Setelah lebih dari 3 tahun (mungkin malah lebih lagi?) tidak menginjakkan kaki di Wihara untuk melakukan puja bakti, akhirnya kemarin dengan niat dan tekad saya melakukannya.
Banyak sekali alasan mengapa saya tidak ke Wihara selama ini, mulai dari rasa malas, rasa bosan, hingga pembenaran diri yang menganggap kebaktian atau puja bakti hanyalah suatu ritual yang tidak harus dilakukan di Wihara bahkan sah-sah saja bila tidak dilakukan sama sekali! Karena berpikir demikian sampai-sampai, tahun lalu saat hari Waisak pun saya tidak ke Wihara.
Alasan saya yang mungkin jadi alasan kebanyakan orang untuk tidak pergi ke Wihara, pertama karena malas. Apapun dalihnya, entah karena jauh, tidak ada waktu, tidak ada kendaraan, sibuk, tetap saja ujungnya itu kemalasan. Kita punya waktu 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu, waktu yang kita habiskan di Wihara paling-paling hanya 4 -5 jam saja dan itu pun seminggu hanya sekali. Kalau kita memang niat, sejauh apapun bisa kita tempuh dengan kendaraan apapun juga. Kemarin saya mencoba membuang rasa malas ini, biasa hari Minggu saya bangun lebih siang, kemarin saya bangun pagi-pagi. Walaupun tidak ada kendaraan, dan saya masih belum tahu letak Wiharanya, tapi saya tetap memutuskan untuk pergi dengan naik ojek. Toh akhirnya saya sampai juga dan bisa ikut puja bakti dan mendengarkan ceramah Dhamma.
Alasan yang kedua, saya menganggap puja bakti hanya sekedar ritual saja. Sebenarnya dulu sekali saya tidak berpikir demikian, tetapi karena dalam perjalanan saya belajar Dhamma dan menangkapnya setengah-setengah, saya merasa toh puja bakti dalam Buddhis itu bukannya berdoa yang berarti sama dengan memohon/meminta. Selain itu saya melihat banyak orang rajin ke Wihara melakukan puja bakti tapi tetap saja melakukan keburukan, jadi buat apa puja bakti? Bagi saya seperti itu memperlihatkan kemunafikan, dan saya tidak suka! Makanya saya memilih tidak ke Wihara. Ditambah lagi Wihara tempat saya biasa pergi waktu kuliah dulu, semakin lama semakin dijejali dengan umat, hm.. harusnya bagus sih, tapi kok saya malah merasa tidak nyaman lagi ya? Karena saya hanya merasa kebanyakan mereka ke Wihara lebih kepada embel-embel yang lain, cari pacar lah, berorganisasi lah, mencari eksistensi diri, saya jadi merasa terganggu saja, saya berharap pergi ke Wihara untuk bisa dengan tenang mendengarkan Dhamma.
Alasan ketiga, saya tidak cocok dengan tradisi Wihara itu. Kenapa sih sudah tau penuh, jauh, masih juga maunya pergi ke situ, Wihara itu? Memangnya tidak ada yang lebih dekat? Sebenarnya ada sih, Wihara yang mungkin lebih dekat, tetapi, balik lagi alasan bahwa cara puja baktinya berbeda, suasananya beda, tradisinya beda! Lagi-lagi saya membuat alasan dan pembenaran untuk tidak pergi ke Wihara.
Alasan yang keempat, saya tidak suka penceramahnya kadang-kadang suka menjelek-jelekkan yang lain, entah agama yang lain, penceramah yang lain, bahkan tradisi yang lain yang notabene sebenarnya masih dalam satu ajaran Buddha juga! Heh.. capek saya kalo dengar penceramah yang kayak begini, walaupun mungkin hanya sebagian kecil saja, tapi lagi-lagi ini jadi alasan saya untuk tidak ke Wihara…
Cukup lama saya hidup dengan pembenaran-pembenaran diri, yang setelah saya renungi, semuanya itu karena adanya lobha, dosa dan moha yang masih meliputi saya. Lalu mulai satu persatu saya coba merenungi alasan-alasan itu dan sampai pada kesadaran yang membawa saya kembali ke Wihara.
Wihara, secara umum kita katakan tempat ibadah umat Buddha. Buat saya pergi ke Wihara adalah saat saya untuk sejenak lepas dari rutinitas harian saya. Saya datang ke hadapan Guru Agung Buddha untuk menyatakan (lagi) perlindungan saya pada Triratna, mendengarkan Dhamma, ajaran-Nya dan berkumpul di dalam kelompok Sangha dan menghormat pada Arya Sangha. Untuk yang pertama mungkin sebenarnya bisa saya lakukan di rumah, yang kedua mungkin bisa saya dapatkan dari membaca buku atau sumber lainnya, tapi yang ketiga? Wihara memang seharusnya menjadi tempat berkumpulnya teman seperjalanan yang sama-sama sedang belajar Dhamma. Dan saya menyadari rentetan kegiatan itu semua bukanlah sekedar ritual biasa.
Sewaktu saya melakukan puja bakti dan melafalkan paritta, seharusnya saya merenungi artinya bukan sekedar mengucapkannya di mulut saja. Saat mendengarkan penceramah membawakan ceramah Dhamma, terlepas dari apa yang disampaikannya, masalah benar atau salah adalah sepenuhnya harus lahir dari pemahaman saya sendiri (Ehipassiko). Dan menyikapi sikap orang-orang maupun penceramah yang kadangkala tidak sesuai dari apa yang diucapkan dan diperbuat, saya pikir pada dasarnya kita semua ini masih manusia, yang belum terbebas dari lobha, dosa dan moha tadi. Karena itulah, kadangkala kesalahan ataupun keburukan itu justru menjadi guru yang paling baik untuk saya belajar. Agar saya sendiri senantiasa diingatkan untuk tidak hanya bisa berbicara tapi juga bisa berlaku sesuai apa yang saya bicarakan.
Lalu masihkah saya harus pergi ke Wihara yang sesuai dengan tradisi yang cocok dengan saya? Masalah cocok tidak cocok, kalau kita masih merasa seperti itu pada Dhamma yang sesungguhnya adalah satu, berarti kita masih bermain dengan ’ego’ kita dan ’terikat’ pada rasa suka. Saya belajar untuk ’melepas’, apapun itu yang disebut tradisi, yang paling utama adalah saya tahu yang saya dapat di satu Wihara itu adalah Dhamma yang memang diajarkan oleh guru Buddha.
Yang terakhir, alasan saya kembali ke Wihara adalah untuk mengenalkan Ibu saya pada Dhamma, yang merupakan tanda bakti saya sebagai seorang anak. Hal yang tidak sempat saya lakukan ke almarhum Ayah saya, yang kalaupun ingin disesali sudah tidak berguna lagi, karena masa lalu sudah berlalu. Karena itulah saya tidak mau membuang kesempatan yang sekarang ada di depan saya.
Dari kesadaran yang timbul sebagai hasil perenungan diri saya, satu tekad sudah saya ucapkan…
WIHARA, I’m Back!
Leave a Reply