Feeds:
Posts
Comments

Archive for the ‘It’s Life’ Category

Ini tentang kemerdekaan, bukan tentang kemerdekaan Indonesia yang ingin saya tulis. Hari ini 17 Agustus adalah peringatan ke-65 kemerdekaan Indonesia, negeri tempat saya dilahirkan, tetapi bukan itu yang ingin saya tulis. Memang ini berawal dari moment kemerdekaan Indonesia, yang membuat saya menjadi ‘tersadarkan’ saat membaca status dan tulisan beberapa teman saya mengenai kemerdekaan ini.

Saya menemukan banyak di antara teman saya mengeluhkan makna ‘kemerdekaan’ yang menurut mereka masih dirasa belum lah merdeka, karena masih banyak bentuk lain ‘penjajahan’ di sana sini. Tetapi bukan itu pula yang ingin saya tulis di sini, melainkan apa yang akhirnya saya sadari hari ini, bertepatan dengan hari kemerdekaan bangsa ini.

Hari ini saya menyadari kalau kita semua yang masih hidup di muka bumi ini sesungguhnya belumlah merdeka, kita belumlah ‘bebas’. Kita semua masih merasakan ketidakpuasan, yah, ketidakpuasan karena adanya keserakahan, kebencian dan kebodohan yang masih meliputi kita. Kita masih berputar di dalam samsara, terlahir lagi dan lagi, berulangkali, terus dan terus masih harus menempuh perjalanan yang seolah tiada akhir ini… lalu bisakah kita dikatakan sudah merdeka dengan kondisi seperti ini? Di manakah letak kemerdekaan itu?

Masing-masing kita harus memperjuangkan kemerdekaan diri kita, sendiri. Karena yang seharusnya merdeka adalah diri kita masing-masing. Perjuangan ini tidaklah mudah, bukan pula bisa diraih dalam waktu yang singkat. Tetapi tiada yang tidak mungkin, asalkan ada tekad dan usaha yang tak kenal lelah, saat ini, nanti dan seterusnya, sampai kapanpun…

Jalan ini terlalu panjang,

tidak hanya berliku, tetapi seringkali pula berbatu…

Tubuh ini kadangkala terasa letih,

kejenuhan kerap kali menyapa,

tetapi masih langkah ini belum jua mencapai tujuannya,

sebuah kemerdekaan sejati…

Kemerdekaan, kebebasan, kapankah akan bisa kuraih?

Tak putus asa-ku,

tak kendor semangatku,

tak goyah tekadku,

suatu hari nanti, pasti aku kan menyapamu…

Jakarta, 17 Agustus 2010

~Jen~

dalam kesadaran atas ‘kemerdekaan’ yang belum diraih…

Read Full Post »

M-A-R-R-I-A-G-E atau P-E-R-N-I-K-A-H-A-N, satu kata yang rasanya bisa jadi hal  yang paling sensitif buat sebagian orang terutama para perempuan ataupun pria single seusia saya yang sudah berkepala tiga. Sejujurnya buat saya pribadi, kata ini gak berarti apa-apa, karena memang saya tidak pernah memikirkan hal ini dan tidak terlalu perduli dengan usia saya yang sudah kepala tiga. Buat saya hidup ini biarkanlah mengalir, menikah, tidak menikah, itu adalah pilihan masing-masing orang, dan yang namanya ‘jodoh’, pasangan hidup, tentulah erat hubungannya dengan ‘karma’ masing-masing orang, walau inipun masih bisa diusahakan, bukan merupakan harga mati, karena segala sesuatu buat saya tergantung dari diri kita sendiri, yang di luar kita: lingkungan, orang lain, hanya merupakan faktor pendukung terlaksananya saja.

Bicara soal pernikahan, buat perempuan yang sudah berkepala tiga seringkali dipenuhi kekhawatiran, mengapa sampai sekarang belum mendapat jodoh, ditambah jumlah populasi wanita yang lebih banyak daripada pria, pastinya mereka bertambah was-was, walaupun sejujurnya banyak juga pria di atas usia tiga puluh yang masih belum menikah, tapi mungkin kecemasan mereka tidak sebesar kecemasan para perempuan. Saya memahami hal ini, sangat memahami, tetapi kalau ditanya apakah saya termasuk salah satu dari perempuan-perempuan yang khawatir itu? Jawabnya dengan pasti, TIDAK, kenapa ‘tidak’? Banyak alasan, kenapa saya menjawab tidak, tapi ini adalah sebuah jawaban yang jujur. Saya tidak pernah khawatir di usia saya yang sudah kepala tiga ini saya belum menikah, bahkan berpacaran pun belum pernah. Rasanya aneh? Mungkin saja, karena sempat pula hal ini diutarakan oleh salah satu supplier kantor saya. “Aneh, mba belum pernah pacaran? Padahal kalau dilihat rasanya gak ada yang kurang, penampilan mba menarik dan cukup manis, enak pula diajak bicara dan cukup menyenangkan,” begitu kata perempuan tengah baya itu menilai saya yang baru satu kali itu bertemu dengannya dan berbicara selama kurang lebih 3 jam saja. Yah mungkin yang dibilang olehnya tidak sepenuhnya salah, walau juga tidak sepenuhnya benar, karena ‘penilaian’ itu sangat relatif. Tapi kembali lagi, untuk pacaran ataupun tidak pacaran itu adalah pilihan saya…

Saya jadi teringat, salah seorang teman pria saya sewaktu kuliah pernah bilang ke saya, para pria takut sama saya karena saya bisa melakukan segalanya sendiri. Mungkin yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah, saya memang terbiasa mandiri, saya tampak tidak butuh bantuan orang lain, termasuk untuk pekerjaan yang biasa dilakukan pria, selagi bisa saya usahakan sendiri pasti saya kerjakan sendiri. Mungkin karena hal ini, karena pria memiliki gengsi yang tinggi, jadi mereka cenderung lebih menyukai perempuan yang tampak ‘lemah’ dan butuh bantuan mereka, agar mereka terlihat sebagai ‘super hero’? Mungkin… kembali lagi, ini sebuah penilaian, dan sangat relatif…

