M-A-R-R-I-A-G-E atau P-E-R-N-I-K-A-H-A-N, satu kata yang rasanya bisa jadi hal yang paling sensitif buat sebagian orang terutama para perempuan ataupun pria single seusia saya yang sudah berkepala tiga. Sejujurnya buat saya pribadi, kata ini gak berarti apa-apa, karena memang saya tidak pernah memikirkan hal ini dan tidak terlalu perduli dengan usia saya yang sudah kepala tiga. Buat saya hidup ini biarkanlah mengalir, menikah, tidak menikah, itu adalah pilihan masing-masing orang, dan yang namanya ‘jodoh’, pasangan hidup, tentulah erat hubungannya dengan ‘karma’ masing-masing orang, walau inipun masih bisa diusahakan, bukan merupakan harga mati, karena segala sesuatu buat saya tergantung dari diri kita sendiri, yang di luar kita: lingkungan, orang lain, hanya merupakan faktor pendukung terlaksananya saja.
Bicara soal pernikahan, buat perempuan yang sudah berkepala tiga seringkali dipenuhi kekhawatiran, mengapa sampai sekarang belum mendapat jodoh, ditambah jumlah populasi wanita yang lebih banyak daripada pria, pastinya mereka bertambah was-was, walaupun sejujurnya banyak juga pria di atas usia tiga puluh yang masih belum menikah, tapi mungkin kecemasan mereka tidak sebesar kecemasan para perempuan. Saya memahami hal ini, sangat memahami, tetapi kalau ditanya apakah saya termasuk salah satu dari perempuan-perempuan yang khawatir itu? Jawabnya dengan pasti, TIDAK, kenapa ‘tidak’? Banyak alasan, kenapa saya menjawab tidak, tapi ini adalah sebuah jawaban yang jujur. Saya tidak pernah khawatir di usia saya yang sudah kepala tiga ini saya belum menikah, bahkan berpacaran pun belum pernah. Rasanya aneh? Mungkin saja, karena sempat pula hal ini diutarakan oleh salah satu supplier kantor saya. “Aneh, mba belum pernah pacaran? Padahal kalau dilihat rasanya gak ada yang kurang, penampilan mba menarik dan cukup manis, enak pula diajak bicara dan cukup menyenangkan,” begitu kata perempuan tengah baya itu menilai saya yang baru satu kali itu bertemu dengannya dan berbicara selama kurang lebih 3 jam saja. Yah mungkin yang dibilang olehnya tidak sepenuhnya salah, walau juga tidak sepenuhnya benar, karena ‘penilaian’ itu sangat relatif. Tapi kembali lagi, untuk pacaran ataupun tidak pacaran itu adalah pilihan saya…
Saya jadi teringat, salah seorang teman pria saya sewaktu kuliah pernah bilang ke saya, para pria takut sama saya karena saya bisa melakukan segalanya sendiri. Mungkin yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah, saya memang terbiasa mandiri, saya tampak tidak butuh bantuan orang lain, termasuk untuk pekerjaan yang biasa dilakukan pria, selagi bisa saya usahakan sendiri pasti saya kerjakan sendiri. Mungkin karena hal ini, karena pria memiliki gengsi yang tinggi, jadi mereka cenderung lebih menyukai perempuan yang tampak ‘lemah’ dan butuh bantuan mereka, agar mereka terlihat sebagai ‘super hero’? Mungkin… kembali lagi, ini sebuah penilaian, dan sangat relatif…
Yang jadi masalah sebenarnya saya memang sempat terpikir kalau hidup seorang diri, tidak menikah, akan lebih bebas. Lingkungan tempat saya tinggal, banyak memperlihatkan kejadian pahit dari kehidupan berumah tangga, jadi kalau mau dikatakan mungkin memang ada sedikit ‘trauma’ di diri saya akan kehidupan perkawinan. Tetapi selain itu, saya sendiri pada dasarnya lebih suka menyendiri daripada harus bergaul dan berhubungan dengan banyak orang. Pertanyaannya pernahkah saya jatuh cinta? Saya masih perempuan normal, dan pernah melewati masa remaja dan tentunya juga pernah merasakan jatuh cinta walau mungkin bukan benar-benar ‘cinta’ karena sampai sekarang sejujurnya dari hati kecil saya yang paling dalam saya merasa belum menemukan apa yang disebut ‘cinta’ itu. Dan tak banyak kali saya jatuh cinta, karena saya memang bukan orang yang mudah jatuh cinta.
