Feeds:
Posts
Comments

See Ya Thailand!

image

Di atas pesawat, lagi-lagi detik terakhir baru sempat nulis, hahaha… Sebenernya ini maksa sih, karena cita-cita menulis dari berbagai negara 😛

Untuk pertama kalinya menginjakkan kaki ke Thailand, again negara Buddhist lainnya. Banyak hal terjadi akhir-akhir ini, rasa penat, lelah, kecewa, tapi sejauh ini gue masih bisa mengontrol semuanya.

Sebenernya dari kemaren pengen nulis soal film “inside out”, karena sibuk selalu belum sempat. Dan sebentar lagi gue juga musti terbang ke Vietnam, pekerjaan masih belum berakhir, dan seperti juga hidup ini, perjuangan masih berlanjut.

Gue gak tau mau nulis apa tentang negara ini, tapi dari awal gue menginjakkan kaki di sini, gue hanya merasa damai dan tenang. Gue sempet berpikir mungkin ini negara lainnya di mana kalau gue boleh memilih rasanya gue pengen tinggal di sini, seperti yang gue rasain waktu ke Sri Lanka.

Bentar lagi pesawat ini dah mau terbang, jadi gue harus mengakhiri tulisan ini. Lima hari yang cukup melelahkan di sini, tapi gue cukup senang. Gue rasa gue akan kembali lagi ke sini. See ya soon Thailand!

Bangkok, 11 September 2015
~Jen~
02.11 pm

Kalau baca judul tulisan ini, pasti tau donk, kali ini gue lagi di Myanmar. Yak hampir setahun yang lalu gue menginjakkan kaki di negara ini, dan sekarang kembali lagi gue datang ke sini. Masih dengan urusan yang sama, pekerjaan, yang membuat gue mungkin akan sering mengunjungi beberapa negara di Asia Tenggara. Ini hari terakhir gue di sini dalam kunjungan gue yang kedua di negara ini. Seperti biasa, hari terakhir gue sambil menunggu detik-detik pulang, gue menyempatkan diri menulis.

Tidak banyak yang terlalu berubah dari negara ini setahun yang lalu, walaupun ada juga yang berubah sangat drastis, salah satunya adalah handphone. Tahun lalu waktu ke sini gue masih gak beli nomor lokal, karena harganya masih di atas 500 ribu rupiah, tapi tahun ini harga simcard udah murah, hanya sekitar 15ribu rupiah untuk nomor baru, dan voucher isi ulang kurang lebih 5,000 kyatt atau plus minus 60rb rupiah, gue udah bisa akses internet. Hampir setiap orang sudah pegang handphone, dan di jalan banyak ditemui brandingan lebih dari satu provider telepon sellular. Ditambah lagi yang paling gue notice adalah sekarang banyak Billboard mengiklankan produk-produk Handphone lebih dari satu merek, mulai dari merek terkenal dengan tipe terbarunya hingga handphone cina. Waktu satu tahun sudah cukup membawa kemajuan dalam hal telekomunikasi.

Membandingkan negara yang baru membuka diri 3 tahun terakhir ini dengan negara-negara lain yang juga sering gue kunjungi, gue cuma merasa di sini waktu berjalan sedikit lambat, dan suasana di sini cenderung lebih tenang dan kalem. Berbeda dengan Kamboja, gue hanya merasa di sana suasana lebih ‘hidup’. Mungkin karena nuansa Buddhist di Myanmar sini masih kental, ditambah negara ini sebelumnya juga masih tertutup, menjadikan suasananya jadi tenang seperti ini. Setiap pagi gue masih melihat barisan Bhikku maupun Bhikkuni berpindapata, dan entah kenapa saat melihat barisan Bhikkuni kecil yang berjalan sambil melantunkan syair-syair, ada rasa haru di hati gue.

Morning Pindapata - Yangon, 10 April 2015

Morning Pindapata – Yangon, 10 April 2015

Sebelum berangkat ke sini, otak gue masih dipenuhi satu pertanyaan besar, tapi entah kenapa mungkin suasanan tenang di sini membuat gue bisa berpikir jernih, dan sepertinya gue udah punya jawaban atas pertanyaan itu.