Yang jadi masalah sebenarnya saya memang sempat terpikir kalau hidup seorang diri, tidak menikah, akan lebih bebas. Lingkungan tempat saya tinggal, banyak memperlihatkan kejadian pahit dari kehidupan berumah tangga, jadi kalau mau dikatakan mungkin memang ada sedikit ‘trauma’ di diri saya akan kehidupan perkawinan. Tetapi selain itu, saya sendiri pada dasarnya lebih suka menyendiri daripada harus bergaul dan berhubungan dengan banyak orang. Pertanyaannya pernahkah saya jatuh cinta? Saya masih perempuan normal, dan pernah melewati masa remaja dan tentunya juga pernah merasakan jatuh cinta walau mungkin bukan benar-benar ‘cinta’ karena sampai sekarang sejujurnya dari hati kecil saya yang paling dalam saya merasa belum menemukan apa yang disebut ‘cinta’ itu. Dan tak banyak kali saya jatuh cinta, karena saya memang bukan orang yang mudah jatuh cinta.

Kembali ke masalah M-A-R-R-I-A-G-E, mengapa saya menulis ini, karena belakangan ini agak risih saya mendengar pertanyaan ‘Kapan married?’ yang kerap ditanyakan oleh teman-teman dan orang-orang di sekeliling saya, padahal mami saya sendiri tidak pernah menanyakan hal ini. Tapi selain karena pertanyaan itu, ada satu kejadian yang membuat saya menulis tentang hal ini. Sebuah peristiwa, sebuah cerita yang disampaikan seorang yang mungkin tak perlu saya sebutkan namanya, yang tampak sebagai hal biasa saja, cerita yang sekedar untuk mencairkan suasana saat dalam perjalanan, tetapi buat saya ini bukan sekedar cerita biasa. ‘Tuhan’ selalu punya cara tersendiri untuk ‘memberitahu’ saya, ‘menasihati’ saya, melalui berbagai cara yang mendatangkan ‘pencerahan’ ataupun ‘teguran’ untuk saya.

Cerita ini tentang seorang perempuan, yang bekerja di luar negeri, karena masih muda dan menyukai bepergian, ia tidak pernah berpikir untuk menikah, berpacaran pun tidak. Dia sangat menikmati hidupnya yang bebas dan cukup bahagia menurutnya, bisa bepergian ke tempat-tempat yang indah setiap akhir minggunya, tanpa harus memikirkan banyak hal di rumah. Sampai ia kembali ke negaranya sendiri, melihat teman-temannya masih sama seperti dulu, sementara ia yang sudah melihat dunia luar, berharap teman-temannya dapat lebih maju sesuai ekspektasinya. Tak puas dengan apa yang ada, ia melanjutkan kuliah sambil bekerja, mengambil gelar master bahkan dari kelas yang paling sulit. Sehari-hari diisi dengan kesibukkan bekerja dan belajar, sampai saat kelulusan tiba semua rekan satu kuliahnya merayakan kelulusan dengan keluarga masing-masing dan tinggallah ia seorang diri. Semula ia mencoba merayakannya dengan mengajak teman satu apartment-nya makan, namun apa mau dikata si teman sudah janji menjenguk saudaranya yang sakit, tanpa tahu maksud di balik ajakan tersebut. Maka benar-benar tinggallah ia seorang diri, merayakan kelulusannya di apartemennya seorang diri. Saat itulah ia baru menyadari, apa yang sebenarnya ia cari selama ini? Apa gunanya yang ia lakukan selama ini? Dan ia menangis…. saat itu mungkin ia baru menyadari betapa ia sebenarnya kesepian. Dan di dalam isak tangisnya ia berdoa, seandainya memang ia harus menikah, sekiranya ‘Tuhan’ bisa membawa seorang pria ke hadapannya. Tapi ia sendiri menyadari bahwa ia tidak bisa hanya ‘menunggu’, ia tahu ia seharusnya banyak berteman dan mungkin pergi kencan.

Singkat cerita, suatu kali teman satu apartment-nya membawa teman-teman kantornya ke apartment mereka, dengan maksud mengenalkan ia dengan salah seorang dari mereka. Pria ini sudah berpacaran untuk waktu yang lama, dan beberapa kali sudah merencanakan untuk menikah, walau sayang akhirnya harus berakhir dengan perpisahan. Setelah pertemuan pertama itu, beberapa kali mereka pergi untuk sekedar menonton atau jalan bersama teman-teman lainnya. Belum lewat setengah tahun dari pertemuan mereka, perempuan ini harus kembali meninggalkan negaranya karena mendapatkan penempatan di luar negeri. Ia menyampaikan hal ini kepada si pria, dan pria itu bersikeras untuk mengantarkannya ke bandara. Saat hari keberangkatan tiba, itulah untuk pertama kalinya mereka hanya berdua saja, mengobrol banyak tentang keluarga dan hal-hal lainnya, tanpa saling berhadapan tentunya, sebab si pria sambil mengendarai mobil. Hubungan mereka yang terpisah jarak berlanjut melalui email dan sms, sampai ketika ia pulang ke negaranya untuk liburan, si pria berkata padanya bahwa dirinya ingin agar si perempuan menjadi ibu dari anak-anaknya. Saat itu si perempuan sudah berumur tiga puluh empat tahun dan ia hanya merasa bahwa doa nya sudah terjawab, seorang pria telah hadir di hadapannya, dan ia akan menjalani sebuah kehidupan pernikahan. Seperti yang sudah bisa ditebak, cerita berakhir dengan happy ending.

