Belakangan ini entah kenapa tiba-tiba jadi sering teringat dengan orang-orang yang pernah ditemui di masa lalu. Seperti judul tulisan ini, rasanya jadi ingin bernostalgia, mengenang masa-masa yang sudah lewat. Sebenarnya tulisan ini sudah ingin ditulis dari tahun lalu, sejak banyak peristiwa yang mengingatkanku akan orang-orang tersebut. Tapi karena kesibukan di akhir tahun dan kondisi fisik yang kurang baik, membuat aku selalu tidak sempat menuliskannya, dan baru sekarang aku menuliskannya setelah bertambah lagi sederetan nama yang muncul dalam kenanganku.
Orang-orang yang aku tuliskan di sini, adalah mereka-mereka yang sempat ‘berjodoh’ denganku, bertemu di kehidupan ini, beberapa meninggalkan kesan yang mendalam, beberapa hanya biasa-biasa saja tapi masih sering muncul dalam memoryku, dan semuanya akan kutuliskan satu persatu dalam edisi nostalgia ini.
Orang yang baru saja terlintas dalam ingatanku adalah dua orang yang pernah hadir dalam kehidupanku sebagai guru sekolahku. Yang satu adalah guru matematika SMP ku, orang yang aku tau menaruh perhatian atas kemampuanku dalam bidang itu. Yang masih membekas dalam ingatanku adalah bagaimana di hari-hari mendekati ujian nasional, beliau khusus meminjamkan buku matematika-nya yang mungkin sudah seperti kitab suci baginya, yang penuh berisi coretan pembahasan soal-soal itu kepadaku. Aku tahu saat beliau meminjamkan buku itu beliau menaruh harapan besar buatku, agar aku bisa meraih nilai 10, nilai sempurna seperti yang sudah dilakukan oleh kakak kelasku. Untungnya saat itu aku berhasil memenuhi harapannya dengan mempersembahkan nilai 10 di ujian nasional, untuk pelajaran matematika.
Yang kedua adalah almarhum guru Bahasa Indonesia ku di SMU. Sebenarnya aku sangat sedih untuk menuliskan ini, karena setelah lulus dari SMU belum pernah sekalipun aku berkesempatan bertemu beliau. Pak Kasworo, guruku itu mungkin adalah orang pertama yang menghargai bakat menulisku. Beliau juga yang menyadarkanku bahwa aku memiliki talenta dalam bidang ini. Aku tau dan bisa merasakan dia menyayangiku, dan memberi perhatian khusus dengan bakat yang aku miliki ini. Beliau mendorongku untuk menulis pertama kalinya dengan mengikuti lomba menulis resensi buku. Aku masih ingat kalau tidak salah judul bukunya adalah “Ronggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari, sebuah karya sastra Indonesia. Aku tidak menang apapun dalam lomba itu, tapi aku merasa senang karena saat itulah untuk pertama kali aku bisa menyelesaikan sebuah tulisan, sementara begitu banyak coretan2 cerita pendekku yang tidak pernah selesai, yang kutulis semasa masih duduk di bangku SMP. Perhatian pak Kasworo tidak berhenti di situ, sampai aku bisa menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah sekolah, dan mulai menulis cerita-cerita pendek. Sayang penyakit kanker menggerogoti beliau hingga harus menghadap Sang Pencipta tahun lalu. Tak sempat aku menengoknya di kampung halamanku, padahal aku begitu ingin bertemu dan mengucapkan, “Terima kasih pak, lihatlah sampai sekarang saya masih tetap menulis, karena Bapak yang membuat saya menyadari betapa menyenangkannya menulis itu”. Hanya doa yang bisa aku panjatkan semoga beliau bisa tenang di sisi-Nya.
Orang-orang berikutnya yang melintas dalam ingatanku adalah orang-orang yang pernah mengisi hari-hariku semasa menjadi mahasiswi di Trisakti. Yang pertama adalah abang tukang buah di belakang terminal Grogol. Aku tidak tahu berapa usianya waktu itu, mungkin sekitar 20an lebih, belum terlalu tua sepertinya. Di awal-awal kuliah saat masih kost di belakang terminal, setiap hari kalau pergi ke kampus aku pasti melewatinya dan gerobak buah dagangannya. Dan saat kuliah, demi menjaga berat badanku, juga sekaligus irit dengan uang hidup yang pas-pas an selama jadi mahasiswi, abang tukang buah ini menjadi langgananku. Setiap hari membeli buah, buah yang sama, pepaya, nanas dan sedikit bengkoang, sampai-sampai aku sudah tidak perlu lagi menyebutkan pesananku, si abang sudah tau apa yang akan kubeli. Kalau diingat-ingat, kulit abang tukang buah itu hitam sekali karena mungkin setiap hari terbakar panasnya mentari ibukota. Saat sudah pindah kost, sesekali bila melewati terminal aku masih bisa menemuinya. Tapi sekarang entahlah, mungkin dia masih berjualan di situ, mungkin juga tidak. Si abang bukan tipe yang banyak bicara, tapi cukup ramah walau hanya senyum saja yang biasanya dia berikan tiap kali aku lewat dan menegurnya.
