Kematian masih menjadi misteri bagi sebagian besar orang. Kita seringkali bertanya, apakah kematian itu? Seperti apa rasanya? Kapan ia akan datang ke hadapan kita? Kemana perginya kita setelah mati? Semua pertanyaan-pertanyaan itu seringkali hadir di hadapan kita terutama saat-saat kita melihat orang lain menghadapi kematian. Saat kita ditinggalkan oleh orang-orang di sekeliling kita, orang-orang yang kita sayangi, saat kematian datang menghampiri mereka.
Dengan prinsip Ehipassiko (datang dan buktikan sendiri), tidakkah kamu ingin mengalaminya sendiri baru kamu bisa mengerti dan memahami apa itu kematian? Tapi apakah mungkin? Saat kematian sudah datang menghampirimu, apakah kamu masih bisa kembali berada di dunia ini dengan kondisi yang sama? Rasanya hampir tidak mungkin, karena itulah, kematian masih saja menjadi misteri.
Saat sekarang ini, dimana iechong sedang terbaring sakit, dan besok adalah genap 6 tahun meninggalnya papi, dan baru saja aku mendengar kabar bahwa salah satu distributor kantorku meninggal, padahal bulan Januari lalu, ia masih terlihat begitu sehat dan penuh semangat, pemikiran tentang kematian itu tiba-tiba saja muncul dalam benakku.
Perkawinan seringkali disebut sebagai permulaan hidup baru, tapi kalau kita berpikir lebih dalam, bukankah kematian yang lebih cocok disebut sebagai permulaan hidup baru? Karena dalam Buddhisme, ajaran yang aku anut, kematian bukan berarti akhir dari kehidupan, justru sebaliknya kematian adalah permulaan kehidupan yang baru. Kalau dalam perkawinan kita punya cukup waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari tempat, waktu, tanggal, acara, dan lain-lainnya, agar pada hari besar itu segala sesuatunya bisa berjalan dengan baik, sebaliknya kematian lebih suka memberi kita kejutan. Ia seringkali datang tiba-tiba, tanpa tanda-tanda, tanpa pemberitahuan, kapan saja dan di mana saja bisa terjadi. Cukup mendebarkan bukan? Lalu bagaimana dengan persiapan kita? Kapan kita bisa melakukan persiapan agar permulaan hidup yang baru bisa kita mulai dengan baik, seperti halnya dengan perkawinan?
Sebelum menjawab itu semua, satu pertanyaan lagi timbul, dalam menghadapi perkawinan, sudah sepatutnya semua orang akan menyambut gembira, tapi apakah demikian halnya dengan kematian? Sama-sama permulaan hidup yang baru, tapi mengapa yang satu kita sikapi dengan penuh tawa sementara yang satu lagi dengan isak tangis dan air mata?
Tidak bisa disalahkan bila ada air mata, karena dalam memulai hidup baru, kita berarti meninggalkan sesuatu yang lama, berpisah dengan kondisi kita yang lama. Lihatlah dalam perkawinan, saat anak meminta restu kedua orangtuanya untuk memulai hidup baru, hampir bisa dipastikan ada air mata yang mengalir. Karena apa? Baik orang tua maupun si anak sama-sama berat karena harus ’berpisah’ walau bukan dalam arti kata sebenarnya. Begitu juga yang kita hadapi saat kematian terjadi, saat seseorang akan memulai hidup baru-nya, ia harus berpisah, meninggalkan keluarganya dan apa yang ia miliki saat ini, makanya tak heran semua merasa sedih dan menitikkan air mata karenanya.
Lalu, disaat kita harus menghadapi kematian, bagaimana agar kita bisa bersikap sama seperti kita menghadapi suatu perkawinan? Walaupun ada tangis, tapi kita pergi dengan bahagia, dilepas dengan perasaan suka cita?
Bagi orang-orang tertentu yang diberi waktu untuk mempersiapkan kematiannya, mungkin hal ini jadi lebih mudah. Saat sakit, saat hidup kita divonis hanya tinggal hitungan tahun, bulan, hari atau bahkan detik, walau hanya singkat, kita masih punya kesempatan untuk mempersiapkannya. Saat itu, lakukanlah yang terbaik, sesuatu yang tidak saja membuat dirimu bahagia, tapi juga membuat orang-orang disekelilingmu bahagia. Karena kamu akan memulai hidup baru-mu, relakanlah semua yang kau miliki saat ini, keluargamu, harta bendamu, hewan peliharaanmu, teman-temanmu, pangkat dan kedudukanmu serta apapun yang sudah kamu capai saat ini, lepaskanlah. Lepaskan juga segala kekhawatiranmu, masalah-masalahmu, semua itu akan segera berlalu, kamu akan memulai sesuatu yang baru. Biarkanlah dirimu menjadi bersih dari keterikatan, biarkan dirimu hanya menyadari setiap hembusan nafasmu yang dalam hitungan sepersekian detik mungkin akan segera berubah menjadi nafas dirimu yang baru. Bagi yang ditinggalkan, relakanlah kematian seseorang, karena waktunya untuk memulai hidup yang baru sudah tiba. Perpisahan ini bukan untuk selamanya, karena selama masih ada ikatan karma, entah kapan kitapun akan bertemu kembali dalam ruang, wujud, dan waktu yang berbeda.
Bagaimana jika kita tidak cukup beruntung untuk memiliki persiapan menghadapi kematian kita? Entahlah aku sendiri tidak tahu. Aku mungkin bisa saja menuliskannya di sini, tapi apakah aku bisa melakukannya? Belum tentu, tapi aku akan belajar dan berusaha….
Karena itu, setiap detik dalam hidup kita, hendaknya kita tidak terikat, hendaknya kita tidak mengecewakan orang lain. Kalau bisa kita membuat orang lain dan diri kita sendiri bahagia, agar setiap saat kita harus memulai hidup baru, kita bisa memulainya dengan baik walau tanpa persiapan khusus….
Jika aku mati,
Aku ingin saat itu tidak ada yang menangis untukku,
Karena aku pergi untuk memulai hidupku yang baru,
Bukan untuk mengakhiri kehidupanku saat ini…
Jika aku mati,
Aku ingin ada senyum menghias bibirku,
Yang kutujukan untuk semua mahluk tanpa terkecuali,
Dengan ucapan tulus dari hati:
’Sampai bertemu kembali….’
Leave a Reply