Apa yang terlintas dalam benakmu saat pertama kali mendengar kata “berubah“?
Sebagai seorang Buddhis kita kenal apa yang disebut ” Anicca” atau “tidak kekal” Karena segala sesuatu yang terkondisi tidak kekal, maka yang namanya perubahan tidak dapat kita hindari. Dari sehat menjadi sakit, dari muda menjadi tua, dari hidup menjadi mati, semua perubahan-perubahan ini secara nyata dapat kita lihat dalam hidup ini. Tetapi pernahkah kita sadari bahwa dari detik ke detik pun ada yang berubah? Kadangkala kita hanya sibuk memikirkan sesuatu yang jauh dari apa yang kita lakukan setiap hari, ya tidak salah memang, tapi apa tidak sebaiknya kita juga belajar dan mengamati apa yang kita alami sehari-hari? Karena kita masih menjalani kehidupan kita sebagai manusia biasa?
Kembali ke masalah perubahan, setiap orang bisa berubah, berubah dalam konteks kali ini mengacu pada perbuatan atau tingkah laku seseorang. Orang bisa berubah ke arah yang lebih baik, dan tentunya ini yang kita harapkan, tetapi bisa pula menjadi lebih buruk. Kita boleh saja kecewa atas perubahan yang terjada pada diri seseorang, tapi cobalah kita renungkan, bukankah rasa kecewa ini timbul karena adanya “ego” kita? Karena kita berharap orang itu tetap seperti yang kita mau? Padahal kalau mau jujur, kita harus bisa melihat bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang adalah sepenuhnya hak dia? Dan yang paling penting adalah perubahan ini, entah ke arah baik atau buruk, adalah pilihan yang sudah diambil oleh orang tersebut? Jadi kita sama sekali tidak berhak untuk merasa kecewa, karena segala resiko pun akan ditanggung yang bersangkutan.
Beberapa bulan lalu, saya dan teman kantor sedang membahas satu orang kantor yang kita anggap sudah berubah. Sebut saja namanya Pak X, ia orang yang cukup alim, gak macam-macam, taat menjalankan agamanya. Bahkan sempat dalam satu kesempatan Pak X ini mengutarakan keinginannya untuk kelak menjadi pemuka agamanya bila sudah pensiun nanti. Hm.. apa yang ada dalam bayangan anda tentang Pak X ini? Orang baik kan? Tapi tak lama berselang aku dan temanku melihat kenyataan yang berbeda. Kupikir bukan karena Pak X menyembunyikannya dariku atau dari temanku, tapi memang dia sudah berubah! Ini bisa kurasakan, karena sikap canggungnya kepadaku belakangan ini. Yah aku masih melihat dilema dalam dirinya. Memang semenjak dipindah ke departemen lain, dimana karakter orang-orang di sana berbeda jauh dari departemenku, tempat Pak X berada sebelumnya, sikap Pak X sedikit berubah, entah karena adaptasi, atau apapun itu, yang jelas dia sudah memilih untuk menjadi seperti itu! Awalnya aku sempat kecewa, bukan kecewa karena perubahannya, tapi kecewa karena ia berubah tidak menjadi lebih baik! Tapi setelah mencoba memahami berbagai alasan yang mungkin, akhirnya aku menyadari, dan kesadaran ini ternyata tidak ada kaitannya dengan seribu satu alasan tadi, tapi lebih pada perenungan bahwa benar kita tidak bisa lari dari yang namanya perubahan. Masing-masing orang bisa berubah sesuai apa yang sudah dipilih untuk hidupnya. Dan yang terpenting masing-masing orang juga menanggung sendiri akibat dari pilihan yang sudah ditentukannya.
Belum lama ini seorang sahabat mengeluhkan hal yang serupa, ia kecewa atas perubahan yang terjadi pada orang terdekatnya, lebih jauh lagi ia bahkan diminta untuk ikut berubah, dan ia tidak suka itu! Inilah kadangkala batas ’ego’ dan ’sayang’ itu begitu tipis. Dengan dalih rasa sayang dan alasan untuk kebaikan dirinya, seseorang diminta berubah, padahal kebaikan, kebenaran dan kebahagiaan itu berbeda-beda untuk setiap orang! Kita seringkali sok tahu dan dengan seenaknya memaksakan hal yang kita anggap baik, benar dan membahagiakan kepada orang lain. Di pihak lain, orang yang di minta berubah juga menyimpan ’ego’ nya sendiri, tidak suka diatur, tidak suka diubah, merasa itu bukan dirinya, lebih suka jadi dirinya sendiri apa adanya! Padahal kalau ia mau melihat ke dalam barang sebentar saja, mungkin saja sebenarnya ada sebagian kecil atau bahkan seluruhnya dari apa yang diminta ke dia itu sebenarnya bisa diterima!
Tidak usah bicara jauh ke orang lain, dari pengalaman saya pribadi, kadangkala saya suka merasa ada dualitas dalam diri saya. Dua sisi yang saling bertentangan, satu sisi saya yang lebih condong ke arah negatif dan sisi lain yang terus berusaha untuk menjadi baik. Pagi ini saya sampai pada kesimpulan, karena itulah dikatakan pada dasarnya setiap orang memiliki benih ke-Buddha-an, hanya saja memang kita masih tidak terlepas dari Lobha, Dosa dan Moha. Dan ini adalah pilihan masing-masing orang, untuk terus menumbuhkan benih ke-Buddha-an itu atau justru sebaliknya. Hal semacam ini tidak bisa kita paksakan ke orang lain dengan dalih apapun juga, karena kita tahu bahkan Buddha sendiri mengajarkan prinsip Ehipassiko. Ini bukan suatu alasan untuk pembenaran, tapi coba kita renungkan, sesuatu yang dipaksakan tidak akan dilaksanakan dengan sepenuh hati, lalu apa bisa kita mencapai tujuan kita? Rasanya akan sulit bukan?
Jadi buat saya, sebagai seorang sahabat seperjalanan, kita hanya bisa membantu mengarahkan, menunjukkan jalan, membukakan pikiran, tapi bukan memaksakan! Orang harus sadar dengan sendirinya untuk memutuskan perubahan bagi dirinya dalam usahanya menemukan kebenaran yang sejati.
Leave a Reply