Feeds:
Posts
Comments

Archive for July 1st, 2011

Akhir-akhir ini entah kenapa aku jadi punya kegiatan baru, kegiatan yang semula sama sekali tidak aku sukai. Menonton film di bioskop, ya, dulu aku tidak suka nonton film di bioskop, karena buatku agak sedikit membosankan, harus duduk manis di ruangan yang gelap selama 2 jam bersama orang-orang yang tidak aku kenal. Herannya justru sekarang di saat film-film import sulit masuk ke Indonesia, aku malah jadi hobby menonton. Sebenarnya ini pun bukan merupakan hobby, kegiatan ini hanyalah sekedar untuk menghabiskan waktu ku, menghilangkan kepenatan di tempat kerja. Dan yang terutama, aku selalu mencari hal-hal baru dan pembelajaran dari setiap film yang aku tonton.

Sesungguhnya dari segala hal kita bisa belajar, bahkan dari hal kecil di sekeliling kita, yang kita lakukan sehari-hari pun, kita bisa belajar, asalkan kita mau sedikit lebih peka dan melihat dari segala sisi. Mungkin karena ‘hobby’ belajar ini pula yang membuat otak ku jadi terbiasa berpikir dan aku jadi seorang pemikir. Entahlah, kadangkala melelahkan memang, tapi dibandingkan rasa lelah, kupikir ‘pelajaran’ yang kudapat jauh lebih berharga.

Lucunya lagi seringkali pelajaran yang kudapat itu seperti menjawab pertanyaan yang sedang berkutat di otakku, ataupun sekedar mengingatkanku bagaimana seharusnya mengambil sikap dalam menghadapi permasalahan yang tengah terjadi. Seperti yang selalu kuyakini, ‘Tuhan’ selalu punya cara-Nya sendiri untuk ‘menegurku’ atau sekedar ‘mengingatkanku’…

Dari empat film yang kutonton dalam waktu satu setengah bulan terakhir ini, aku belajar banyak hal, bahkan ada yang seolah memberi ‘tamparan’ cukup keras, yang membuatku tersadar akan kesalahanku selama ini. Dan sekarang, aku mencoba menuliskannya kembali satu per satu, menuliskan kembali apa yang aku dapat, sebagai pengingat untuk diriku, kelak jika aku lupa atas pelajaran ini.

Berperan Hingga Akhir Cerita

Dalam hidup ini, siapa yang tidak memiliki masalah? Sesungguhnya hidup itu sendiri adalah sebuah ‘masalah’, dan bisa juga menjadi ‘bukan masalah’. Masalah ada karena kita menganggapnya demikian. Saat menghadapi sebuah kejadian yang kita anggap suatu ‘masalah’, kita seringkali tidak dapat mengontrol diri kita. Kemarahan, kebencian, dendam, putus asa, segala reaksi bisa saja terjadi karena kita tidak dapat berpikir dengan jernih. Salah satu adegan di film ‘My Sassy Girl’ yang aku tonton, memperlihatkan bagaimana seorang pria yang kecewa karena dikhianati kekasihnya berniat untuk membunuh sang kekasih beserta pacar barunya. Saat diingatkan kalau tindakannya itu malah justru akan merugikan dirinya, dia berbalik ingin bunuh diri. Tetapi lagi-lagi dia diingatkan, bunuh diri pun bukan penyelesaian masalah. Dengan kematiannya apakah akan membawa dampak bagi si kekasih? Kematiannya mungkin tidak akan berarti apa-apa, dan hanya sia-sia belaka. Saat itu si pemeran utama wanita mengatakan ke pria ini, bahwa memang menyakitkan dikhianati dan mengalami hal yang demikian, tetapi hidupnya tetap terus berjalan, dengan atau tanpa kekasihnya. Dia harus memainkan perannya sendiri dalam kehidupan ini hingga usai.

