Ada sebuah pepatah mengatakan “Banyak jalan menuju Roma“, ya banyak jalan buat kita untuk bisa mencapai sesuatu, belajar sesuatu dan bahkan hanya sekedar untuk mengetahui sesuatu.
Kadangkala kita seringkali membatasi diri kita, bahwa untuk mencapai suatu tujuan hanya bisa ditempuh dengan cara tertentu saja, cara yang umumnya digunakan oleh sebagian besar orang, ataupun yang diajarkan oleh guru-guru ternama.
Kira-kira sebulan yang lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah seminar mengenai bagaimana meningkatkan kecerdasan dan kreativitas anak. Sebuah seminar yang sangat menarik menurut saya, karena selain dibawakan oleh Kak Seto, yang kita tahu memang seorang pakar dalam dunia psikologi anak, tetapi juga karena apa yang disampaikan menurut saya sangat membuka wawasan.
Orangtua seringkali memaksakan anak untuk bisa belajar dan mencapai apa yang ditargetkan oleh mereka, dengan cara-cara yang konservatif. Konservatif maksudnya anak dipaksa belajar sesuai aturan yang diterapkan tanpa melihat bakat dan potensi si anak, serta bidang yang digemarinya. Cara pengajaran seperti ini justru membuat si anak seringkali jadi pemberontak dan akhirnya bisa mematikan potensi dan kreativitasnya.
Di dalam seminar tersebut, kak Seto menyampaikan, cara yang terbaik membuat anak belajar adalah melihat apa yang menjadi minatnya, dengan demikian kecerdasan dan kreativitasnya dapat berkembang secara maksimal. Bila anak suka menggambar, ajaklah ia belajar melalui gambar. Bila anak suka bercerita, ajarkan anak melalui cerita, Begitu pula jika anak suka menyanyi, cobalah ajak anak untuk menghafal pelajaran dengan menyanyikannya. Demikian pula dengan anak yang gemar menari, ajaklah ia belajar melalui tarian. Yang menarik bahkan, bila anak suka bermain sulap, pelajaran fisika pun bisa diajarkan melalui permainan sulap. Semua yang saya sebutkan tadi benar-benar dicontohkan oleh kak Seto dengan sangat menarik.
Saya jadi teringat akan murid les saya 9 tahun yang lalu. Anak ini tidak suka pelajaran ilmu pasti, entah itu matematika ataupun fisika. ”Bikin pusing dan itu tidak perlu buat saya, karena cita-cita saya hanya ingin jadi koki dan punya sebuah toko kue,” begitu katanya. Waktu itu saya katakan padanya, meskipun hanya mau jadi koki pembuat kue, matematika itu penting. Bagaimana kamu bisa menimbang adonan dengan tepat untuk menghasilkan kue yang enak kalau kamu tidak kenal matematika? Kalau membuat kue ada perbandingan antara jumlah bahan satu dan lainnya, itu semua adalah matematika. Sejak saya mengetahui minat anak ini, saya selalu berusaha membuat soal dengan menggunakan contoh-contoh seputar kesukaan dan cita-citanya. Yah sedikit banyak ini cukup membantu saya membuat si anak mau belajar dan merasa matematika itu ternyata menyenangkan dan memang diperlukan.
Saya juga jadi teringat akan apa yang disebut “skillful means” (Upaya-kaushalya), yang secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk mengetahui cara atau metode agar seseorang dapat mengenal Dhamma, kemampuan yang dimiliki oleh Buddha Gotama sehingga bisa membuat begitu banyak Bhikku dan umat awam mencapai tingkat kesucian tertentu. Buddha mengetahui tingkat kematangan kebijaksanaan masing-masing orang, ada yang cukup hanya melalui mendengar Dhamma-Nya langsung bisa mencapai tingkat kesucian tertentu, tetapi ada juga yg harus melalui cara-cara lain, seperti terhadap Bhikku Culapanthaka. Karena kesalahannya di kehidupan lalu, Bhikku Culapanthaka terlahir sebagai orang yang bodoh sehingga bahkan tidak mampu mengingat satu syair pun. Tetapi Buddha hanya memberikan sebuah kain lap dan menyuruhnya untuk menggosok kain lap tersebut sambil mengucap satu kata: ’rojaharanam’ yang artinya ’kotor’, sehingga akhirnya saat Bhikku Culapanthaka melihat kain yang menjadi kotor, ia menyadari bahwa segala yang terkondisi tidaklah kekal dan pada akhirnya Bhikku Culapanthaka bisa mencapai tingkat kesucian Arahat.
Dari sini saya menyadari, ternyata tidaklah mudah untuk membuat orang bisa memahami Dhamma ajaran Buddha, dibutuhkan ”skillful means” seperti yang dimiliki oleh Buddha. Tetapi siapa yang memilikinya di saat sekarang ini? Mungkin hanya segelintir orang atau bahkan tidak ada sama sekali? Lalu bagaimana kita bisa membuat orang mengenal Dhamma sesuai dengan tingkat kebijaksanaannya? Saya pikir ya itu tadi, seperti orang tua yang mengajarkan anak melalui minatnya, begitupula yang bisa kita lakukan, menyediakan berbagai jalan agar orang bisa mengenal Dhamma.
Ada yang suka belajar melalui membaca, oke kita sediakan buku-buku Dhamma, ada yang suka belajar melalui ceramah, kita adakan seminar-seminar, tapi jangan lupa mungkin ada juga yang menyukai seni, baik itu puisi, tari-tarian ataupun lagu. Sebisa mungkin kita memfasilitasi itu semua, dengan satu tujuan mulia tentunya, membuat orang bisa mengenal Dhamma ajaran Buddha yang sesungguhnya indah pada awal, tengah dan akhirnya.
Seperti kata pepatah ”Banyak jalan menuju Roma” demikian pula ”Banyak jalan yang membuat orang bisa mengenal Dhamma dan mencapai pencerahan”.
Jakarta, 8 Juni 2009
~Jen~
Leave a Reply