Hujan gerimis di sore ini, memandang ke luar jendela dari lantai 16 gedung Plaza Mutiara dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di dada. Aku memilih menulis daripada menangis ataupun marah-marah mengeluarkan segala kekesalan yang ada. Tulisanku, teman yang paling setia, yang tak banyak bicara, dan selalu ada. Heeehhh…. rasanya menarik napas sepanjang apapun masih gak cukup untuk menghilangkan semua penat ini… Memandang butiran air yang menetes di kaca gedung, melihat ke arah luar langit yang sedikit aneh, hujan gerimis, dengan awan gelap tebal, tapi di ujung sana masih terlihat sedikit cahaya matahari, benar-benar langit sore yang aneh, tapi indah menurutku…
Perut yang terasa lapar, diganjal dengan sebatang coklat toblerone, berharap manis nya bisa memberikan sedikit kegembiraan untuk hati ini. Lagu ‘I won’t give up’ nya Jason Mraz masih bersenandung di telinga lewat earphone, menutupi seluruh suara dari luar, hanya sesekali suara rintik hujan yang menyeruak masuk memanfaatkan sedikit celah yang ada. Masih mengamati langit Jakarta sore ini, benar-benar aneh, sekarang warnanya sedikit kemerahan, bercampur dengan gelap, memberi kesan remang-remang, masih tetap indah menurutku…
Entah kenapa memberi judul tulisan ini ‘Impian, Kenyataan, dan Harapan’, mungkin karena merasa sedang berhadapan dengan ketiganya. Impian yang sedang dikejar, berhadapan dengan kenyataan yang ada, namun masih tak berhenti berharap. Fiuh, kenapa jadi kompleks ya rasanya. Semua ibarat langit sore ini, campur aduk tapi tetap terasa indah, karena begitulah hidup ini… Mencoba belajar dari setiap peristiwa yang ada, rasa sakit karena ketidakjujuran, kekecewaan karena tidak seperti yang dibayangkan, kepercayaan yang dihancurkan, impian yang terpaksa harus dibuang… semua datang silih berganti, tapi tak bertahan lama…
Mengamati segala perasaan yang timbul dan tenggelam, mencoba untuk bersikap netral, mengendalikan pikiran yang liar ini, sungguh bukan hal yang mudah… Ini adalah ujian terberat, lebih berat daripada harus menyelesaikan hitungan algoritma. Menghabiskan sisa potongan coklat terakhir, tak juga merasa sedikit gembira, mungkin otak ini sudah terlalu bebal, rasa ini sudah mati, atau justru sebaliknya terlalu peka? Entahlah…
Mencoba mengingat segala pesan yang pernah tersampaikan, menjalani kehidupan ini dengan tulus, menjalankan segala konsekuensi dari pilihan yang sudah diambil. Tidak perlu merasa kecewa bila tulus, tidak perlu merasa sakit hati bila melakukan dengan tulus, tidak perlu marah bila tulus. Benar-benar tidak mudah, sungguh tidak mudah… tapi bila ini teratasi, aku percaya hal yang baik tengah menantiku. Seperti pelangi yang menampakkan diri saat matahari berhasil menyeruak diantara gelapnya langit yang tengah menangis, membiaskan titik-titiknya menjadi sapuan warna warni yang indah…
Langit di luar sana sudah gelap, semakin indah, karena sekarang kulihat titik-titik sinar yang gemerlapan bertebaran di bawah sana… Sudah lama tidak menikmati langit malam dengan lampu-lampu kecilnya, sinar-sinar yang memberikan harapan. Mungkin buat orang-orang, aku ini aneh, bahkan teman dekatku mulai mengatakan aku aneh. Aku sendiri tidak suka menjadi aneh, aku sendiri ingin menjadi biasa-biasa saja. Tapi aku harus menerima diriku apa adanya, dengan segala keanehan ini, kepekaan yang tinggi, yang selalu menangkap rasa yang tak terlihat, terkecap, teraba ataupun terdengar, dan otak yang seringkali berpikir keras untuk mencari jawaban atas segala rasa itu. Kadangkala aku lelah, sangat lelah, tetapi pada satu titik meyadari ini adalah berkah, dan berkah sepatutnya disyukuri.
Semua ini adalah proses dalam hidupku, segala yang terjadi pasti ada alasannya, ada yang masih harus kupelajari, ada yang harus kurelakan, ada yang harus kulalui… semoga aku mampu menjalaninya, demi sebuah harapan yang rela kutukar dengan apapun milikku, termasuk impianku… semoga ‘Tuhan’ mendengar doa tulusku…
Jakarta, 5 Desember 2012
~Jen~
06:44 pm
Leave a Reply