Berikutnya adalah pak Parto tukang es dung-dung yang berjualan seputar jalan Susilo. Bapak ini sudah cukup tua, mungkin sekitar 50an usianya waktu itu. Beliau mencari nafkah di ibukota sebagai tukang es keliling, meskipun demikian anak-anaknya bisa bersekolah di universitas negeri yg cukup bergengsi. Beda dengan si abang buah, pak Parto sangat hobby bercerita. Sambil melayani pesananku dia bisa cerita macam-macam. Aku sih senang-senang saja menanggapi ceritanya, kebanyakan beliau bercerita soal keluarganya, soal kehidupan dan seringkali terselip beberapa nasihat dalam setiap obrolan kami. Pak Parto selalu punya banyak waktu untuk cerita, karena untuk membuatkan pesananku butuh waktu yang lama dengan kondisi tangannya yang sudah gemetar, mungkin karena usia. Saat aku lulus dan sudah kerja, tapi masih kost di Grogol, aku masih sering melihat pak Parto jualan, tapi belakangan beliau sudah tidak kelihatan lagi, entahlah mungkin anak-anaknya sudah berhasil semua dan melarang bapaknya untuk jualan, walau dulu pun sudah pernah dilarang tapi memang pak Parto masih ingin jualan, atau karena memang kondisi usianya yang sudah tidak memungkinkan beliau untuk berjualan. Aku tidak pernah tahu lagi kabarnya.
Yang terakhir adalah si bapak tukang sapu jalanan, masih di seputar jalan Susilo, Grogol. Aku tidak ingat bagaimana awalnya, hanya yang kutahu setiap kali berpapasan dengan si bapak, aku yang selalu menyapanya, dan bak melihat pejabat yang lewat, si bapak otomatis akan berhenti menyapu, tersenyum ke arahku sambil mengangkat tangannya. Kami tidak pernah mengobrol, tapi selalu adegan itu yang terjadi tiap kali kami berpapasan. Aku menyapanya dengan senyuman dan memanggil “Pak…” Dan si Bapak akan berhenti menyapu, membalas senyumku sambil mengangkat tangan, dan sesekali berkata “Ya Non”, atau “Berangkat Non?”. Aku tidak tau usia si Bapak, sampai aku kerja si Bapak masih jadi tukang sapu jalanan. Dan sejak aku kerja, tiap lebaran aku pasti menyisihkan sedikit rejeki untuk si Bapak, tidak banyak mungkin, tapi aku tau buat si Bapak itu bisa jadi sangat berarti. Aku akan dengan sengaja mencari si Bapak, menelusuri jalan-jalan yang menjadi wilayah kerjanya. Selama beberapa tahun aku melakukannya, sampai aku sudah tidak kost lagi, seingatku ada sempat 1 kali aku dengan sengaja mencari si Bapak saat mendekati lebaran hanya untuk sekedar membagi kebahagiaan dan merasa bahagia juga tentunya dengan melihat wajah si bapak yang tersenyum sambil berkata “Alhamdullilah”. Sudah empat tahun ini aku tidak pernah lagi melihat si Bapak. Pertama karena aku memang sudah tidak tinggal di Grogol lagi, kedua mungkin memang si Bapak sudah tidak kerja lagi? Entahlah, aku sempat beberapa kali bertanya ke sepupuku yang masih kost di Grogol, apakah pernah melihat si Bapak tukang sapu ini? Tapi sepertinya sepupuku pun sudah tidak pernah melihatnya lagi.
