Akhir-akhir ini aku jadi hampir lupa menulis untuk diriku sendiri, karena terlalu sering menulis buat orang lain. Menulis buat orang lain maksudnya aku memang memperuntukkan tulisanku dibaca orang lain, jadi baik isi maupun tata bahasanya harus aku pikirkan supaya orang nyaman membacanya. Terus terang aku lebih suka menulis untuk diriku sendiri, dengan gaya dan bahasaku sendiri dan yang paling penting adalah isi yang aku tujukan terutama untuk diriku sendiri.
Terakhir kali aku menulis bagaimana aku merasa ‘blank’ kehilangan arah dan tujuan hidupku. Aku bahkan sempat tidak bisa menuliskan apa-apa walaupun begitu banyak yang terlintas di dalam otakku dan begitu inginnya aku tuangkan dalam tulisan. Seolah-olah aku merasa tidak ada gunanya aku menulis, karena aku sendiri tidak mengenal diriku, tidak tahu apa tujuan hidupku…
Tetapi aku menyadari bahwa dalam hidup kadangkala kita harus melewati fase itu, fase di mana kita jadi kehilangan pegangan dan arah. Beruntunglah aku tidak terlalu lama berada dalam kondisi itu. Aku sudah menemukan apa yang jadi tujuan hidupku, hei kalau kupikir sebenarnya aku sudah tahu itu, tapi aku sempat melupakannya dan tidak menyadarinya. Aku yang sekarang sudah bisa menerima diriku apa adanya dan aku siap untuk terus berjuang dalam hidup ini.
Awalnya aku terlalu banyak berpikir dan menyesali apa yang ada di hidupku sekarang ini. Menyesali mengapa aku harus menanggung segala beban hidup yang ada. Karena aku percaya akan karma, aku percaya apa yang terjadi di kehidupanku saat ini adalah akibat dari perbuatanku di kehidupan yang lalu tentunya, aku jadi bertanya-tanya apa salahku dulu? Aku mulai hidup dalam rasa penyesalan yang besar… mempertanyakan mengapa ‘aku yang dulu’ berbuat begitu banyak kesalahan sehingga ‘aku yang sekarang’ yang harus menanggungnya. Semua pertanyaan, rasa tidak puas dan penyesalan itu selalu menghantuiku. Aku seperti tidak dapat memaafkan diriku sendiri dan aku jadi lupa dengan apa yang seharusnya kulakukan saat ini.
Sampai suatu hari aku membaca sebuah artikel, bagaimana cara Buddha memaafkan orang, dan aku jadi menyadari kalau ‘aku yang sekarang’ ini berbeda dengan ‘aku yang kemarin’, karena segala yang terkondisi selalu berubah. Kalaupun dulu aku telah melakukan kesalahan, itu adalah ‘aku yang lalu’, dan ‘aku yang sekarang’ sudah menjadi ‘aku yang baru’ dan sudah seharusnya tidak sama dengan ‘aku yang lalu’ asalkan aku tidak mengulangi kesalahan yang sama. Untuk itulah aku belajar dari Sang Buddha yang memaafkan orang yang telah menyakitinya, dengan memaafkan diriku sendiri. Aku menyadari bahwa meskipun aku yang sekarang berbeda, tetapi aku tetap harus menanggung akibat dari perbuatanku yang dulu. Yang terpenting untukku saat ini adalah menyadari bahwa aku memang telah melakukan kesalahan dan aku pasti akan menanggung akibatnya, tetapi aku tidak akan berlarut dalam penyesalan itu, aku hidup saat ini untuk membayar apa yang menjadi hutangku yang lalu.
Saat yang bersamaan juga, aku sedang mempelajari kitab Jataka, dimana berisi kelahiran-kelahiran yang lalu dari Buddha Gotama. Dari situ aku belajar, bahwa kehidupan yang berulang itu bukannya tanpa maksud. Kehidupan yang berulang itu ditujukan untuk memperbaiki kesalahan dan menyempurkan diri kita. Sebelum lahir menjadi seorang manusia dari suku Sakya dengan gelar pangeran, Siddharta Gotama, yang kemudian menjadi Buddha, sudah mengalami kelahiran yang tak terhitung banyaknya. Dan tidak hanya sebagai manusia, tetapi juga sebagai hewan, sebagai dewa dan sebagai makhluk lainnya. Dalam kelahiran yang berulang itu Bodhisattwa bakal Buddha melakukan begitu banyak kebajikan, beliau menyempurnakan Parami-nya sampai pada kelahiran terakhirnya sebagai Pangeran Siddharta.
Dari sini aku belajar, begitu pula halnya diriku saat ini, aku lahir sebagai manusia merupakan suatu berkah yang tak ternilai harganya karena dapat mengenal Dhamma ajaran Buddha. Kelahiranku kali ini tentunya juga memiliki maksud dan tujuan. Aku lahir sebagai manusia dan mengenal Dhamma adalah hasil dari karmaku, pastilah dulu aku telah berbuat suatu kebajikan sehingga bisa lahir dalam kondisi seperti itu. Tetapi aku menyadari bahwa ada banyak kesalahan yang sudah aku perbuat, dan aku harus membayarnya di kehidupan ini dan mungkin di kehidupan-kehidupan selanjutnya. Belajar dari kisah Jataka, aku juga menemukan bahwa seringkali kesalahan yang sama diulang kembali dalam kehidupan yang selanjutnya. Untuk itulah kita hendaknya selalu sadar dan berusaha sebaik mungkin menjalankan Dhamma ajaran Buddha sehingga kesalahan yang sama tidak terulang kembali.
Tujuan hidupku saat ini, seperti halnya Bodhisattwa bakal Buddha, adalah menyempurnakan Parami-ku sehingga bisa menemukan kebahagiaan sejati Nibbana. Aku percaya di setiap makhluk terdapat benih ke-Buddha-an, karena itulah seharusnya dalam kelahiran ini dan mungkin banyak lagi kelahiran berikutnya, aku harus berjuang untuk menyempurnakannya sampai aku berhasil mencapai Nibbana.
Semoga kesadaran akan tujuan hidupku ini, bisa membuatku senantiasa hidup sesuai dengan Dhamma yang menuntunku pada ‘kesempurnaan’…
no comment, cuma sadhu…sadhu…sadhu. Semoga semua mahluk berbahagia^^ (saking bagus dan penuh ispirasinya…)