Sebenarnya tulisan ini tentang kematian. Topik “kematian” sudah pernah aku tulis juga sebelumnya di tulisan dengan judul Kematian ini. Tapi alih-alih memberi judul “kematian” yang mungkin buat sebagian besar orang menakutkan, maka aku lebih suka menggunakan istilah “Hidup Baru”.
Kenapa sih kok aku ingin menulis topik ini lagi? Karena sejujurnya buatku sekarang, kematian tak lebih dari suatu proses yang memang akan dialami oleh kita semua, makhluk yang masih berada di samsara. Akhir-akhir ini memang ada beberapa peristiwa yang membuat aku kembali merenung dan berpikir tentang kematian.
Entah sejak kapan aku tidak begitu ingat, kematian bukan lagi hal yang menakutkan buatku, tetapi masih menjadi hal yang menyedihkan, karena seperti yang disampaikan oleh Guru Buddha, berpisah dengan yang dicintai adalah sebuah penderitaan. Dan tentu saja penderitaan itu mendatangkan kesedihan.
Dulu aku selalu merasa sedih bila ada orang yang meninggal, ini pula yang membuatku berpikir untuk tidak menjadi seorang dokter, bukan karena aku takut darah ataupun lainnya, tapi lebih kepada aku tidak tahan melihat kematian, karena kupikir aku pasti akan menangis sedih jika menghadapi kematian.
Tetapi perjalanan hidup memberiku begitu banyak pelajaran, kematian demi kematian dari orang-orang disekelilingku dan terdekatku telah membentuk aku yang sekarang. Aku yang sekarang yang tak lagi bersedih saat melihat kematian. Aku yang sekarang yang memandang kematian hanya sebagai suatu bagian dari kenyataan hidup dan proses dalam perjalanan di samsara ini.
Sempat terbersit dalam benakku apakah aku telah berubah menjadi orang yang tidak berperasaan? Tapi setelah merenungkan lebih dalam, tidaklah demikian adanya. Aku pernah menyikapi kematian dengan kemarahan, kesedihan dan ketidakpuasan untuk waktu yang cukup lama. Kematian papi itu mungkin menjadi satu titik balik dalam hidupku dalam proses “mencari kebenaran”. Dan waktu akhirnya memberikanku banyak pelajaran dan jawaban atas tanya dan ketidakpuasanku. Dalam perjalanan waktu, aku bisa memahami pesan yang kuterima, bahwasannya keterikatan dan keakuanlah yang menyebabkan kesedihan itu.
Saat harus sekali lagi mengalami peristiwa kematian orang yang aku cintai, yaitu kematian mami, aku lebih bisa menerimanya dengan berbesar hati. Tentu saja sebagai manusia yang normal yang masih memiliki perasaan dan ego, aku tetap menangis dan merasa kehilangan. Tapi dibalik rasa kesedihan itu aku juga mengerti bahwa kematian itu sesungguhnya tidak pernah memisahkanku dari orang-orang yang kucintai itu. Mereka hanya sudah terlebih dahulu memulai hidup yang baru, dalam wujud dan dimensi yang berbeda, dan suatu saat nanti mungkin aku akan kembali bertemu dengan mereka lagi.
Aku menulis tulisan ini dari mulai menunggu boarding hingga sekarang berada di atas pesawat yang membawaku kembali ke Jakarta. Sambil memandang ke luar jendela, melihat hamparan awan-awan putih diselingi mentari senja, mengingatkanku akan masa kecilku. Waktu kecil aku sempat bertanya, apakah orang yang meninggal itu akan berada di awan? Karena pelajaran yang kuterima, surga itu adanya di atas, dan sejauh kumemandang langit terlihat hamparan awan seputih kapas. Ada satu kali, sambil memandang awan di langit, aku menangis, teringat kakekku yang sudah meninggal saat itu. Saat ini, saat memandang awan, kupikir seperti itu pulalah kematian. Kadangkala mereka yang pergi menjadi awan, lalu turun sebagai hujan, bergabung menjadi ombak di lautan hingga kembali menjadi awan begitu seterusnya. Mereka tidak pernah pergi, mereka selalu ada, hanya bagaimana kita bisa mengenalinya dalam wujud dan rupa yang berbeda.
Yang lahir pasti mati, karenanya usahlah bersedih. Hidup yang satu dan hidup yang baru hanya sebatas pemikiran kita. Yang terpenting bagaimana kita bersiap untuk memulai hidup baru yang bisa datang kapan saja menghampiri kita…
Di atas langit senja Jakarta,
~Jen~
05.49 pm
Leave a Reply