Mendengar cerita ini, saya jadi teringat, dulu saat kuliah, seorang sahabat pernah menasihati saya agar saya mencari pacar dan membuka diri. ”Sekarang mungkin kamu masih bisa tertawa-tawa karena masih banyak teman di sekeliling kamu, tapi nanti sepuluh tahun ke depan, kamu baru akan merasakan, semua teman-temanmu sudah berkeluarga dan kamu tertinggal sendiri,” begitu nasihatnya kepada saya. Waktu itu saya hanya tertawa, tidak salah walau tidak sepenuhnya benar, karena kembali lagi hal ini relatif tergantung siapa yang mengalaminya.

Tetapi saat ini, setelah cerita perempuan itu, saya menyadari ada sebuah hikmah yang harus saya petik, ‘Dia’ berbicara kepada saya melalui cara-Nya. Jadi sekarang bila ditanya sebenarnya apa pilihan saya, menikah ataukah tidak? Jawabnya….?

~ o ~

Saya selalu membayangkan akan ada tiga orang anak dalam kehidupan saya, seorang perempuan dan dua orang anak laki-laki kembar…

Semoga memang demikian adanya…

~ o ~

With or without you, my life still goes on…

With or without you, I have to go through this journey…

With or without you, I’ll chase my dream…

But…with you, my life will be complete…

In my faith I believe that one day I’ll find you…

In my faith I believe that one day you’ll find me…

And together we’ll share the joy and sorrow…

I’ll share my dream with you and so do you…

Together we go through this journey, as we did before,

a very long time ago…

It’s only about time, as you and I will fight for it…

It’s only about time…

Jakarta, 5 Juni 2010 ~ 12:08 am

~Jen~

Read Full Post »

Udah lama banget gue gak nulis… banyak banget yang pengen gue tulis tapi entah kenapa rasanya selalu ada yang melarang gue melakukannya karena ‘belum saatnya’… Tapi hari ini pengen banget gue nulis, karena kembali lagi gue susah ngomong, hehehe… so funny, some of my friends may say that I’m ’bawel’ enough, but to tell you the truth, this is the true J-e-n-n-i-f-e-r, a 30 years old woman who is chasing her dream…

Kali ini gue pengen nulis, soal diri gue, gak banyak yang tau gue sedalam-dalamnya, mungkin termasuk nyokap gue tercinta, apalagi almarhum bokap yang bahkan nama bener gue aja doi lupa…hihihi sorry ya pi, dibawa-bawa, abis tadi pagi mimpi papi sih. Benernya gue nulis kali ini karena gue lagi ngerasa sedih, gue sedih karena apa? Kadang gue juga gak tau sebabnya, terlalu banyak yang gue pikirin sampe capek betul rasanya gue, tapi ya itulah gue… aduh untung aja lagi kagak ada bos di kantor, n gue duduk di pojokan, dari tadi gue udah nangis dan lucu nya gue gak tau gue nangis kenapa, ya pengen nangis aja rasanya, atau mungkin karena denger lagu mandarin dengan irama dan arti yang sedih ya? Hm… emang dasarnya gue cengeng sih…

Jennifer itu rada sombong, gitu kata nyokap tentang gue hanya karena gue jarang banget bisa negur orang duluan. Yah…mungkin ya mi, tapi mami tau gak kalau gue tersiksa banget saat berhadapan dengan orang baru, di otak dan hati gue ini dah banyak kata-kata pengen gue keluarin buat sekedar say hi ataupun yang lainnya, tapi sayangnya semua cuma sampe di kerongkongan dan kagak berhasil buat pita suara gue bergetar dan mulut gue terbuka sehingga keluar kata sapaan dari bibir gue… dan gue gak suka ini, jujur gue gak suka, karena rasanya tersiksa banget… tapi entah kenapa selalu jadinya begitu… Dan karena itu pula gue jadi suka nulis, karena tangan gue jauh lebih cekatan daripada mulut gue…

Tapi gue menyadari kelemahan gue satu ini bisa menghambat gue, mungkin gue jadi melewatkan banyak kesempatan, bahkan hanya untuk sekedar mendapat seorang teman baru. Karena itu pula gak banyak orang-orang yang gue anggap teman, sekalipun mungkin kalo loe liat di facebook ‘friend’ gue sampe 500an, tapi sejujurnya gak semua ‘teman’ buat gue… sebagian mungkin hanya sekedar kenal, sebagian karena sesama satu sekolah, satu kampung, satu kantor, dan banyak alasan lainnya. Kadangkala gue merasa gue ini orang yang complicated, berpikir terlalu ribet dan gak mudah dimengerti. Karena ini gue jadi mikir gue orang yang ‘aneh’ dan ‘beda’ dari temen-temen gue yang lain. Walau akhirnya gue menyadari ini semua kadangkala ‘persepsi’ gue sendiri, tapi kebiasaan yang sudah berlangsung dari gue kecil ini sudah membentuk karakter gue…

Benernya gue gak tau mo ngomong apa lagi, gue lagi gak konsen banget, bahkan untuk menulis ini pun rasanya bahasa gue udah berantakan banget, tapi gue cuma pengen nulis… ada yang bikin gue lagi sedih, mungkin karena dalam waktu dekat ini ada orang-orang yang mungkin bisa gue bilang teman yang akan pergi jauh dan belum tentu bisa gue temuin lagi. Pertemuan ataupun perpisahan, gue yakini merupakan ‘jodoh’, seperti yang pernah gue tulis, mungkin gue akan tampak berlebihan, karena toh orang-orang itu pun sebenarnya tidak terlalu dekat dengan gue. Tapi buat gue kehadiran mereka punya arti tersendiri. Mungkin karena gue gak gampang berteman tadi, jadi kehilangan yang ada di depan mata membuat gue cukup bersedih.