Kembali ke masalah M-A-R-R-I-A-G-E, mengapa saya menulis ini, karena belakangan ini agak risih saya mendengar pertanyaan ‘Kapan married?’ yang kerap ditanyakan oleh teman-teman dan orang-orang di sekeliling saya, padahal mami saya sendiri tidak pernah menanyakan hal ini. Tapi selain karena pertanyaan itu, ada satu kejadian yang membuat saya menulis tentang hal ini. Sebuah peristiwa, sebuah cerita yang disampaikan seorang yang mungkin tak perlu saya sebutkan namanya, yang tampak sebagai hal biasa saja, cerita yang sekedar untuk mencairkan suasana saat dalam perjalanan, tetapi buat saya ini bukan sekedar cerita biasa. ‘Tuhan’ selalu punya cara tersendiri untuk ‘memberitahu’ saya, ‘menasihati’ saya, melalui berbagai cara yang mendatangkan ‘pencerahan’ ataupun ‘teguran’ untuk saya.
Cerita ini tentang seorang perempuan, yang bekerja di luar negeri, karena masih muda dan menyukai bepergian, ia tidak pernah berpikir untuk menikah, berpacaran pun tidak. Dia sangat menikmati hidupnya yang bebas dan cukup bahagia menurutnya, bisa bepergian ke tempat-tempat yang indah setiap akhir minggunya, tanpa harus memikirkan banyak hal di rumah. Sampai ia kembali ke negaranya sendiri, melihat teman-temannya masih sama seperti dulu, sementara ia yang sudah melihat dunia luar, berharap teman-temannya dapat lebih maju sesuai ekspektasinya. Tak puas dengan apa yang ada, ia melanjutkan kuliah sambil bekerja, mengambil gelar master bahkan dari kelas yang paling sulit. Sehari-hari diisi dengan kesibukkan bekerja dan belajar, sampai saat kelulusan tiba semua rekan satu kuliahnya merayakan kelulusan dengan keluarga masing-masing dan tinggallah ia seorang diri. Semula ia mencoba merayakannya dengan mengajak teman satu apartment-nya makan, namun apa mau dikata si teman sudah janji menjenguk saudaranya yang sakit, tanpa tahu maksud di balik ajakan tersebut. Maka benar-benar tinggallah ia seorang diri, merayakan kelulusannya di apartemennya seorang diri. Saat itulah ia baru menyadari, apa yang sebenarnya ia cari selama ini? Apa gunanya yang ia lakukan selama ini? Dan ia menangis…. saat itu mungkin ia baru menyadari betapa ia sebenarnya kesepian. Dan di dalam isak tangisnya ia berdoa, seandainya memang ia harus menikah, sekiranya ‘Tuhan’ bisa membawa seorang pria ke hadapannya. Tapi ia sendiri menyadari bahwa ia tidak bisa hanya ‘menunggu’, ia tahu ia seharusnya banyak berteman dan mungkin pergi kencan.
Singkat cerita, suatu kali teman satu apartment-nya membawa teman-teman kantornya ke apartment mereka, dengan maksud mengenalkan ia dengan salah seorang dari mereka. Pria ini sudah berpacaran untuk waktu yang lama, dan beberapa kali sudah merencanakan untuk menikah, walau sayang akhirnya harus berakhir dengan perpisahan. Setelah pertemuan pertama itu, beberapa kali mereka pergi untuk sekedar menonton atau jalan bersama teman-teman lainnya. Belum lewat setengah tahun dari pertemuan mereka, perempuan ini harus kembali meninggalkan negaranya karena mendapatkan penempatan di luar negeri. Ia menyampaikan hal ini kepada si pria, dan pria itu bersikeras untuk mengantarkannya ke bandara. Saat hari keberangkatan tiba, itulah untuk pertama kalinya mereka hanya berdua saja, mengobrol banyak tentang keluarga dan hal-hal lainnya, tanpa saling berhadapan tentunya, sebab si pria sambil mengendarai mobil. Hubungan mereka yang terpisah jarak berlanjut melalui email dan sms, sampai ketika ia pulang ke negaranya untuk liburan, si pria berkata padanya bahwa dirinya ingin agar si perempuan menjadi ibu dari anak-anaknya. Saat itu si perempuan sudah berumur tiga puluh empat tahun dan ia hanya merasa bahwa doa nya sudah terjawab, seorang pria telah hadir di hadapannya, dan ia akan menjalani sebuah kehidupan pernikahan. Seperti yang sudah bisa ditebak, cerita berakhir dengan happy ending.