Gue udah harus jalan ke airport, padahal masih banyak yang pengen gue tulis, mungkin nanti setelah balik ke Jakarta gue akan menulis satu per satu apa yang ada di pikiran gue saat gue berkunjung ke Golden Land, tanah di mana gue pernah hidup dan membina diri, jauh di masa yang lalu…

Yangon, 13 April 2015
~Jen~
12.16 PM waktu Myanmar

“Apakah harus ada alasan untuk tersenyum?”

Tiba-tiba aja kalimat itu jadi mengusik pikiran gue. Kalimat sederhana yang gue denger dari pertunjukkan ‘Smile of Angkor’ di Siem Riep, Kamboja. Ya di sinilah gue sekarang, di Siem Riep untuk pertama kalinya. Melengkapi perjalanan gue ke negara-negara dunia ketiga (ini menurut kakak gue). Hari ini hari terakhir gue di Siem Riep sebelum sore ini terbang ke Ho Chi Minh, Vietnam untuk melanjutkan tugas kantor gue. Mengambil kesempatan di sela weekend di negara orang, setelah minggu lalu meeting di Phnom Penh, gue nekad pergi ke Siem Riep seorang diri. Kalau dipikir-pikir sebenernya gue bukan orang yang cukup berani untuk pergi sendiri, dengan tujuan wisata. Kalau urusan kerja mau gak mau gue udah harus terbiasa pergi sendiri, tapi urusan travelling, sebenernya gue bukang seorang traveler kayak sepupu gue yang emang biasa pergi sendiri. Gue biasa pergi sendiri kalau tempatnya itu yang sudah biasa gue pergi, seperti ke Bali, dan mungkin belakangan ini Vietnam, karena urusan kerja. Tapi mengunjungi tempat baru sendirian, hm.. baru gue lakuin satu kali waktu gue ke Singapore. Tapi entah mengapa setiap pergi sendiri gue selalu merasa ‘terbantu’ dan selalu aja dimudahkan.

Dan sekarang di sini gue, di Siem Riep, udah hari ke 3 dan udah mengunjungi Angkor Wat yang emang gue pengen. Tapi kalau boleh jujur, setelah gue mengunjungi Angkor Wat, gue merasa Borobudur jauh lebih hebat, dan gue jadi pengen mengunjungi lagi, setelah sekian puluh tahun dari kunjungan terakhir gue. Seperti selalu gue bilang gak ada yang namanya kebetulan, sebenernya gue mau naik bus malam dari Phnom Penh ke Siem Riep sehingga gue akan sampai di Siem Riep hari Sabtu pagi sekitar jam 6. Tapi gak tau kenapa kemarin masih ada sedikit keraguan sampe akhirnya gue beneran kehabisan tiket bus. Dan terpaksalah di detik-detik terakhir hari Jumat gue beli tiket pesawat plus booking hotel 1 malam lagi. Tapi gara-gara itu gue jadi bisa mengunjungi Angkor Wat dari pagi-pagi dan menunggu terbitnya sang matahari.

Sun Rise-Angkor Wat, 21 Maret 2015

Sun Rise – Angkor Wat, 21 Maret 2015

Menunggu cukup lama bersama ratusan turis lainnya, akhirnya matahari yang ditunggu muncul juga, seketika itu gue pengen nangis, ada rasa syukur karena dalam hidup gue masih diberi kesempatan untuk melihat dan merasakan keindahan dunia ini. Mungkin gue juga jadi sentimentil karena sebelumnya pagi itu gue mendengar berita yang menyedihkan, salah satu rekan kantor lama gue meninggal dunia. Umurnya belum tua, dengan 2 orang anak yang relative masih kecil, Ko Kardiman yang selalu penuh lelucon sudah meninggalkan dunia ini. Selamat jalan ko Kardiman, semoga karma baikmu menuntunmu pada kehidupan yang lebih bahagia dan kembali berkesempatan mengenal Dhamma.