Rasanya ini efek gak tidur semalaman, kebiasaan gue yang entah kenapa hanya bisa tidur 2 – 3 jam aja, tidur jam 10 semalam bikin gue terbangun jam 12 tengah malam dan gak bisa tidur lagi sampai jam 5 pagi. Gue gak ngerasa ngantuk sama sekali, mungkin karena terlalu lelah, atau otak gue banyak pikiran yang gak gue sadarin, seringkali gue begini. Mencoba tidur jam 5 pagi, malah bikin gue mimpi aneh-aneh, mulai mimpi bokap, tapi sejujurnya gue seneng, dah lama banget gak mimpi ketemu bokap, apalagi di mimpi bokap senyum, setidaknya gue tau dia baek-baek aja, sampe ngigau teriak-teriak manggil nyokap, dan paling parah mimpi dikejar-kejar, sampe capek gue… Kurang tidur, capek badan dan pikiran bikin gue ngoceh gak jelas gini, tapi sekali lagi gue cuma pengen ngoceh aja, biar lega ati gue, karena kalau gue diemin ini semua kata-kata akan muter-muter lagi di otak gue bikin tambah penuh isi otak gue.

Ampir jam 3, ini gue tulis dari pagi, sempet berhenti makan siang, nyambung nulis lagi… gila gak efektif banget kerja gue hari ini… dengan otak lagi begini emang gak bisa dipake mikir, lebih baik emang gue keluarin semua dulu isinya sampe cukup space nya buat isi hal-hal yang penting dan berguna karena emang memory gue terbatas… tarik napas dalam-dalam, 1…2…3… hembuskan, biar hilang semua hal-hal yang gak penting ini… masih banyak yang harus gue kerjain, hal penting di depan mata, impian gue yang masih harus gue perjuangkan… gue gak boleh menyerah dan bermalas-malasan… semoga segala penat ini segera berlalu…

Jakarta, 1 Juni 2010

~Jen~

Read Full Post »

shame

Kemaren sore gue pergi ke dokter gigi, seperti biasa benerin gigi gue yang emang dah ancur-ancuran. Pulangnya rada malem juga, karena cukup lama prosesnya harus bongkar crown gigi gue yang lama dan akan diganti yang baru. Hampir jam 8 gue baru selesai, dan gue orang terakhir di klinik itu. Untungnya kost gue gak jauh dari klinik gigi nya, so biar malem gue gak terlau masalah. Karena dah malem gue pikir ya naek taxi aja deh kali, tapi waktu gue keluar gerbang, ada ibu-ibu separuh baya yang nawarin ojek? Hm.. boleh juga neh naek ojek bakal lebih cepet gue pikir. Ya alhasil gue putusin naek ojek, waktu gue tanya berapa ongkosnya langsung dibilang lima belas ribu, karena biasa bawaan nawar, gue tawar deh tuh, tapi dengan sopan tuh ibu bilang, wah dah murah ini gak dimahalin, biasa juga dua puluh ribu. Okelah gue gak mo memperlama waktu karena dah malem juga. Sempat gue denger si ibu nawarin ke rekan ojeknya yang cowok, mau narik atau nggak? Tapi ditolak oleh rekannya, sehingga akhirnya gue tetep naek ojek si ibu.

Sepanjang perjalanan dari klinik sampai kost, ibu ojek itu banyak cerita. Benernya gue gak bisa terlalu denger apa yang dia ceritakan karena tentunya dia ngomong sambil ngadep depan ditambah pula suara angin, jadi hanya sebagian-sebagian yang gue denger. Awalnya dia cerita bagaimana rekan ojek nya yang tadi ditawari narik itu sudah punya istri cantik tapi masih juga nyeleweng, padahal perempuan selewengannya itu sama sekali kagak cantik dan gak sebanding sama istrinya. Dia cerita juga bagaimana kadangkala temannya sesama tukang ojek seringkali mengumpat dan marah-marah karena tidak ada sewa dan biasanya si ibu selalu nawarin dulu ke rekan ojek yang lain kalau ada sewa, karena prinsipnya rejeki gak lari ke mana, Tuhan sudah mengatur. Sampai terakhir dia ada cerita seringkali dia ngantar orang sampai jam 1 pagi ke arah Pondok Indah, pernah juga ke Kelapa Gading, dan paling sedih kalau kena ranjau paku, habis sudah duit hasil ojek untuk ganti ban. Polisi-polisi di sekitar tempat dia mangkal biasa sudah kenal sama dia.

Gak kerasa sepanjang jalan gue dengerin ceritanya, tau-tau sudah sampe juga di kost. Gue buka dompet, yang terlihat duit dua puluh ribu, tanpa pikir panjang gue kasih aja ke si ibu, gue seneng karena dia orang yang ramah, jadi buat gue gak masalah kasih dia lebih, lagian kayaknya emang masih pantas ongkos segitu. Dan yang cukup buat gue surprised, si ibu yang mendapat duit lebih dari gue itu gak cuma ucapin terima kasih, sambil nepuk tangan gue, dia bilang ‘makasih ya de, ibu doain biar sukses’. Gue cuma bisa bales ‘sama-sama bu, kali aja besok-besok saya ke klinik situ lagi, saya butuh diantar ibu lagi’.

