Feeds:
Posts
Comments

Archive for June, 2019

Sebenarnya tulisan ini tentang kematian. Topik “kematian” sudah pernah aku tulis juga sebelumnya di tulisan dengan judul Kematian ini. Tapi alih-alih memberi judul “kematian” yang mungkin buat sebagian besar orang menakutkan, maka aku lebih suka menggunakan istilah “Hidup Baru”.

Kenapa sih kok aku ingin menulis topik ini lagi? Karena sejujurnya buatku sekarang, kematian tak lebih dari suatu proses yang memang akan dialami oleh kita semua, makhluk yang masih berada di samsara. Akhir-akhir ini memang ada beberapa peristiwa yang membuat aku kembali merenung dan berpikir tentang kematian.

Entah sejak kapan aku tidak begitu ingat, kematian bukan lagi hal yang menakutkan buatku, tetapi masih menjadi hal yang menyedihkan, karena seperti yang disampaikan oleh Guru Buddha, berpisah dengan yang dicintai adalah sebuah penderitaan. Dan tentu saja penderitaan itu mendatangkan kesedihan.

Dulu aku selalu merasa sedih bila ada orang yang meninggal, ini pula yang membuatku berpikir untuk tidak menjadi seorang dokter, bukan karena aku takut darah ataupun lainnya, tapi lebih kepada aku tidak tahan melihat kematian, karena kupikir aku pasti akan menangis sedih jika menghadapi kematian.

Tetapi perjalanan hidup memberiku begitu banyak pelajaran, kematian demi kematian dari orang-orang disekelilingku dan terdekatku telah membentuk aku yang sekarang. Aku yang sekarang yang tak lagi bersedih saat melihat kematian. Aku yang sekarang yang memandang kematian hanya sebagai suatu bagian dari kenyataan hidup dan proses dalam perjalanan di samsara ini.

Sempat terbersit dalam benakku apakah aku telah berubah menjadi orang yang tidak berperasaan? Tapi setelah merenungkan lebih dalam, tidaklah demikian adanya. Aku pernah menyikapi kematian dengan kemarahan, kesedihan dan ketidakpuasan untuk waktu yang cukup lama. Kematian papi itu mungkin menjadi satu titik balik dalam hidupku dalam proses “mencari kebenaran”. Dan waktu akhirnya memberikanku banyak pelajaran dan jawaban atas tanya dan ketidakpuasanku. Dalam perjalanan waktu, aku bisa memahami pesan yang kuterima, bahwasannya keterikatan dan keakuanlah yang menyebabkan kesedihan itu.

Saat harus sekali lagi mengalami peristiwa kematian orang yang aku cintai, yaitu kematian mami, aku lebih bisa menerimanya dengan berbesar hati. Tentu saja sebagai manusia yang normal yang masih memiliki perasaan dan ego, aku tetap menangis dan merasa kehilangan. Tapi dibalik rasa kesedihan itu aku juga mengerti bahwa kematian itu sesungguhnya tidak pernah memisahkanku dari orang-orang yang kucintai itu. Mereka hanya sudah terlebih dahulu memulai hidup yang baru, dalam wujud dan dimensi yang berbeda, dan suatu saat nanti mungkin aku akan kembali bertemu dengan mereka lagi.

Aku menulis tulisan ini dari mulai menunggu boarding hingga sekarang berada di atas pesawat yang membawaku kembali ke Jakarta. Sambil memandang ke luar jendela, melihat hamparan awan-awan putih diselingi mentari senja, mengingatkanku akan masa kecilku. Waktu kecil aku sempat bertanya, apakah orang yang meninggal itu akan berada di awan? Karena pelajaran yang kuterima, surga itu adanya di atas, dan sejauh kumemandang langit terlihat hamparan awan seputih kapas. Ada satu kali, sambil memandang awan di langit, aku menangis, teringat kakekku yang sudah meninggal saat itu. Saat ini, saat memandang awan, kupikir seperti itu pulalah kematian. Kadangkala mereka yang pergi menjadi awan, lalu turun sebagai hujan, bergabung menjadi ombak di lautan hingga kembali menjadi awan begitu seterusnya. Mereka tidak pernah pergi, mereka selalu ada, hanya bagaimana kita bisa mengenalinya dalam wujud dan rupa yang berbeda.

Yang lahir pasti mati, karenanya usahlah bersedih. Hidup yang satu dan hidup yang baru hanya sebatas pemikiran kita. Yang terpenting bagaimana kita bersiap untuk memulai hidup baru yang bisa datang kapan saja menghampiri kita…

Di atas langit senja Jakarta,

~Jen~

05.49 pm

Read Full Post »

Akhirnya aku bisa mengunjungi Bhutan, negara yang tingkat kebahagiaan penduduknya tinggi. Jika melihat kondisi alamnya, memang sangat indah dan asri. Dari tour guide lokal aku mengetahui bahwa pemerintah tetap menjaga agar 60% dari area haruslah ditanami pepohonan. Tidak heran udara di sini masih sangat segar dan bersih.

Hari pertama aku punya kesempatan mengunjungi Buddha Point atau Buddha Dordenma, sebuah patung Buddha yang sangat besar yang pembangunannya sudah diramalkan untuk menjaga perdamaian di Bhutan.

Bangunan patung ini sangat besar, di dalamnya masih terdapat ribuan patung-patung Buddha kecil dan juga terdapat patung Buddha Vayrocana dan Buddha-Buddha lainnya. Di dalam ruangan aku sempat bernamaskara dan bermeditasi sejenak. Setelah selesai aku berkeliling di halaman luar ruangan.

Entah apakah ini hanya perasaanku ataukah memang ada ‘pesan’ yang ingin disampaikan padaku, tetapi saat berjalan keliling itu aku jadi menangis, dan seolah ada yang berbicara padaku, kenapa aku berpikir bahwa tidak ada gunanya lagi aku hidup? Tulisanku sebelum ini memang berisi perasaanku tentang hidup yang aku jalani saat ini, bagaimana aku merasa bahwa sepertinya sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup setelah kepergian kedua orangtuaku. Tapi pesan yang aku terima di Buddha Donderma menyuruhku membuka mataku, merasakan dengan hatiku, bahwa masih banyak yang bisa aku lakukan, di luar sana masih banyak hal indah yang bisa aku rasakan.

Aku menangis saat mendapat pesan itu, walau singkat, tetapi menguatkan dan menenangkan. Hidup ini tidak hanya sekedar hutang piutang. Dalam perjalanan kali ini aku bertemu orang-orang baru, merasakan cinta kasih dari mereka, dan sebaliknya juga bisa berbagi kasih dengan mereka. Jika hanya didasarkan pada hutang piutang, mungkin kita hanya jadi berhitung, tapi hidup seharusnya tidak seperti itu. Cinta yang aku miliki, berkah yang ada dalam diriku, seyogyanya kupergunakan dengan baik, agar bisa menuntunku pada jalan pembebasan sejati.

Thimphu, Bhutan, 5 June 2019

~Jen~

05.21 am waktu Bhutan

Read Full Post »