Kehidupan ini memang tidak ada yang bisa mengerti, segala kondisi berganti dan berubah hanya dalam helaan nafas. Selama tiga puluh lima tahun hidup gue, gue udah melihat banyak hal, sebuah perputaran, seperti yang selalu gue pahami dari ajaran Buddha, bahwa hidup ini bagaikan roda yang berputar. Tidak hanya dalam hal materi bahkan dalam kehidupan masing-masing orang. Gue udah melihat bagaimana si kaya menjadi miskin dan kembali menjadi kaya lagi, begitu juga sebaliknya, si miskin menjadi kaya lalu kembali menjadi miskin. Orang yang tadinya sehat lalu menjadi sakit-sakitan, yang tadinya sakit ada juga yang lalu menjadi sehat. Kehidupan ini sungguh tidaklah kekal, lalu kembali pertanyaan lama itu timbul, mengapa gue masih di sini? Berada di dalam ketidakkekalan yang hanya mendatangkan penderitaan?

Selama masih di dalam lingkaran kehidupan ini, merasakan ketidakkekalan, bagaimana mungkin bisa tersenyum tanpa alasan? Di saat sakit, di saat tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, sudah pasti yang ada kesedihan dan penderitaan. Hanya ‘Dia yang Sadar’ akan bisa tersenyum tanpa alasan. Mungkin ini jawaban mengapa sedari kecil setiap kali melihat rupang Buddha, gue selalu bisa merasakan kedamaian dan kebahagiaan, karena bagi gue, yang selalu gue lihat adalah wajah yang tersenyum, dan senyum yang meneduhkan ini tidak gue temukan di wajah-wajah lainnya. Dan karena alasan sederhana ini juga gue tetep mengikuti sang jalan yang sudah diajarkan oleh guru Buddha.

Semakin memahami ini, membuat gue semakin bersedih, sedih karena melihat diri gue yang masih belum bisa ‘tersenyum’, karena masih terlalu banyak kemelekatan dan ketidaktahuan yang mengotori batin gue. Saat ini gue cuma bisa berdoa, berharap segala kumpulan karma baik gue akan mendukung tindakan gue dan membawa gue pada jalan yang membebaskan. Sebuah jalan yang akan membuat gue bisa tersenyum tanpa alasan, senyum yang meneduhkan dan membawa kedamaian.

Siem Riep, March 22nd, 2015
~Jen~
2.25 pm

Liburan

image

Morning from Gili Trawangan!
Kali ini gue lagi liburan di pulau kecil di sebelah timur Indonesia, yang masuk ke dalam propinsi Nusa Tenggara Barat. Gili Trawangan nama pulaunya, ditempuh dalam waktu paling lama juga 10 menit dengan speed boat dari pelabuhan Bangsal di Lombok. Entah kenapa kali ini tiba-tiba gue kepengen mencoba liburan ke Lombok, tentunya setelah dua kali gue ke daerah ini untuk urusan kerjaan dan gak sekalipun dari kunjungan itu gue sempet jalan-jalan.

Awalnya bermula dari beberapa bulan yang lalu saat tau ada hari kejepit n kemungkinan besar libur, isenglah gue searching tiket murah. Kepikir pengen ke Singapore, tp kok ya kayaknya bakal butuh duit banyak karena kurs yang udah menggila. Cari tiket ke Jogja karena sempet janji sama Om Bing salah satu kenalan di dunia maya, buat ngunjungin Jogja, tapi sama aja tiketnya kok rasanya masih mahal. Pilihan berikut pengen ke Bali, my second home, tapi taon ini gue udah ‘pulang’ ke sana di bulan Maret, n tiketnya juga kagak ada yang murah. Akhirnya tiba2 kepikirlah Lombok, dan ternyata gue bisa dapet tiket yang menurut gue cukup murah untuk masa liburan. Segeralah gue tanya sepupu gue yang emang gila travelling, karena gue tau dia belom pernah ke Lombok.