Setelah itu otak gue jadi mikir, hampir seminggu ini mood gue lagi jelek banget, hanya karena harus ngadepin bos di kantor yang cerewetnya minta ampun, tapi kalau dipikir-pikir gak sebanding banget apa yang gue alami sama yang si ibu harus hadapin tiap hari. Dia gak muda lagi, gue bisa liat dari penampilan dan uban yang menghiasi rambutnya, tapi semangatnya untuk bekerja dan berjuang dalam hidup ini bisa gue rasain dan itu jauh lebih dibandingkan apa yang gue miliki. Seorang perempuan dalam usianya yang tidak muda lagi, harus berprofesi jadi tukang ojek dan seringkali membawa penumpang hingga tengah malam bahkan pagi, tetapi masih bisa melakoninya dengan penuh semangat dan senyuman. Gile gue bener-bener merasa ditampar… gue duduk di kursi yang nyaman, di depan laptop, dalam ruangan ber-AC, dengan kerjaan yang tidak terlalu berat tapi gue masih mengeluh hanya karena harus dengerin bos gue yang ngoceh-ngoceh?? Ow ow ow gue malu banget… kenapa rasanya kok gue jadi gak mensyukuri apa yang gue dapet, kenapa rasanya gue jadi gak punya semangat untuk berjuang? Gue tau, ‘Tuhan’ selalu punya cara untuk ‘menegur’, ‘mengingatkan’ atau bahkan sekedar untuk ‘menyadarkan’ gue. Hari ini gue dipertemukan dengan ‘malaikat’ yang hebat, wanita yang tidak hanya punya semangat juang tinggi tetapi juga kebaikan hati, gue bisa merasakan itu.

Gue nulis ini untuk mengingatkan diri gue dan untuk penghargaan ke si ibu ojek itu. Gue mo bilang terima kasih sekali lagi, bukan untuk doa nya ke gue biar gue sukses, tapi lebih dari itu, terima kasih untuk mengingatkan gue untuk mensyukuri apa yang sudah gue dapatkan di hidup gue ini, dan untuk terus memiliki semangat dalam menjalani kehidupan gue sesulit apapun itu.

“Terima kasih ya bu atas pelajaran yang saya dapat dari ibu. Saya sama sekali gak ada apa-apanya dibanding ibu, semoga ibu bisa selalu berbahagia, serta tetap memiliki semangat dan kebaikan hati di dalam menjalani kehidupan ini…”

Jakarta, 29 Oktober 2009

~Jen~

Read Full Post »

Baik vs Bodoh

104676-bigthumbnail

Banyak yang bilang, orang baik itu hampir tidak ada bedanya dengan orang bodoh. Entahlah sampai sekarang aku masih belum berani untuk menilai apakah statement itu benar atau salah, karena bagiku segala sesuatu itu sangatlah relatif, tergantung dari situasi, kondisi, tempat, waktu dan banyak hal lainnya. Menjadi orang baik itu tidak mudah menurutku, tapi jadi orang bodoh jauh lebih mudah dan lebih sering kita lakukan. Kadangkala aku berpikir apa sih yang sering membuat orang beranggapan kalau orang baik itu cenderung bodoh? Mungkin karena kebaikan seseorang, seringkali ia jadi dimanfaatkan, dan karena itu orang menilainya bodoh? Entahlah, kembali menurutku semuanya itu relatif.

Aku sendiri bukan seorang malaikat yang baik hati, tetapi dalam hidup ini aku berusaha untuk menjadi orang baik. Aku menyadari dan mengalaminya sendiri, kadangkala kebaikanku memang seringkali dimanfaatkan oleh orang lain. Cukuplah aku sendiri yang tahu akan hal itu, dan memang sudah menjadi pilihanku untuk tetap melakukannya, sehingga aku bukannya bodoh, tetapi karena memang aku ingin berbuat baik saja. Sebab bagiku berbuat baik bukanlah karena aku ingin mendapatkan pujian, bukan karena itu… melainkan karena aku tahu disakiti itu tidak menyenangkan, karena aku tahu dibohongi itu mengesalkan, dan karena aku tahu menjadi orang baik itu adalah sebuah latihan buatku…

Masalah menjadi orang baik ini, aku rasa semua agama mengajarkannya. Kalau diteliti lebih jauh, banyak kisah orang suci yang berbuat baik, saking baiknya malah, sampai-sampai jadi dinilai bodoh, karena tak jarang mereka mengorbankan dirinya sendiri demi kepentingan orang ataupun makhluk lain yang bukan siapa-siapa mereka, dan bahkan sebaliknya yang sudah menyakiti mereka. Tetapi aku menyadarinya, bagi mereka yang melakukan kebaikan sedemikian rupa, adalah karena rasa cinta kasih yang begitu besar, sebuah pengorbanan yang tidak dapat dinilai dengan apapun juga, yang bagi mereka apa yang dilakukan bukanlah apa-apa, hanya merupakan sebuah bentuk latihan untuk penyempurnaan diri.

Dalam kehidupan di dunia saat ini, sulit sekali menemukan orang-orang seperti itu, karena hidup kadangkala menuntut manusia untuk bersikap egois, yang seringkali pun sebenarnya hal ini hanyalah dalih dan pembenaran semata. Bagi manusia yang masih menggenggam erat ‘aku’, cenderung untuk mendahulukan kepentingan ‘aku’ dibanding memiliki rasa belas kasihan ke orang lain, ataupun hanya sekedar untuk memikirkan kepentingan orang banyak.

Tetapi memang kita juga tidak bisa menuntut orang-orang untuk menjadi baik hingga rela berkorban sampai sedemikian rupa, karena segala tindakan itu seharusnya dilandasi dengan kebijaksanaan. Dan sebenarnya semua itu balik lagi ke yang namanya pilihan. Menjadi orang baik itu sebuah pilihan, sementara menjadi orang bodoh itu lebih karena nasib dan keadaan. Kebanyakan orang mengira si baik hati ini bodoh sekali, tetapi sebenarnya seringkali itu memang pilihannya untuk menjadi baik hati, dilandasi oleh kesadaran, cinta kasih dan ketulusan, sehingga sesungguhnya kita tidak bisa mencapnya sebagai orang yang bodoh, walau bagi orang yang melihat hanya ‘luar’ nya saja akan menganggap demikian.

Orang bodoh sendiri kalau menurutku adalah mereka yang memang sesungguhnya tidak memahami dan mengetahui apa yang mereka lakukan. Mereka hanya ikut di dalam arus tanpa tahu untuk apa, untuk siapa, dan mengapa. Mereka tidak tahu  tujuan mereka, dan hanya ‘mengikuti’ maunya orang lain.