Rasa putus asa seringkali membuat orang berpikir pendek dan ingin mengakhiri hidupnya, padahal kehidupan ini sungguh berharga. Segala kesusahan, segala kesedihan, kesenangan dan kegembiraan, tidak ada yang abadi, semua hanyalah ilusi dan akan berlalu. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kemudian, seberapa senangnya kita, seberapa sedihnya kita saat ini, semua akan segera berlalu, karena kita hidup di ’saat ini’ yang terus berjalan, ’saat ini’ yang tidak pernah sama dari detik ke detik. Jadi janganlah berhenti sebelum ’peran’ mu usai, karena kamu tidak akan tahu akhir dari cerita hidupmu.

Takdirmu Ada di Tanganmu

Masih dari film yang sama, ‘My Sassy Girl’, adegan menjelang akhir cerita benar-benar seperti sebuah tamparan buatku. Diceritakan si pemeran utama wanita dan pemeran utama pria sama-sama menuliskan surat dan menyimpannya di bawah sebuah pohon di taman. Mereka lalu berjanji untuk bertemu kembali di tempat itu setahun kemudian untuk saling membaca isi surat mereka masing-masing. Saat yang ditentukan, hanya si pria yang datang, dan di surat wanita itu menulis bahwa sebenarnya dia memiliki seorang kekasih yang sudah meninggal, dan rasa kehilangannya belumlah pulih. Jika pada hari yang ditentukan dia datang ke tempat itu, maka itu berarti dia sudah pulih, dan jika dia tidak datang, itu berarti dia belum pulih dan untuk itu dia tidak mungkin bersama dengan si pria. Dengan ketidakhadiran si wanita, jelas berarti dia masih belum sembuh dari rasa kehilangannya dan mereka tidak dapat bersama. Namun ternyata keesokan harinya si wanita datang ke tempat itu, dia telah pulih dari rasa kehilangannya, sehari setelah tanggal yang ditentukan. Di sana si wanita bertemu dengan seorang kakek yang menasihatinya untuk menelepon si pria, tetapi apa yang dikatakan si wanita? Kenyataan bahwa dia pulih sehari setelah tanggal yang dijanjikan itu menandakan kalau ’takdir’ mereka memang tidak untuk bersama. Dan si kakek mengatakan kalau takdir itu seharusnya dia sendiri yang menentukan, bukannya lantas dia pasrah terhadap takdir.

Menyaksikan adegan ini membuatku teringat dengan diriku sendiri. Selama ini aku selalu melakukan hal yang serupa. Saat pindah kerja misalnya, kadangkala aku seperti ’bermain judi’, jika diterima aku pindah, jika tidak ya sudah, walaupun seringkali apa yang ditawarkan di tempat kerja baru tidak sebaik di tempat kerja sebelumnya. Padahal bisa saja aku menolak jika memang  penawarannya tidak sesuai, tetapi aku menerimanya atas nama ’takdir’!. Entah kalau mau dihitung sudah berapa banyak hal serupa terjadi, termasuk saat aku menyukai seseorang, aku pun melakukan hal yang sama. Jika dia membalas sapaanku, berarti dia jodohku, dan seterusnya. Dan disadari atau tidak, tindakanku ini secara tidak langsung adalah ’menyerah’ pada keadaan. Aku sama sekali tidak berusaha untuk ’mengejar’ apa yang aku inginkan. Kadangkala sempat terbersit kalau harusnya aku bisa lebih dari aku yang sekarang, tetapi karena ’pasrah pada takdir’ tadi, aku hanya jadi aku yang sekarang. Menyesalkah aku? Ya aku menyesal, menyesal karena baru menyadarinya sekarang . Tetapi bukan penyesalan yang terpenting, yang terpenting adalah bagaimana aku bisa menyadari kalau takdir itu kita sendiri yang menentukan. Sekalipun kadangkala memang ada hal di luar kuasa kita yang menentukan, tetapi itu pun sesunggunya ’diri kita’ juga yang menentukan. Kita sendirilah penulis naskah untuk cerita yang akan kita jalani dalam kehidupan ini. Jadi tentukanlah jalan cerita yang terbaik untuk diri kita masing-masing, dan perankanlah itu sebaik-baiknya. Cerita sedih ataukah bahagia, sesungguhnya tidaklah penting, bagi seorang aktor yang utama adalah memerankan cerita hingga usai dengan sebaik-baiknya…

Jakarta, 1 July 2011

~Jen~

Read Full Post »