Singkat cerita di sinilah sekarang kami berdua. Kalau liburan yang gue cari bukan adventure ngunjungin tempat-tempat barunya, tapi liburan buat gue lebih ke mencari tempat baru, suasana baru dan yang pasti tempat yang menenangkan jiwa gue yang gak bisa diem ini. Hahaha, makanya sepupu gue selalu bilang, kalau pergi sama gue gak mungkin irit, karena sudah pasti gue akan memilih hotel yang walaupun bukan hotel bintang lima, tapi setidaknya hotel yang masih cukup nyaman dan layak buat gue tinggal, n bukan hostel ataupun sejenisnya yang biasa dipilih oleh sepupu gue.

image

Ya emang beginilah gue, pada dasarnya emang gue bukan petualang, gue cuma mencari tempat ‘escape’ dari rutinitas gue aja n try to find serenity in that place. So this place is not bad, but for me still Bali is my second home.

Gue udah musti check out, karena setelah dua malam di pulau ini, hari ini gue akan kembali ke Lombok n masih ada 1 malam di sana untuk keliling cari oleh-oleh, hihihi…

So see you on my next ‘liburan’…

Gili Trawangan, 27 December 2014
~Jen~
08.00 am waktu Indonesia tengah.

image

Satu lagi karma baik gue bisa menginjakkan kaki di sebuah negara baru yang kebetulan (lagi) merupakan negara Buddhis, Kingdom of Cambodia alias Negara Kamboja. Entah kadang gue suka gak habis pikir, mimpipun mungkin gue dulu gak pernah, bagaimana mungkin gue sekarang bisa melanglang buana seperti ini dan gratis alias karena gue kerja jadi dibayarin oleh kantor.

Gue selalu bilang gak ada yang namanya kebetulan, yah emang gak ada yang namanya kebetulan ya. Di dunia ini segala sesuatu sudah bekerja sebagaimana mestinya sesuai ‘hukum alam’. Kalau gue sekarang bisa ke negara ini pastilah ada ikatan karma antara gue dengan tempat ini. Entah kenapa gue merasa tidak terlalu asing dengan tempat ini. Suasananya seperti membawa gue ke masa-masa kecil gue saat dulu hidup di daerah. Yang paling mengherankan adalah begitu banyak hiasan ular berkepala banyak seperti raja ular yang memayungi Buddha saat bertapa dan diterpa badai. Gue pernah ‘melihat’ ular ini. Waktu itu sekelebat muncul dalam bayangan gue. Sebenarnya sampai sekarang gue masih belum bisa mengerti maksud dari ‘penglihatan’ ini. Sekarang saat gue melihat begitu banyak patung ular tersebut di sini, apakah itu tandanya suatu hari gue akan datang ke negara di mana banyak terdapat patung ular ini? Entahlah sampai sekarang gue masih belum bisa memahaminya.

Hari ini hari terakhir gue di negara ini, banyak hal terjadi selama lebih dari tiga minggu perjalanan gue hidup di negara orang. Mulai dari tanggal 18 Agustus lalu saat gue berangkat ke Vietnam dan lalu disambung ke Kamboja 5 hari yang lalu. Kalau mau ditulis isi otak gue sebenernya udah penuh dengan pemikiran-pemikiran. Tapi seringkali rasa lelah mengalahkan segalanya dan akhirnya semua hanya tetap berada di otak gue.

Kadang gue ngerasa lelah dengan semua ini. Pekerjaan yang menyita sebagian besar waktu gue, pemikiran yang memenuhi otak gue dan yang lebih melelahkan dari semua itu adalah perasaan yang begitu menyesakkan di dada ini. Perasaan apa ini? Entahlah sungguh sulit untuk diungkapkan ataupun dilukiskan. Kadangkala perasaan ini membuat gue menitikkan air mata, karena seringkali sesaknya membuat gue sulit untuk bernafas.