Ternyata memang benar sekali kata pepatah, dalamnya laut bisa diduga, tapi hati orang siapa yang tahu? Kita tidak pernah tahu maksud dan pemikiran orang lain, begitu banyak orang munafik di dunia ini. Banyak yang tampak baik di luar tetapi tidak demikian sesungguhnya, sementara yang lainnya tampak begitu bodoh tetapi sesungguhnya mereka hanya berusaha menjadi orang baik. Ya semua adalah pilihan masing-masing orang, dan kita seharusnya menghargai itu. Semua orang punya tujuan dalam hidupnya yang ditempuh dengan caranya masing-masing. Cara-cara yang kadangkala mungkin ‘membodohi’ orang lain, cara-cara yang kadangkala merugikan dan menyakiti orang lain. Tetapi kembali lagi semua itu sangat relatif, baik-buruk, jahat-baik, bodoh-pintar, tergantung sudut pandang yang menilai. Apapun itu, biarlah setiap orang bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat…

Jadi, apakah orang baik itu bodoh? Anda tidak akan pernah tahu…

Jakarta, 28 Oktober 2009

~Jen~

Read Full Post »

Papi, apa kabar?

Tidak terasa 7 tahun sudah berlalu sejak hari itu, hari dimana papi harus pergi meninggalkan kehidupan ini, meninggalkan mami, koko, Jen dan King-king. Rasanya masih seperti kemarin, masih terbayang jelas di ingatan Jen saat harus melepas kepergian papi. Selama hampir 5 hari menahan air mata, betapa beratnya untuk Jen, yang paling tidak tahan dengan perpisahan, tapi karena tidak mau memberatkan papi, Jen menahan air mata itu supaya tidak jatuh. Sampai akhirnya, saat aba-aba untuk menekan tombol oven kremasi diucapkan, tumpah juga segala kesedihan itu… isakan tangis tanpa air mata, yang baru sekali seumur hidup Jen alami… ternyata istilah air mata buaya itu tidak salah juga, karena kesedihan yang sesungguhnya itu membuat kita bahkan tidak mampu untuk menitikkan air mata…

Papi, Jen gak mau cerita yang sedih-sedih lagi sama papi, semua kesedihan sudah seharusnya berlalu. Surat yang Jen tulis ini, sebagai pengganti cerita yang ingin Jen sampaikan ke papi, seperti dulu saat kita sering ngobrol di toko, tentang banyak hal. Jen merindukan hari-hari itu, karena buat Jen, papi adalah teman bicara yang menyenangkan. Jen yang termasuk sulit bila harus bicara dengan orang, sama seperti papi tentunya, tapi kalau kita sudah bicara, rasanya menyenangkan sekali, apalagi  saat kita membahas soal marketing. Dan taukah papi, sekarang Jen menekuni pekerjaan itu, pekerjaan marketing.

Papi, sebenarnya banyak yang ingin Jen ceritakan ke papi, soal pekerjaan Jen, Koko, dan King-king tentunya, juga soal mami, tapi rasanya semua itu tidak akan habis ditulis. Yang pasti Jen hanya mau bilang ke papi, kita semua di sini baik-baik saja, tidak ada yang perlu papi khawatirkan. Pada kesempatan ini Jen cuma mau bilang ke papi:

“Terima kasih papi sudah menjadi seorang suami yang baik untuk mami.”

“Terima kasih papi sudah menjadi seorang ayah yang baik untuk Koko, Jen dan King-king.”

“Terima kasih papi sudah membekali kita, anak-anak papi dengan harta yang tidak akan pernah habis, yaitu ilmu pengetahuan.”

“Terima kasih papi sudah mengajarkan Jen kesabaran yang tiada habisnya, belas kasih yang tanpa pamrih, serta mengajari Jen untuk mencintai orang yang tidak sempurna secara sempurna… dan semua pelajaran itu telah papi contohkan dengan melakukannya sendiri…”

Papi, rasanya tidak cukup menuliskan semua kebaikkan papi di sini, dan segala ucapan terima kasih ini tidak akan bisa membalasnya.

Papi, kesempatan kali ini juga mau Jen gunakan untuk meminta maaf  sama papi:

“Maaf karena selama hidup papi mungkin seringkali Jen membuat papi kecewa, entah karena tidak bisa mendapat nilai yang bagus di sekolah, tidak bisa menjadi juara kelas, ataupun karena hal lainnya. Maaf pi, mungkin Jen bukannya tidak mampu, tetapi Jen memang kurang berusaha hingga akhirnya membuat papi kecewa…”

“Maaf karena sebagai anak Jen belum bisa membalas budi atas semua kebaikan yang sudah papi berikan sebagai orang tua. Jen belum bisa membahagiakan papi semasa papi hidup. Taukah papi entah kapan mulainya Jen selalu merasa takut ditinggal papi, selalu di dalam hati Jen merasa papi akan pergi meninggalkan Jen, karena itu di dalam setiap doa Jen selalu meminta ‘waktu’ dan ‘kesempatan’ agar bisa membalas budi papi dan mami serta membahagiakan kalian berdua. Tetapi rupanya permintaan sederhana itupun tidak dikabulkan pi… Jen gak menyalahkan siapapun, tetapi Jen hanya ingin papi tau kalau selalu dalam hati ini Jen berdoa untuk kebahagiaan papi, dimanapun papi berada…”

Papi, Jen gak tau sekarang papi ada di mana… banyak teori tentang kehidupan setelah kematian, apapun itu tetap menjadi misteri bagi yang masih hidup dan belum mengalaminya. Ada yang bilang pilihannya hanya dua, surga dan neraka, orang baik masuk surga, orang jahat masuk neraka. Papi orang baik, Jen percaya kalau pilihannya hanya dua, papi akan ada di surga. Tetapi lain lagi kalau pilihannya bukan hanya dua. Lain lagi ceritanya kalau suatu hari nanti kita diberi kesempatan untuk kembali berjodoh sebagai orang tua dan anak, seperti yang mungkin dulu pun pernah terjadi.