Mendengar cerita ini, saya jadi teringat, dulu saat kuliah, seorang sahabat pernah menasihati saya agar saya mencari pacar dan membuka diri. ”Sekarang mungkin kamu masih bisa tertawa-tawa karena masih banyak teman di sekeliling kamu, tapi nanti sepuluh tahun ke depan, kamu baru akan merasakan, semua teman-temanmu sudah berkeluarga dan kamu tertinggal sendiri,” begitu nasihatnya kepada saya. Waktu itu saya hanya tertawa, tidak salah walau tidak sepenuhnya benar, karena kembali lagi hal ini relatif tergantung siapa yang mengalaminya.
Tetapi saat ini, setelah cerita perempuan itu, saya menyadari ada sebuah hikmah yang harus saya petik, ‘Dia’ berbicara kepada saya melalui cara-Nya. Jadi sekarang bila ditanya sebenarnya apa pilihan saya, menikah ataukah tidak? Jawabnya….?
~ o ~
Saya selalu membayangkan akan ada tiga orang anak dalam kehidupan saya, seorang perempuan dan dua orang anak laki-laki kembar…
Semoga memang demikian adanya…
~ o ~
With or without you, my life still goes on…
With or without you, I have to go through this journey…
With or without you, I’ll chase my dream…
But…with you, my life will be complete…
In my faith I believe that one day I’ll find you…
In my faith I believe that one day you’ll find me…
And together we’ll share the joy and sorrow…
I’ll share my dream with you and so do you…
Together we go through this journey, as we did before,
a very long time ago…
It’s only about time, as you and I will fight for it…
It’s only about time…
Jakarta, 5 Juni 2010 ~ 12:08 am
~Jen~
Sepertinya saya mengalami hal yang sama dengan mbak. Umur saya 29 sekarang, tapi karena saya tinggal di kota kecil, umur 29 udah berasa seperti umur 40 (Capee deee). Banyak teman-teman saya disini menikah setelah lulus SMA, sedangkan saya lebih memilih untuk kuliah dan kerja. Saya selalu beranggapan bahwa saya lebih baik membahagiakan orang tua dulu daripada bingung cari calon suami kesana-kemari, toh kata orang kalo jodoh gak bakal lari kemana.
Tapi mental saya drop pada saat ayah saya meninggal tahun lalu, saya merasa gagal membahagiakan beliau, karena saya tahu pasti bahwa untuk seorang ayah tradisional, dia tidak mengharapkan uang dan harta, yang dia mau cuma melihat anak-anaknya bahagia dan memastikan bahwa ada seseorang yang dapat melindungi ketika beliau sudah tidak ada. That was the lowest moment in my life.
Selain itu hal yang cukup mengganggu saat ini adalah sangat sulit untuk menemukan teman curhat, tidak seperti dulu saat teman-teman belum berkeluarga. Gak mungkin saya ajak mereka nongkrong di Mall meninggalkan anak dan suami mereka, saya juga gak mau membebani ibu dengan curhatan saya yang gak penting, akhirnya saya cuma memendam semua masalah dan mencari jalan keluar sendiri.
Saya memang belum punya calon suami, tapi untungnya saya punya sahabat online. Dia cowok Italy yang konyolnya minta ampun. Dia juga pendengar yang baik, well … walaupun kadang saya cemburu sama cewek-ceweknya disana (biasalah bule suka having fun), tapi setidaknya saya bisa mengeluarkan uneg-uneg saya, gak perlu dipendam sendiri lagi.
Saya gak tau kapan bisa seberuntung teman-teman lain yang sudah menemukan soulmate mereka, tapi yang jelas now I’m single and very happy.
TR terima kasih sudah mau mampir, membaca dan memberi komentar di blog ini 🙂
Sebenarnya saya pun sudah tidak memiliki Ayah lagi, dulu seringkali saya membayangkan betapa akan menyedihkannya hari pernikahan saya kelak karena tidak ada ayah yang saya sayangi yang mendampingi saya.
Tetapi kembali lagi, hidup ini tidaklah kekal, ada yang datang ada yang pergi dan sebaik apapun kita berusaha menyenangkan semua orang, kita tetap tidak bisa memuaskan hati semua orang.
Yang terbaik jadilah diri sendiri, lakukanlah yang terbaik untuk diri anda sendiri. Tetap semangat dalam menjalani kehidupan ini ya! Senang bisa mengenal anda 🙂