Duh kenapa tulisan ini jadi begini ya? Gue gak tau, gue cuma pengen menumpahkan segala perasaan gue. Perasaan yang mungkin tidak akan pernah tersampaikan, atau mungkin juga sebenarnya rasa ini sudah lama kau rasakan, karena kita sama-sama memiliki rasa yang sama tapi kita pun tahu kalau rasa itu tak seharusnya ada.
Semua jadi terasa makin kompleks. Gue ada membaca satu quote yang gue rasa itu cocok banget sama kondisi gue. Kurang lebih isinya seperti ini: “satu masa dalam hidup loe, berapapun usia loe saat itu, loe akan menemukan seseorang yang bisa menyalakan api dalam jiwa loe, orang yang membuat loe merasa ‘hidup’, namun sayangnya pada kenyataannya orang ini bukanlah orang yang akan bersama dengan loe menghabiskan sisa hidup loe”. Rasanya sedih banget ya bacanya, yah apalagi kalau loe yang mengalaminya dan itu yang terjadi dengan gue saat ini.

Jika bisa mengatasi ini gue yakin satu ujian akan gue lewati. Gue yakin gue bisa ‘melawan’ apa yang sudah digariskan ini. ‘Melawan’ dalam arti mengatasinya dengan akhir yang bahagia buat semuanya.

‘Tuhan’ aku sudah pernah meminta padamu sekali dan ‘Engkau’ sudah mengabulkannya, menurutku. Kalau nyatanya ini belum berakhir, kumohon bantulah aku sekali lagi untuk mengakhirinya dengan bahagia.

Phnom Penh, 11 September 2014
~Jen~
01.00 pm
Di tengah rasa gundah yang melanda…

Cinta…

Cinta…
Terlalu banyak pertanyaan tentang cinta yang ada di benakku saat ini. Mulai dari apa itu cinta sesungguhnya? Seperti apa rasanya jatuh cinta? Sampai bagaimana seharusnya kita mencintai? Entah mengapa dari dulu aku tak pernah berpikir untuk hal yang satu ini. Banyak alasan, terlalu banyak alasan mengapa aku sama sekali tidak pernah berpikir tentang cinta. Rasa takut, rasa sakit, dan berjuta rasa lainnya yang bercampur aduk menjadi satu hingga menghambarkan segala rasa yang ada. Dan aku menjalani hidupku selama ini tanpa pernah ingin tahu seperti apa itu cinta, mencinta dan dicinta…

Dulu aku sempat berteori bahwa ada perbedaan antara suka, sayang dan cinta. Mungkin ada banyak orang yang kusukai, entah karena wajahnya yang tampan, hatinya yang baik, atau alasan lain yang membuatku bisa menyukai seseorang, tapi itu hanya sebatas rasa suka terhadap sesuatu yang mungkin dimiliki orang itu. Sementara dari sekian banyak orang yang kusuka, mungkin hanya ada beberapa yang aku sayangi. Aku menyayangi mereka sebagai keluarga, sebagai sahabat, atau sebagai yang lainnya yang aku rasa memiliki ikatan lebih daripada hanya rasa suka. Sementara cinta, menurut teoriku dulu, hanya akan ada satu orang yang aku cintai seumur hidupku ini. Rasanya terdengar terlalu teoritis atau bahkan terlalu idealis. Sebuah pemikiran dari seseorang yang bahkan untuk mencoba mencintaipun enggan…

Dan sekarang, entah mengapa aku merasa “Tuhan” tengah mengajakku untuk memahami apa itu “cinta” yang sesungguhnya. “Tuhan” tengah mengajariku untuk ‘mencintai’ dengan cara-Nya… Caranya yang buatku manusia yang lemah ini menjadi sangat menyakitkan. Karena “Ia” menghadirkan “cinta” ditengah situasi yang menurutku tidak seharusnya. Karena “Ia” mengajariku mencintai orang yang tak sepatutnya kucintai… Walaupun aku mengerti karena “cinta” juga aku belajar “pemaafan”, aku bisa memaafkan orang yang mungkin bersalah padaku, orang yang sepatutnya kubenci.