Apapun itu, Jen hanya ingin hidup saat ini, dimanapun papi berada saat ini, semoga papi selalu berbahagia, semoga papi tidak mengkhawatirkan kita semua yang masih hidup. Mami, Koko, Jen, dan King-king semua baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan pi, cekcok kecil hal biasa dalam hidup, semua pasti bisa kita lalui dengan baik. Hiduplah dengan tenang, hiduplah dengan senang, Jen ingin melihat papi selalu berbahagia sampai kapanpun, di manapun, dalam wujud apapun, Jen hanya ingin melihat papi selalu tersenyum…

Papi sudah dulu ya, Jen harus tetap menjalani kehidupan ini, dan menikmatinya apapun yang terjadi, menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Jen berusaha untuk selalu berbahagia, karena kita tidak pernah tau kapan saatnya hidup kita berakhir, seperti papi yang begitu cepat meninggalkan kita…

Doa Jen selalu, semoga papi selalu sehat, semoga papi terbebas dari penderitaan, semoga papi selalu berbahagia… Sadhu, sadhu, sadhu…

Jakarta, 25 Oktober 2009

~Jen~

Family

PS. Harusnya surat ini Jen tulis kemarin pi, tapi semalem mati lampu di rumah 🙂

Oh ya papi belum lihat foto keluarga kita kan? Banyak yang bilang foto ini bagus, dan di sini semua bilang muka Jen kayak papi… 😀

Read Full Post »

missing_you-1809
Dari dulu gue benci yang namanya ‘perpisahan’, entah karena gue yang terlalu sentimentil ataukah ini karena masalah ‘keterikatan’ gue yang terlalu kuat. Bentar lagi gue bakal menghadapi yang namanya ‘perpisahan’, pisah dengan teman-teman kantor gue yang sekarang, pisah dengan suasana kerja yang sekarang, pisah dengan produk yang gue pegang sekarang, pokoknya pisah dengan apa yang sudah gue jalani hampir 3 tahun ini karena gue akan pindah kerja.

Dari dulu yang namanya ‘perpisahan’ pasti selalu buat gue menangis. Gue orang yang keras, dan beratnya hidup jarang buat gue nangis, hanya satu hal yang dapat dipastikan buat gue nangis yaitu ‘perpisahan’. Sebelum ini dah 3 kali gue pindah kerja, dan last day di kantor selalu gue isi dengan air mata. I hate being weak! Tapi gue gak bisa juga menyetop air mata ini keluar karena sedihnya ‘perpisahan’ yang harus gue rasakan.

Bicara perpisahan gak lepas dari yang namanya kematian, karena kematian adalah sebuah ‘perpisahan’ untuk selama-lamanya. Mendekati hari-hari terakhir di kantor, ditambah lagi sekarang ini bulan Oktober, membuat gue jadi sedih. Bulan Oktober selalu membuat gue sedih, karena di bulan ini, tujuh tahun yang lalu, gue harus mengalami yang namanya ‘perpisahan’ untuk selama-lamanya. Perpisahan gue dari orang yang paling gue sayangin, papi gue. Sebuah perpisahan terberat yang harus gue alami dalam hidup gue, yang sampai sekarang masih belum bisa gue ‘lepaskan’. There’s a missing puzzle in my heart and it has made me feel not complete…

Semua yang namanya teori akan ‘perpisahan’ sudah gue ketahui, kalau ditanya sudah paham atau belom? Mungkin baru setengah, karena memahami seharusnya bisa mempraktekkannya, tapi gue sama sekali belum bisa mempraktekkannya. Gue hanya memahami sebatas teori. Gue tau kalau gak ada yang abadi, gue tau kalau semua ini hanya sementara, gue tau kalau masa lalu tidak seharusnya terus digenggam, gue tau kalau kita tidak seharusnya ‘terikat’, but all seems bull shit when you can’t do it! Memang bicara itu mudah, tetapi melakukannya itu yang sulit. Apa gue gak pernah berusaha melakukannya? I’m trying but still can’t overcome it…

Memang benar, berpisah dengan orang yang dicintai itu ketidakpuasan… and I’m just like the other human, masih diliputi yang namanya nafsu keinginan, karena masih ada ‘aku’, karena ‘aku’ tidak ingin kehilangan ‘milikku’…

Gue benci perpisahan, karena perpisahan selalu membuat gue menangis dan air mata membuat gue terlihat lemah. Gue benci perpisahan, tapi gue harus menghadapinya, dan melawan pun percuma, jadi ya dinikmati saja segala kesedihan yang ada, hingga tiada lagi rasa…

Jakarta, 13 Oktober 2009

~Jen~

Read Full Post »

j0433335

“Life is so unpredictable”. Entah sejak kapan kata-kata ini jadi salah satu ‘quote’ favoriteku. Mungkin sejak aku menyadari bahwa hidup yang aku jalani seringkali memberi kejutan-kejutan. Hidup itu memang sulit ditebak, yang akan terjadi nanti, tidak ada seorangpun yang tahu. Kalau memang mau dipikir, siapa sih yang bisa meramalkan masa depan kita secara tepat? Hidup itu pilihan, masa depan tergantung pilihan yang kita ambil. Tetapi kembali lagi hidup itu susah diprediksi, ada hal-hal di luar apa yang kita rencanakan yang tiba-tiba bisa muncul di hadapan kita memberikan sebuah kejutan.

Aku percaya, setiap orang punya impian, mungkin lebih dari satu impian malah. Masing-masing orang tentunya punya caranya sendiri dalam mewujudkan impian-impian mereka. Ada yang dengan sangat rapi telah menyusun langkah untuk mencapai impiannya dan mengusahakannya dengan keras. Ada yang setengah-setengah berusaha karena masih ragu-ragu dengan impiannya sendiri, serta ada pula yang membiarkan impiannya mengalir seiring perjalanan hidupnya.