Sehari sesudah Natal, aku mendapat sms dari pak Tikno, tukang ojek langgananku. Meskipun tidak merayakan Natal, tapi perhatiannya padaku cukup membuatku terharu. Pak Tikno pernah mengantarku pergi interview kerja di dua tempat kerjaku yang lama. Pernah juga mengantarku subuh-subuh ke stasiun Gambir saat akan perjalanan dinas kantor ke Cirebon, karena aku khawatir taxi akan susah menemukan tempat kost ku yang letaknya di gang sempit. Dengan teknologi, kami masih bisa berhubungan sampai saat ini, sudah sekitar 5 tahun dari mengenal pak Tikno pertama kali, karena diperkenalkan oleh teman kantorku, dan sejak itu jadi ojek langganan yang siap mengantarku ke mana saja. Aku sempat berpikir, satu hari nanti mungkin pak Tikno akan sama seperti guruku, si tukang buah, pak Parto ataupun si Bapak tukang sapu jalan. Hanya menjadi kenangan buatku…
Satu kali aku pernah “menerima” sebuah nasihat, melepaskan kepergian orang yang meninggal, seperti halnya pertemuan kita dengan orang-orang ini. Orang-orang yg sempat hadir di kehidupan kita untuk sesaat. Saat ini di manakah mereka? Kita tidak tahu. Baik-baik sajakah keadaannya? Kita pun tidak tahu. Begitu pula seharusnya kita melepaskan mereka yang sudah pergi meninggalkan kita. Hanya karena kita merasa mereka itu ‘milik’ kita, ayah kita, ibu kita, saudara kita, saat kehilangan kita merasa tidak rela. Anggap saja kepergian mereka seperti kita yang tidak lagi bertemu dengan orang-orang yg pernah hadir dalam hidup kita. Mereka masih ada (mungkin), di suatu tempat. Satu saat kita (mungkin) akan bertemu dengan mereka lagi. Jadi janganlah terlalu melekatinya dan bersedih saat kita ditinggal oleh mereka. Huft nasihat yang mungkin sulit dipahami ya, sakit kepala rasanya kalau harus memikirkannya. Dan sejujurnya sampai saat ini aku sendiri masih sulit untuk menerapkannya.
Dalam hidup kita seringkali menemui orang-orang yang meskipun hanya satu atau dua kali bertemu tapi masih berbekas dalam ingatan kita, karena mereka sudah memberikan kesan yang mendalam. Tapi ada juga orang-orang yang mungkin hanya lewat dalam kehidupan kita, yang sesekali saja namanya muncul dalam ingatan kita. Namun banyak juga orang yang walaupun pernah hadir cukup lama dalam hidup kita, tapi buat kita biasa saja sehingga tak ada ruang dalam memory kita untuk mengingatnya.
Masih banyak sederet nama yang sebenarnya melintas dalam ingatanku, termasuk mantan boss ku dulu pak H.K., karena tak sengaja kemarin membuka file chat kami yang lama. Meskipun kadangkala nyebelin, tapi aku tahu hatinya baik, meskipun seringkali dibuat sakit hati, tapi selalu bisa aku maafkan. Dan ternyata saat kubaca ulang obrolan kami saat aku sudah pindah kerja, dia cukup perhatian dan banyak menasihatiku juga. Tapi dasarnya aku yang sableng, gak pandang bulu, mau boss mau owner mau siapa pun, kalau menurutku salah, pasti akan aku ocehin. Heh kebiasaan buruk nih, entah buruk atau baik, mungkin tergantung porsinya, karena di satu sisi aku hanya merasa harus terus terang, dan terbuka, tapi mungkin gak semua orang akan suka.
Dan akhirnya, sekarang aku harus menutup edisi nostalgia ini, karena sudah cukup panjang, sangat panjang bahkan, kalau diteruskan akan jadi novel. Jadi sebaiknya diakhiri sampai di sini, dengan masih menyisakan sederet nama-nama lain di kepala, dan wajah-wajah mereka satu persatu yang muncul dalam ingatanku, dan tak sempat kutuliskan semua di sini. Aku hanya berharap di manapun mereka semua berada sekarang, mereka bisa berbahagia. Pernah bertemu berarti ‘berjodoh’, dan semoga kelak masih bisa ‘berjodoh’ lagi…
Jakarta, 4 January 2013
~Jen~
01.15 am
Next time kalo lo plg lampung,sempetin wkt buat nengok pak marsongko deh..sekalian nostalgia melihat rmh geribik tempat kita les matematika dulu..yang (sayangnya ato untungnya?) Masih tetap sama seperti dulu tp dengan kondisi yg menyedihkan hehe
Huahaha ci… thank you sudah mo mampir dan membaca tulisan gue yang kacau ini hihihi… Iya nih sangat sayang gak sempat ketemu pak Kasworo lagi. Pak Marsongko apa kabar ya? Gubuk tempat kita les dulu, kadang kangen juga hehehe… Udah 5 taonan kayaknya gak pulang Pringsewu, terlalu banyak kenangan yang bisa bikin nangis hahaha…