Saat aku menulis ini aku tengah berada di atas langit yang luas, meskipun belum seluas jagad raya. Dan telinga serta kepala yang mulai panas akibat segelas wine yang disajikan oleh pramugari atas permintaanku. Jantungku sedikit berdebar walau kesadaranku masih belum berkurang sedikitpun. Sensasi ini apakah seperti ini rasanya jatuh cinta? Mengapa terasa lebih menyakitkan daripada bahagia?

Tapi aku paham, ” Tuhan” benar-benar tengah mengajariku ‘cinta’. ‘Cinta’ yang sesungguhnya, yang lebih besar daripada cinta yang memabukkan bak segelas wine. Rasa sakit ini harus kulalui untuk dapat memahami apa itu ‘cinta’ yang sesungguhnya. Karena ‘cinta’ yang diajarkan “Tuhan” adalah abadi dan membebaskan…

“Tuhan” kuatkan aku… Tolong kuatkan aku untuk melalui segala godaan cinta yang egois dan memabukkan ini… dan maafkan aku belum bisa benar-benar memahami ‘cinta’ yang Kau ajarkan padaku…  Namun biarkan aku tetap mencoba belajar memahami ‘cinta’-Mu, karena aku tahu hanya ‘cinta’ yang Kau ajarkanlah yang akan membawaku padaMu. Hanya ‘cinta’ yang sesungguhnya yang akan menyatukan Kau dan aku di dalam keabadian dan pembebasan sejati…

image

Di atas langit Jakarta yang cerah, 16 July 2014
~Jen~
04.58 pm

Pernah gak sih loe bayangin kalau loe itu bakal pergi ke negara-negara di mana menurut orang yang mungkin punya kemampuan khusus, loe itu pernah hidup dan tinggal di negara itu? Gue dah dua kali mengalami hal ini. Eits tentu saja karena gue adalah seorang Buddhist n di ajaran yang gue anut percaya adanya kelahiran kembali, maka gue bisa bilang begini. Buat loe pada yang gak percaya ya anggap saja tulisan gue ini sebuah cerita fiksi penghilang rasa bosan 😛

Ok kembali ke pengalaman gue ya, yang pertama gue dibilang pernah lahir sebagai perempuan India penjual kain sari. Hohoho… India…gak kebayang gue pernah jadi orang India. Tapi cerita ini juga lucu, awalnya gue bisa tau ini karena ada satu acara dimana gue ketemu dengan salah satu anak indigo beserta keluarganya. Waktu itu adalah pertama kalinya gue ketemu mereka. Anehnya saat pertama melihat mama si anak, gue seperti merasa kenal, sampai gue berusaha mengingat-ingat siapa ya ini orang? Di mana ya gue ketemu dia? Dan lebih aneh lagi, ternyata perempuan itu merasakan hal yang sama dengan gue! Dia bahkan sampai bertanya ke gue, apakah gue tinggal di sebuah tempat yang mungkin dekat dengan rumahnya? Gue jawab nggak, bahkan gue mungkin baru pertama kali itu ketemu dia. Singkat cerita ternyata kemudian si anak menyampaikan bahwa gue dan mamanya dulu ternyata berteman baik, kami waktu itu sama-sama lahir di India, dan gue saat itu terlahir sebagai seorang perempuan India penjual kain sari! Wah rasanya lucu ya kalau kita tahu seperti itu, dan gue jadi mikir oh ternyata karena itu mungkin ya pertama kali gue kerja dengan orang India dan di perusahaan garmen! Gak jauh-jauh dari kain ya? Hahaha…