Aku sendiri punya impian dan pernah menjadi sangat ngotot dalam mengejar impianku, tapi hidup kadangkala tidak seperti yang kita bayangkan, sebaik apapun perencanaan kita, seringkali kenyataan yang kita terima berbeda dari apa yang kita inginkan. Pada akhirnya kita menjadi lelah, sebagian orang mungkin kecewa bila sudah berada dalam kondisi ini, lalu menjadi mempersalahkan hidup, mempersalahkan ‘Tuhan’ karena tidak memberikan apa yang sudah diusahakan dengan sungguh-sungguh. Kalau aku, entah karena keteguhan hati yang masih kurang, ataukah karena aku merasa harus realistis dalam menjalani hidup ini, yang pada akhirnya membuatku membiarkan impianku mengalir seiring perjalanan hidupku. Aku belajar bahwa tidak semua impian kita bisa terwujudkan, tapi bukan berarti kita jadi membuang impian kita.

Bekerja di perusahaan consumer goods, apalagi perusahaan multinational adalah  salah satu impianku sejak aku menginjak dunia kerja. Aku tidak tahu mengapa, tetapi mungkin ini salah satunya dikarenakan sejak kecil aku sudah berkecimpung dalam dunia marketing secara tidak langsung. Sejak kecil aku selalu membantu papi di toko kelontong yang kami miliki. Karena aku suka belajar, aku seringkali mengamati hal-hal kecil dari proses jual beli di tokoku. Dan seringkali pula aku bertanya pada papi, atau sebaliknya tanpa ditanya papi juga sering berbagi ilmu dagangnya padaku. Mungkin ini yang membuat ketertarikanku pada dunia marketing? Entahlah…. Tetapi sayangnya dalam perjalanan karirku, aku tidak pernah bisa mewujudkan cita-citaku ini sekalipun aku pernah melakukan satu langkah mundur. Yah, aku harus realistis, tidak bisa semauku sendiri mengikuti idealismeku. Pada akhirnya, meskipun dalam hati kecilku masih berharap untuk impianku yang satu ini, tetapi aku bersikap pasrah, membiarkan impian ini mengalir seiring perjalanan hidupku.

Entah sejak kapan tepatnya, aku tidak ingat, mungkin sejak aku duduk di bangku SMP, aku pernah berkhayal kalau suatu hari nanti aku punya sebuah sekolah khusus untuk anak-anak bandel. Hehehe.. lucu ya, entah mengapa aku bisa berpikiran seperti itu, mungkin karena aku selalu berpikir bahwasannya anak-anak bandel itu hanya butuh yang namanya perhatian, mereka hanya kurang kasih sayang, dan aku berharap aku bisa membagi kasih sayang untuk mereka sehingga mereka bisa tumbuh menjadi anak yang baik. Impian ini mungkin hanya sempat terlintas begitu saja dalam hidupku dan tidak pernah ada usaha yang khusus kulakukan untuk mewujudkannya. Belakangan karena banyak berkecimpung dalam dunia anak-anak untuk urusan pekerjaanku, aku jadi kembali teringat akan impianku ini. Kupikir sekarang ini saat yang tepat untuk memulai satu langkah yang mendukung impianku, yaitu dengan mengambil kuliah lagi yang berhubungan dengan bidang psikologi dan pendidikan. Bisa menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya juga merupakan harapanku, karena aku suka belajar, dan sudah lama sekali aku memang menginginkan hal ini, yang kembali lagi karena masalah realistis tadi, aku dengan terpaksa menyimpannya.

Dan sekarang, semua tampaknya baik-baik dan mendukung impianku untuk menempuh pendidikan lagi demi mewujudkan impianku yang lainnya. Aku hanya tinggal menunggu waktu pendaftaran saja, dan itu seharusnya tidak lama lagi. Tetapi kembali lagi ternyata life is so unpredictable, entah karena sikap pasrahku, ataukah memang ini jawaban atas ‘doa’ ku, dengan tiba-tiba aku medapatkan tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan consumer goods yang sekaligus perusahaan multinational, dan dalam hitungan waktu yang singkat untuk prosesnya, akhirnya aku diterima. Wow ini seperti mimpi bagiku! Aku merasa seperti sedang dalam perjalanan, dan menurut peta seharusnya aku berjalan lurus ke depan, tetapi tiba-tiba aku menemukan tanda berbelok yang ternyata itu menunjukkan tempat yang aku tuju? Kembali lagi, hidup ini adalah pilihan, akankah aku berbelok mengikuti tanda yang kutemui di jalan ataukah aku tetap berjalan lurus berpedoman pada peta? Keduanya tidak ada yang salah, tinggal bagaimana aku memutuskan, dan aku sudah memutuskannya.

Tidak semua impian dapat kita raih, kadangkala kita harus mengorbankan yang satu untuk yang lainnya, seperti itulah hidup, tetapi apapun pilihan yang sudah kita ambil, dengan segala resikonya, jalanilah dengan sepenuh hati. Kadangkala pula, segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan, sekalipun sudah kita rencanakan….

Life is so unpredictable… karena hidup memberimu banyak kejutan, baik yang membuatmu menangis ataupun tertawa. Jalani saja hidup ini dengan sewajarnya, saat ia memberimu kejutan yang menyedihkan menangislah, tetapi cukup saat itu saja, karena setelahnya mungkin akan ada kejutan yang akan membuatmu tersenyum. Terimalah kejutan-kejutan itu dengan hati yang lapang, karena selalu ada pelajaran dan hal baik yang akan kamu dapatkan sesudahnya.

Jakarta, 25 September 2009

~Jen~

Read Full Post »

« Newer Posts - Older Posts »