kebetulan, dan alam semesta telah mengatur segalanya sebagaimana mestinya, saat ini adalah saat aku harus melangkahkan kakiku, sebab “jalan” telah menantiku untuk melangkah…
Bukan sebuah keputusan yang mudah untuk meninggalkan tanah kelahiranmu, berhenti dari pekerjaanmu, meninggalkan keluarga dan sahabat-sahabatmu, lalu pergi jauh tanpa tahu masa depan apa yang akan menantimu. Tapi keputusanku sudah bulat, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku membuat keputusan besar dengan hanya memikirkan diriku sendiri. Memikirkan diri sendiri tapi untuk kebaikan yang lain, bukan atas dasar egois. Karena tanggung jawab dan balas budi terbesar merawat kedua orang tua sudah selesai dijalankan di kehidupan ini, tidak ada lagi yang patut aku risaukan. Apakah ini yang ada dalam pikiran pangeran Siddharta saat memutuskan untuk meninggalkan istana dan segala kehidupan duniawi? Belum, aku belum seberani pangeran Siddharta, tapi setidaknya satu langkah sudah kuambil, semoga langkah ini menuntunku ke tujuan akhir yang seharusnya.
Sebenarnya aku masih seperti bermimpi. Jika tiada aral melintang, dalam hitungan kurang dari dua bulan lagi aku sudah akan meninggalkan tanah airku, pergi untuk menggapai apa yang menjadi cita-citaku. Rasa berat hati kadang masih kurasa, terlebih karena harus meninggalkan orang-orang yang selama ini cukup dekat denganku. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara yang selama tiga tahun terakhir ini kerap kukunjungi karena urusan pekerjaan. Rekan bisnis perusahaan tempatku bekerja, rekan sekerja, bahkan orang-orang yang berjodoh bertemu denganku seperti Dy, si Tuk Tuk Driver di Kamboja yang selalu mengantarkanku saat sedang di sana. Seakan tahu mungkin ini adalah saat terakhir kami bisa bertemu, setelah mengantarku ke pool bus, dia menyempatkan diri untuk mencoba berbincang-bincang denganku dengan bahasa Inggris yang sepotong-sepotong, bahkan sampai membelikanku minuman. Dia meninggalkan kesan terakhir yang manis, semanis minuman aloe vera yang dibelikannya untukku, dan yang terpenting dia meninggalkan sebuah persahabatan.
Seperti yang pernah kutulis, bahwa dalam kehidupan ini dapat bertemu adalah suatu “jodoh”, karena mungkin di banyak kehidupan lainnya kita pernah bertemu. Tetapi ada saat bertemu ada pula saat berpisah, karena segala sesuatu tidaklah kekal. Sekalipun aku benci perpisahan dan selalu menangis karenanya, tapi biarlah air mata itu menandakan rasa terima kasihku atas segala persahabatan, kasih sayang dan jodoh baik yang sudah terjalin di dalam kehidupan ini.
True Friends don’t say Good-Bye, They just take extended leaves of absences from each other…
~Jen~
March 25, 2017
08.10 pm
Ditulis di dalam bus yang mengantarku dari Phnom Penh ke Ho Chi Minh