Lalu cerita gak berhenti di sini, taon lalu karma baik gue berbuah, gue punya kesempatan untuk pergi ke India! Ke tempat-tempat bersejarah dalam ajaran Buddha. Gue seneng karena bisa ‘pulang’ ke kampung halaman gue hehehe… Dan ada satu cerita saat gue di sana. Selain untuk ziarah, kelompok tour gue sempat mengunjungi salah satu tempat kerajinan kain sari yang katanya dulu adalah pembuat kain untuk para raja. Saat itu gue dan beberapa orang sedang asik mengamati seorang bapak tua dengan badan yang hitam legam dan kurus kering dan hanya berkaus singlet putih, sedang membuat sulaman kain sari. Entah bagaimana tiba-tiba si bapak tua ini berhenti bekerja dan berbalik ke arah gue, melambaikan tangan meminta lengan gue dan memasangkan tali ungu dengan benang emas ke pergelangan tangan gue. Saat itu gue sedikit bingung, setelah selesai memasangkan gue tali sebagai gelang, gue memberi si bapak tua ini sedikit uang sebagai imbalan. Entah kenapa setelah itu perasaan gue gak karuan, ada perasaan haru yang gue rasakan. Antara rasa sedih, bahagia, rindu dan sayang, semua bercampur jadi satu. Sesaat gue jadi teringat perkataan tentang kehidupan gue sebagai perempuan India penjual kain sari. Mungkin saja bapak tua ini adalah cicit buyut keturunan gue? Entahlah… Dari sekian banyak orang yang ada di sana kenapa dia memilih gue yang pertama untuk diberikan gelang itu? Dan sorot matanya yang seakan bicara meski mulutnya tak mengeluarkan sepatah katapun tapi ada rasa yang tersampaikan dari dirinya ke gue. Gue sedikit menitikkan air mata saat itu. Siapapun dia, gue selalu percaya tidak ada kebetulan di dunia ini. Bisa bertemu berarti ‘berjodoh’, ada ikatan di antara kami dan benang ungu berlapis emas yang dia sematkan di pergelangan tangan gue seakan menguatkan itu.

image

Dan sekarang cerita berikutnya. Lagi-lagi karma baik gue berbuah, gue punya kesempatan ‘pulang’ lagi, kali ini ke Myanmar, The Golden Land, negara di mana katanya dulu gue pernah hidup sebagai seorang Bhiksuni. Ya gue adalah seorang biarawati Buddhist, begitu katanya, dan gue percaya itu, karena apa? Karena ikatan gue terhadap ajaran ini sangat kuat, kalau gue tidak pernah menjadi seorang Bhiksuni, mungkin gue saat ini belum tentu bisa memiliki karma baik sehingga bisa mengenal ajaran Buddha, dan gue sangat bersyukur karenanya. Menginjakkan kaki di negara ini rasanya tidak pernah mimpi sebelumnya, tapi gue percaya semua ini sudah diatur oleh ‘yang maha pengatur’.

Tidak ada perasaan apapun saat tiba di negara ini, rasanya biasa saja walau mungkin secara suasana kota sangat tidak asing karena sedikit mirip dengan Indonesia tanah kelahiran gue sekarang. Semua biasa sampai satu kali saat makan siang di sebuah restoran yang menghidangkan makanan khas Myanmar, setelah makan dikeluarkanlah 3 toples kecil, yang 2 berisi seperti kacang dan yang satu makanan pencuci mulut di dalam toples tersebut sedikit mirip kacang chesnut. Dari ketiga toples gue paling tertarik dengan si kacang chesnut, maka gue membuka toples itu. Karena sebenarnya sedikit gak yakin dengan isinya, maka yang pertama gue lakuin adalah mencium bau makanan yang ada di dalam toples itu. Hei ternyata aromanya seperti gula jawa! Gula jawa alias gula aren yang sangat gue suka. Tanpa pikir panjang gue ambil sepotong dan memasukkannya ke dalam mulut. Benar saja ini gula jawa! Hahaha gue girang banget, kenapa? Gue suka banget makanin gula jawa! Dari kecil kebiasaan gue adalah mengambil potongan gula jawa dari dapur dan memakannya begitu saja. Dulu gue dan juga orang di sekitar gue pikir kebiasaan gue makan gula jawa ini karena gue suka permen jadi gue juga suka makan gula jawa. Tapi ternyata sekarang ada alasan lain, rupanya gula aren yang ada di toples itu adalah kebiasaan orang Myanmar yang menyajikannya sebagai makanan penutup mulut atau camilan, dan kebiasaan gue suka makan gula jawa alias gula aren mungkin karena gue pernah lahir sebagai orang Myanmar! Dan gue akhirnya beli tuh gula aren made in Myanmar di supermarket!

image

Hahaha…lucu ya? Ya…kalau mau dihubung-hubungkan sih semua bisa aja, sekarang balik lagi ke pribadi masing-masing. Tapi buat gue semua semakin jelas terlihat. Semua tanya gue satu persatu mulai terjawab. Mungkin semua masih jauh, terlalu jauh bahkan. Tapi gue tau gue terus melangkah maju. Sekalipun banyak hal yang mungkin tampaknya tidak sesuai dengan harapan gue, tapi itu tadi gue selalu percaya kepada ‘yang mengatur’, ‘karma’ gue yang mengatur segalanya, yang membawa gue sejauh ini, bahkan sampai ke negara ini, tempat yang gue tau pastinya sangat berarti buat gue.

Dan tulisan ini akan gue akhiri dengan satu pesan buat seseorang yang saat ini gue tau sangat membutuhkannya. Percayalah kadangkala semua hal tampaknya berjalan tidak seperti yang kita rencanakan, kita harapkan dan kita pintakan dari Tuhan. Tapi ‘Tuhan’ gak pernah tidur, dia akan selalu menuntun kita ke tempat dan situasi yang sesuai untuk kita, bukan ke tempat atau situasi yang kita inginkan. Karena yang kita inginkan kadangkala hanyalah yang baik menurut kita, bukan yang memang sesungguhnya baik untuk kita. Apapun situasi yang kita hadapi, tetaplah menjaga hati agar senantiasa lapang dan bersih. Karena hati loe adalah tempat di mana Tuhan berada…

Yangon – Myanmar, 13 Juni 2014
~Jen~
11.00 pm waktu Myanmar

IMG_20140615_084201

Oke kali ini dari Philippine, untuk kedua kalinya gue punya kesempatan ke negara ini. Mungkin memang segala sesuatu itu saling berkaitan, bahkan berkaitan tidak hanya di saat ini bahkan di masa lalu dan kehidupan lalu. Tentunya ini berlaku untuk yang mempercayai bahwa kehidupan ini tidak hanya satu kali.

Bicara soal Philippine, mungkin dulu gue pernah lahir di negara ini? Entahlah, yang pasti pertama kerja ketemu atasan orang Philippine asli dan sekitar 9 tahun lalu gue punya kesempatan dateng ke negara ini. Dan sekarang kembali gue punya kesempatan ke sini. Buat gue negara ini mungkin gak terlalu jauh beda dengan negara gue, Indonesia. Tapi untuk makanan mungkin gue kurang cocok karena terlalu banyak makanan berdaging di sini, sementara gue gak terlalu suka namanya daging. Untuk lalu lintas walaupun macet tapi sepertinya lebih baik daripada Indo karena jumlah motornya gak terlalu banyak. Gak kayak Vietnam yang bikin gue stress karena lalu lintasnya. Tapi untuk makanan gue lebih suka dengan makanan di Vietnam.

Sebenernya gue pengen nulis satu topik semalem tapi karena terlalu capek seharian jalan, ditambah cuaca yang lagi panas banget di sini. Akhirnya gue pules tidur dan gak jadi nulis 😀

Sekarang sambil ngantuk-ngantuk nunggu orang sales lagi bicara soal report ke distributor di sini, otak gue tiba-tiba kagak bisa diem dan jadilah tulisan ini.

Ok kayaknya ini dulu hello from Philippine, dari sebuah kota bernama Mexico di daerah Pampanga, berjarak hampir 2jam perjalanan dari Manila.
Ketemu lagi nanti di Jakarta dan baru gue akan nulis soal topik yang mulai menggelitik hati gue, hihihi… Tambah penasaran kan? 😛
Just wait for my next posting!

Mexico-Pampanga, Philippine, 22 May 2014
~Jen~
04.05 pm (waktu Philippine tentu saja)